Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perkembangan PBB dan Peran Indonesia

Perkembangan PBB dan Peran Indonesia 

Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, yaitu masa vakum ketika Jepang sudah menyerah dari Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945 dan pada pihak lain Sekutu belum mengambil alih kekuasaan Jepang tersebut. Kemerdekaan tersebut bukanlah hadiah dari Jepang, tetapi hasil perjuangan bangsa Indonesia sendiri.

Hal ini tertuang dalam Maklumat Politik 1 November 1945. Untuk menghindari kesan Republik Indonesia sebagai negara boneka maka Presiden Soekarno tidak mengambil peran aktif di dalam pemerintahan , dan dengan Maklumat Pemerintahan tanggal 14 November 1945 maka pemerintahan dijalankan oleh Perdana Menteri ( PM ) Sjahrir yang telah dikenal melakukan gerakan bawah tanah.

Logo PBB

Perkembangan PBB dan Peran Indonesia

Pada tanggal itu juga PM Sjahrir menyatakan tekadnya untuk menjalankan ''politik berdasarkan Piagam PBB'' dengan tujuan untuk mendapatkan pengakuan internasional. Hal tersebut ditentang Belanda yang berpendirian bahwa Indonesia adalah daerah jajahannya sehingga merupakan masalah dalam negerinya.

Setelah Perang Pasifik berakhir maka semua wilayah kekuasaan Belanda berada di bawah pengawasan pasukan Sekutu. Pasukan Sekutu yang bertugas menangani Indonesia bernama AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies). Pasukan yang berintikan tentara Inggris itu dipimpin oleh Letjen Sir Philip Christison mendarat di Jakarta 19 September 1945 dengan tugas menyerahkan kekuasaan kepada NICA (Netherlands-Indies Civil Administration).

Pasukan Belanda yang membonceng tentara Sekutu telah membangkitkan pertempuran antara tentara Indonesia dengan pasukan Sekutu dan Belanda. AFNEI minta bantuan kepada para pemimpin Indonesia dalam menghadapi perlawanan dari rakyat Indonesia.

Di lain pihak pemerintah Indonesia juga berusaha agar Inggris jangan bayak terlibat secara langsung dalam konflik bersenjata dengan pasukan Indonesia. Akhirnya Inggris pada tanggal 24 Desember 1945, mempercayakan kepada RI   untuk melaksanakan tugas melucuti tentara Jepang, membebaskan tawanan perang, dan kemudian menyerahkan mereka kepada Inggris.

Sebelum Letjen Christison pada tanggal 24 September 1945 sudah mendesak Jenderal van Mook untuk melakukan perundingan dengan pihak Indonesia. Latar belakang Inggris memprakarsai perundingan tersebut, yaitu usaha mendukung Belanda dengan kekuatan militer dirasakan kurang cukup dan perundingan akan mengakhiri keterlibatan Inggris secara militer, tetapi mereka harus lebih dahulu dapat menempatkan Belanda pada posisi politik dan militer yang menguntungkan.

Masalah kekerasan yang dilakukan pasukan Inggris dilaporkan oleh utusan Uni Soviet Manuilsky dan Menlu Molotov kepada Dewan Keamanan pada tanggal 21 Januari 1946. Pengaduan itu muncul karena pertentangan antara Uni Soviet dengan Inggris di batalkandan Iran. Hal ini juga mendorong Inggris untuk mendesak Belanda melakukan perundingan.

Perundingan terjadi di Linggarjati dari 10-15 November 1946, dimana delegasi Indonesia dipimpin oleh PM Sultan Sjahrir dan Komisi Jenderal Belanda dipimpin oleh Prof. Schermerhorn. Hasil perundingan diumumkan tanggal 15 November dan ditandatangani  tanggal 15 November 1946 di Istana Merdeka Jakarta.

Hasil perundingan Belanda mengakui kekuasaan de facto pemerintah RI atas Jawa, Madura, dan Sumatera, namun RI merupakan salah satu negara bagian dalam Negara Indonesia Serikat. Hal itu merupakan cara Belanda untuk melikuidasi RI secara konstitusional, di samping memberikan kesempatan Belanda untuk mengkonsolidasikan kekuatan militernya.

Selajutnya Belanda melakukan blokade untuk melumpuhkan Republik Indonesia. Ketika Belanda melanggar persetujuan Linggarjati dengan melancarkan Agresi Militer I maka sengketa Indonesia-Belanda yang dianggap Belanda sebagai masalah dalam negerinya mendadak menjadi masalah internasional.

Pada tanggal 28 Juli 1947, India dan dua hari kemudian pada tanggal 30 Juli 1947, Australia berdasarkan pasal 34 dan 39 Piagam PBB mengajukan sengketa Indonesia-Belanda ke Dewan Keamanan.

Pemerintah RI dalam sidang Dewan Keamanan tersebut diwakili oleh Sultan Sjahrir dan pemerintah Belanda diwakili oleh duta besarnya di Washington, Dr. N. van Kleffens. Kemudian Dewan Keamanan mengeluarkan resolusi tanggal 1 Agustus 1947, namun situasi masih belum menentu dimana Jenderal van Mook baru menghentikan perintah tambak-menembak tanggal 5 Agustus 1947 karena memang sasaranya masih belum berhasil menguasai ibu kota RI di Yogyakarta dengan tujuan untuk melenyapkan Republik Indonesia secara militer.

Hal itu mendorong Dewan Keamanan melakukan sidang lagi pada tanggal 14 Agustus 1947 di mana Sjahrir diberi kesempatan untuk mengemukakan pendiriannya. Sesudah mengadakan konsultasi panjang di belakang layar maka Dewan Keamanan pada tanggal 25 Agustus menerima lagi resolusi.

Resolusi pertama diajukan bersama oleh Australia dan Cina yang mendesak Belanda untuk mematuhi Perundingan Linggarjati. Resolusi kedua diajukan oleh Amerika Serikat yang menyatakan tekad Dewan  Keamanan untuk menawarkan jasa-jasa baiknya kepada pihak yang bersengketa guna membantu penyelesaian damai.

PBB membentuk Komite Jasa-jasa Baik (Good Offices Committee) pada tanggal 18 Septenber 1947 untuk mengatasi persoalan Indonesia-Belanda. Komisi ini dikenal dengan Komisi Tiga Negara karena terdiri dari tiga negara, yaitu Australia (yang ditunjuk oleh Indonesia), Belgia (yang ditunjuk oleh Belanda), dan Amerika Serikat (yang ditunjuk oleh dua anggota lainnya).

Komite Jasa-jasa Baik (Komisi Tiga Negara), setelah Agresi Militer II, ditinggkatkan menjadi PBB untuk Indonesia (United Nations Comission for Indonesia). Sebagai anggota komite, Amerika Serikat menunjuk Dr. Frank Graham, Belgia menunjuk bekas perdana menteri dan Menlunya Mr. van Zealand, dan Australia menunjuk Judge Kirby.

Kedua belah pihak melakukan perundingan untuk pertama kalinya di kapal Renville yang sedang berlabuh di Jakarta pada tanggal 8 Desember 1947.

Perundingan berlangsung sangat alot menyangkut garis van Mook, yaitu demarkasi (batas) yang ditentukan secara sepihak oleh Belanda sebagai hasil dari Agresi Militer I, di mana garis itu menghubungkan titik-titik terdepan dari kedudukan tentara Belanda sehingga mengepung wilayah yang masih diduduki pasukan RI.

Pda akhirnya delegasi Indonesia dan Belanda berhasil menandatangani perjanjian pada tanggal 17 Januari 1948 karena penandatanganan formal dilakukan di atas kapal Renville maka dinamakan Perjanjian Reville. Dalam perundingan itu, delegasi Indonesia diwakili oleh PM Amir Syarifuddin, sedangkan delegasi Belanda diwakili oleh Kolonel Abdulkadir Wijoyoatmojo.

Belanda dapat menguasai ibu kota RI, Yogyakarta, dan menawan para pemimpinnya. Namun Indonesia tidak lantas lenyap karena RI sudah mengantisipasi kemungkinan ini sehingga Menteri Syarifuddin Prawiranegara mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi.

Pembentukan Pemerintahan Darurat ini sangat penting artinya karena untuk menunjukan kepada dunia luar bahwa negara Republik Indonesia masih ada. Panglima Besar TNI Soedirman juga berhasil meninggalkan kota untuk melakukan perang gerilya.

Serangan balasan tentara RI pada 1 Maret 1949 yang berhasil menduduki Yogyakarta selama 6 jam telah membuka mata seluruh dunia dan mempersulit posisi Belanda dalam perundingan.

Agresi Militer II mendorong Dewan Keamanan mengeluarkan resolusi pada tanggal 22 Desember 1948, namun resolusi sangat lunak karena tidak mengutuk Belanda telah melakukan agresi dan tidak memerintahkan pasukannya ditarik mundur ke garis status quo.

Resolusi hanya untuk mengadakan gencatan senjata dan membebaskan pemimpin-pemimpin RI yang diasingkan oleh Belanda. Tetapi ada kekuatan lain di luar PBB, yang mengubah pendirian Dewan Keamanan, dan mendorongnya mengambil tindakan keras.

Kekuatan tersebut dari New Delhi yang pada 21 dan 22 Januari  1949 menyelenggarakan konferensi khusus negara-negara Asia untuk membicarakan masalah Indonesia, yang dihadiri oleh 18 negara termasuk Australia dan Selandia Baru.

Kemudian Dewan Keamanan mengeluarkan resolusi tanggal 28 Januari 1949 yang memaksa Belanda memulihkan pemerintahan RI dan pasukan Belanda harus sudah selesai ditarik pada hari pembentukan pemerintahan sementara dan menyerahkan kedaulatan kepada RIS paling lambat tanggal 1 Januari 1950.

Posisi Belanda benar-benar terjepit karena kabinet negara Indonesia dan kabinet negara Pasundan meletakkan jabatannya sebagai protes tindakan agresi tersebut, di samping itu Belanda juga mendapat tekanan dari Amerika yang menuntut penghentian bantuan Marshall bila Belanda tidak mengindahkan resolusi PBB.

Kemudian atas pengawasan KTN dilakukan perundingan Roem-Royen di Jakarta pada 7 Mei 1949 yang hasilnya akan diselenggarakan Konferensi Meja Bundar untuk mengatur penyerahan kedaulatan kepada RI di dalam negara federal Negara Indonesia Serikat.

Kenyataan 15 negara boneka bentukan Belanda tidak mau mengakui kedaulatan Belanda lagi setelah melihat kemampuan militer RI. Belanda menyerahkan kedaulatan kepada RIS pada tanggal 27 Desember 1949. Setelah itu Indonesia menjadi anggota PBB ke-60 pada tanggal 28 September 1950.

Baca juga selanjutnya di bawah ini :


Post a Comment for "Perkembangan PBB dan Peran Indonesia"