Perundingan Renville
Perundingan Renville
Perbedaan pendapat mengenai isi Persetujuan Linggarjati ternyata semakin meruncing oleh karena itu Belanda memaksakan kehendak dengan melakukan agresi militer. Hal ini didasarkan atas pidato Ratu Wilhelmina tanggal 7 Desember 1942 bahwa Indonesia akan dijadikan commonwealt dan akan berbentuk federasi.
Keangkuhan Belanda semakin memuncak ketika pada tanggal 27 Mei 1947 mengirimkan nota yang berisi ultimatum dan harus dijawab oleh pemerintah Indonesia dalam waktu 14 hari.
Pokok-pokok ultimatum itu adalah :
1. Membentuk pemerintahan ad interim bersama;
2. Mengeluarkan uang bersama dan mendirikan lembaga devisa bersama;
3. Republik Indonesia harus mengirim beras untuk rakyat daerah-daerah yang diduduki Belanda;
4. Menyelenggarakan keamanan dan ketertiban bersama, termasuk di daerah-daerah republik yang memerlukan bantuan Belanda ;
5. Menyelenggarakan pemilikan bersama atas impor dan ekspor.
Tuntutan Belanda itu tentunya tidak dipenuhi oleh Republik Indonesia. Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melancarkan serangan serentak terhadap daerah-daerah Republik Indonesia, dan serangan militer ini kita kenal dengan Agresi Militer Pertama. Reaksi luar negeri sangat keras mengecam tindakan Belanda tersebut.
Wakil India dan Australia mengajukan usul di Dewan Keamanan PBB agar masalah ini menjadi agenda untuk dibicarakan. Dewan Keamanan PBB kemudian mengeluarkan resolusi pada tanggal 1 Agustus 1947 untuk segera menghentikan tembak-menembak kedua belah pihak.
Dalam rangka melakukan pengawasan terhadap gencatan senjata, maka dibentuk suatu komisi konsuler yang keanggotaannya terdiri dari beberapa Konsul Jenderal di Indonesia. Komisi konsuler ini diketuai oleh Konsul Jenderal Amerika Dr. Walter Foote dengan anggota-anggota Konsul Jenderal Cina, Belgia, Perancis dan Australia.
Walaupun telah ada badan resmi yang memonitor gencatan senjata, akan tetapi Belanda berusaha untuk memperluas wilayahnya dengan menciptakan garis hayal yang kita kenal dengan ''Garis Van Mook''. Tentu garis hayal ini ditolak oleh Republik Indonesia, karena niat Belanda itu hanyalah untuk memperluas wilayah kekuasaannya.
Dalam upaya mencari penyelesaian pertikaian ini maka pada tanggal 15 Agustus 1947, Dewan Keamanan PBB menerima sebuah keputusan yang berisi dua hal yaitu :
1. Para Konsul asing yang ada di Jakarta supaya membuat laporan yang berkaitan dengan situasi terakhir di Indonesia;
2. Membentuk sebuah komisi yang terdiri dari tiga negara (KTN). Komisi ini bertugas untuk memberikan jasa-jasa baik dalam rangka penyelesaian pertikaian Indonesia -Belanda.
Dalam rangka melaksanakan tugas yang diberikan Dewan Keamanan PBB maka KTN dalam pertemuannya yang dilakukan di Sidney 20 nOktober 1947, berusaha mendekatkan kedua belah pihak dalam suatu perundingan.
Masalah yang dihadapi oleh KTN adalah mencari suatu daerah yang netral (wilayah di luar daerah penduduk) sebagai tempat perundingan. Atas usul dari KTN, perundingan dilaksanakan di atas sebuah kapal pengangkut pasukan Angkatan Laut Amerika Serikat ''USS Renville'' yang sedang berlabuh di Teluk Jakarta.
Perundingan ini dimulai pada tanggal 8 Desember 1947, di mana delegasi Indonesia diwakili oleh Mr. Amir Sjarifuddin, sedangkan pihak Belanda diwakili oleh R. Abdulkadir Widjojoatmodjo seorang Indonesia yang memihak kepada Belanda.
Dalam perundingan itu kedua belah pihak menerima saran-saran dari KTN yang intinya segera dilakukan penghentian tembak-menembak di sepanjang Garis van Mook serta dilakukan peletakan senjata untuk daerah-daerah lainnya.
Dalam suasana yang terus terjadi tembak menembak perjanjian Renville ini kemudian ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948. Perjanjian yang terdiri dari 10 pasal persetujuan gencatan senjata, 12 pasal prinsip politik dan 6 pasal prinsip tambahan dari KTN, pada intinya isinya sebagai berikut :
1. Pemerintah Republik Indonesia harus mengakui kedaulatan Belanda atas Hindia-Belanda sampai pada waktu yang ditetapkan oleh kerajaan Belanda untuk mengakui Negara Indonesia Serikat.
2. Di berbagai daerah di Jawa, Madura dan Sumatera diadakan pemungutan suara untuk menentukan apakah daerah-daerah itu mau masuk Republik Indonesia atau mau masuk Negara Indonesia Serikat.
Akibat dari persetujuan Renville ini wilayah Republik Indonesia yang meliputi Jawa, Madura dan Sumatera dipersempit lagi. Di lain pihak terjadi banyak persoalan di dalam negeri akibat dari pro dan kontra terhadap perjanjian yang selama ini dilakukan khususnya pada Tentara Nasional Indonesia dan poltik adu domba Belanda.
Baca juga selanjutnya di bawah ini :
Baca juga selanjutnya di bawah ini :
Post a Comment for "Perundingan Renville "