Kabinet Wipolo (April 1952-Juni 1953)
Kabinet Wipolo (April 1952-Juni 1953)
Kabinet yang ketiga adalah yang dipimpin oleh Wipolo. Kabinet ini berlangsung dari April 1952 sampai Juni 1953. Kabinet ini didukung oleh PNI, Masyumi, dan PSI di bawah Perdana Menteri Wipolo dari PNI. Kabinet Wipolo mempunyai enam program, di mana peningkatan kesejahteraan umum mendapat prioritas utama.
Peristiwa penting yang terjadi selama kabinet ini berkuasa adalah peristiwa 17 Oktober 1952. Peristiwa itu ditandai oleh adanya tuntutan rakyat yang menginginkan dibubarkannya parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat Sementara) untuk diganti dengan parlemen yang baru.
Demonstrasi bergerak dari gedung DPR ke Istana Merdeka untuk menyampaikan tuntutan tersebut kepada Presiden. KSAD Nasution beserta pimpinan AD, baik di pusat maupun di daerah menghadap Presiden Sukarno, dan mengusulkan agar parlemen sementara dibubarkan karena terlalu berbau kolonial.
Presiden menolak membubarkan parlemen dan menyatakan bahwa dirinya bukan seorang dikator, serta akan membicarakan masalah tersebut dengan pemerintah. Persoalan ini sebenarnya mempunyai latar belakang yang luas dan menyangkut persoalan-persoalan di dalam tubuh angkatan perang, yang sedang melakukan konsolidasi di dalam proses peralihan dari tentara gerilya menuju tentara profesional.
Pada waktu itu tentara dihinggapi berbagai masalah. Selain masalah spikologis yang timbul sebagai akibat pelaksanaan persetujuan KMB, antara lain masalah bekas KNIL dan adanya misi militer Belanda, juga timbul persoalan-persoalan politik karena sistem liberal pada waktu itu menempatkan angkatan perang sebagai ''alat sipil'' serta adanya usaha-usaha kekuatan politik yang mencoba menguasai dan memperalatnya.
Hal ini mengakibatkan timbulnya pergolakan khususnya di lingkungan TNI-AD. Peristiwa 17 Oktober 1952 itu mengakibatkan Nasution digantikan oleh Kolonel Bambang Sugeng. Dapat pula ditambahkan bahwa peristiwa 17 Oktober 1952 memberi gambaran bagaimana hubungan kekuatan politik dan militer pada waktu itu.
Pada peristiwa Oktober 1952 menggambarkan kekuatan dan kelemahan politik sistem parlemen seperti yang diundangkan, demokrasi parlemen di Indonesia ternyata tidak mampu untuk menghasilkan aturan politik yang jelas untuk negara.
Kita telah melihat bahwa hal itu merupakan produk dari aritmatika parlemen serta struktur administratif dari militer, tapi juga disebabkan legitimasi politik dari partai-partai dan sistem parlemen saat itu sedang goyah. Peristiwa 17 Oktober 1952 itu tidak mengakibatkan jatuhnya Kabinet Wipolo.
Namun kabinet itu menjadi turun reputasinya. Hal ini disusul dengan adanya peristiwa yang kemudian dikenal dengan nama peristiwa Tanjung Morawa. Tanjung Morawa adalah suatu daerah kecamatan di Sumatera Timur di mana terdapat perkebunan modal asing, khususnya tembakau.
Pada jaman Jepang, perkebunan itu ditinggalkan oleh kontraktornya dan oleh rakyat, dengan dorongan Jepang, perkebunan ini digarap untuk tanaman bahan makanan. Atas dasar persetujuan KMB para kontraktor menuntut kembali tanah perkebunannya, dan pemerintah Republik Indonesia menyetujui tuntutan mereka.
Karena tanah perkebunan itu dapat menghasilkan devisa yang diperlukan maka kesanggupan pemerintah untuk menjamin modal asing yang ditanam di Sumatera Timur tadi diharapkan akan menarik lebih banyak modal asing yang ditanam di Indonesia.
Petani banyak protes, tetapi disambut polisi dengan tembakan yang menyebabkan beberapa petani tewas. Terjadi reaksi di kalangan rakyat, yang menyebabkan kabinet mengembalikan mandatnya kepada Presiden Sukarno pada tanggal 2 Juni 1953.
Baca juga selanjutnya di bawah ini :
Baca juga selanjutnya di bawah ini :
?
ReplyDelete