Kebijakan Kolonialis dan Dampaknya terhadap Ekonomi penduduk
Kebijakan Kolonialis dan Dampaknya terhadap Ekonomi penduduk
Perkembangan kolonialisme dan imperialisme Barat serta dampak yang ditimbulkannya di Kepulauan Indonesia sejak abad ke-16 sampai awal abad ke-20 secara umum dapat dibedakan dalam tiga periode besar. Pertama, periode kompetisi dan peletakan fondasi awal yang mencakup masa sejak jatuhnya Melaka pada tahun 1511 sampai paroh kedua abad ke-17.
Kedua, periode transisi dan perluasan teritorial yang berlangsung sampai paroh pertama abad ke-19, yang ditandai oleh peningkatnya eksploitasi terhadap masyarakat lokal dan berakhirnya sebagian besar kekuasaan kerajaan lokal.
Ketiga, periode menguatnya negara kolonial dan modal swasta yang berakibat pada perubahan besar secara sosial, kebudayaan, politik dan ekonomi yang berlangsung sejak paroh kedua abad ke-19. Sartono Kartodirjo dalam bukunya membagi masa yang sama dalam 5 bab yang berbeda.
Pertama, perluasan kekuasaan Aceh-Mataram-Makasar, 1600-1700. Kedua, perpecahan dan campur tangan kumpeni, 1600-1700. Ketiga, kemunduran di Jawa dan penetrasi kumpeni, 1670-an-abad ke-18. Keempat, kemunduran di luar Jawa dan penetrasi kumpeni, 1700-1800. Kelima, sistem sosial ekonomi abad ke-19.
Sementara itu J.S.Furnivall membuat periodisasi sebagai berikut; (1) Masa VOC, 1600-1800; (2) Tahun-tahun yang membingungkan, 1795-1815; (3) Tahun-tahun yang tidak menentu, 1815-1830; (4) Sistem Tanam Paksa, 1830-1850; (5) Transmisi Menuju Sistem Liberal, 1850-1870; (6) Sistem Liberal, 1870-1900; (7) Efisiensi, kemakmuran dan otonomi; (8) Reformasi administrasi dan politik; (9) Kemajuan ekonomi dan seterusnya.
Berdasarkan periodisasi di atas terlihat bahwa kondisi ekonomi di Kepulauan Indonesia sangat dipengaruhi oleh ekspansi Barat, terutama Belanda baik pada masa VOC maupun Hindia Belanda. Namun tingkat pengaruhnya berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain dan dari satu masa ke masa yang lain, tergantung pada jauh dekatnya hubungan dengan kepentingan kolonial dan kemampuan masing-masing masyarakat merespon eksploitasi kolonial atau kesempatan yang muncul.
Secara ekonomis periodisasi itu menyiaratkan adanya dua kondisi yang berbeda secara ekonomis. Pertama, kemunduran ekonomi yang berlangsung sejak masa awal kedatangan bangsa Barat sampai akhir abad ke-19. Kedua, perbaikan ekonomi sejak awal abad ke-20 yang ditandai oleh ekspansi modal swasta dan kebijakan politik etis.
Akan tetapi generalisasi seperti itu cenderung menyesatkan karena kenyataan sejarah tidak sesederhana itu. Seperti telah disebutkan di atas, kehadiran bangsa Barat tidak begitu saja menghancurkan perekonomian kerajaan dan masyarakat lokal.
Di sebagian wilayah seperti Makasar, Banjarmasin, Aceh, Riau, Banten dan pantai utara Jawa, kehadiran bangsa Barat bahkan membawa wilayah itu ke masa modern awal, paling tidak sampai pertengahan abad ke-17 ketika kekuasaan VOC yang semakin kuat mulai menghambat kemajuan itu.
beberapa indikator yang menunjukan kemajuan ekonomi itu antara lain adalah spesialisasi ekonomi, diferensiasi dalam jaringan komersial, monetisasi, urbanisasi dan peraturan ekonomi. Pada saat yang sama, kondisi ekonomi penghasil cengkeh, pala dan fuli di Maluku mengalami perubahan besar yang mengarah pada kemunduran.
Melalui berbagai perjanjian dan tekan militer, VOC berusaha menghentikan peran Tidore, Ternate, Bacan dan Jailolo sebagai penghasil cengkeh, pala dan fuli. Hasilnya, VOC berhasil memindahkan pusat penghasil cengkeh di Maluku dari Maluku Utara ke kepulauan Ambon pada tahun 1620-an.
Pada dasarnya Belanda selama masa VOC lebih tertarik pada wilayah penghasil rempah-rempah, dan membiarkan wilayah-wilayah penghasil komoditi lain tetap berproduksi seperti biasa dibawah sistem yang lama, kecuali beberapa daerah yang telah dikuasai secara penuh seperti daerah pantai utara Jawa dan Jawa Barat.
Sejak pertengahan abad ke-17 sampai berakhirnya VOC, Belanda sudah menguasai hampir seluruh pusat penghasil dan perdagangan rempah-rempah, kecuali Aceh. Kebijakan itu tentu saja berpengaruh terhadap sistem produksi di wilayah itu, yang sebagian besar terdapat di Maluku, Sumatera dan hanya sebagian kecil di Jawa.
Di Jawa kecuali di Pariangan Jawa Barat, Belanda tidak memperkenalkan sistem produksi yang baru, dan masih terus bergantung pada sistem penyerahan wajib. Di dalam Preanger Stelsel yang dimulai pada tahun 1723, VOC yang bekerjasama dengan para bupati dan elite lokal lainnya mewajibkan penduduk menanam kopi dan penyerahan hasilnya kepada kumpeni.
Kebijakan di Pariangan itu hampir sama dengan yang telah dilakukan di bagian tertentu di Maluku pada abad sebelumnya, ketika penduduk Pulau Banda yang baru membuka kebun-kebun pala atas perintah VOC. Pada masa transisi ketika Hindia Belanda di kuasai oleh Daedels dan T.S. Raffles, pemerintah kolonial memberlakukan berbagai kebijakan yang berpengaruh terhadap kehidupan rakyat.
Sebagian dari perubahan sistem pemerintahan, Daedels memutuskan agar semua pegawai pemerintah menerima gaji tetap dan mereka dilarang melakukan kegiatan perdagangan. Deadels juga melarang penyewaan desa, kecuali untuk memproduksi gula, garam dan sarang burung.
Biarpun pada satu sisi Daedels menghapus penyerahan wajib seperti kapas dan nila di beberapa wilayah, di sisi lain ia memperkenalkan penanaman wajib kopi di Jawa Tengah dan Jawa Timur, menjual tanah dan memaksa penduduk untuk membangun jalan raya sepanjang Pulau Jawa untuk kepentingan militer yang menambah penderitaan rakyat.
Pada masa T.S. Raffles terhadap keinginan untuk menghapuskan penyerahan wajib dan pengerahan tenaga kerja secara paksa, sebagai gantinya akan diterapkan pajak atas tanah. Raffles juga menginginkan adanya pengawasan pemerintah yang ketat atas penyewaan tanah yang dianggap merugikan rakyat.
Akan tetapi seluruh ide yang ada dapat dikatakan tidak sempat dilaksanakan oleh Raffles, sehingga penderitaan rakyat tidak berkurang. Raffles bahkan terus menjual tanah kepada orang kaya. Akibatnya, luas tanah partikelir particuliere landerijen terus bertambah.
Kebijakan lain yang merubah pola produksi dan berdampak besar terhadap kehidupan masyarakat terjadi sejak tahun 1830, ketika Pemerintahan Hindia Belanda memperkenalkan Cultuurstelsel atau Kultuurstelsel, Cultivation System dalam bahasa Inggris dan biasa diterjemahkan secara normatif dalam bahasa Indonesia sebagai Sistem Tanam Paksa.
Sistem yang secara harfiah berarti Sistem Budidaya Tanaman itu pada dasarnya diperkenalkan untuk menutup defisit anggaran baik pemerintah Belanda maupun pemerintah Hindia Belanda akibat perang kemerdekaan Belgia dan perang Diponegoro.
Secara teoretik, sistem yang diperkenalkan pertama kali di Jawa oleh Johanes van den Bosch itu mewajibkan setiap desa menyerahkan 1/5 dari luas tanahnya kepada pemerintahan untuk ditanami komoditi tertentu seperti gula, indigo atau nila, kopi dan kemudian juga tembakau.
Selain itu penduduk juga diwajibkan untuk bekerja dalam jumlah hari tertentu dalam setahun dengan upah yang telah ditetapkan. Hasil dari penanaman itu akan dihitung dengan pajak per desa yang harus dibayarkan. Jika hasil lebih besar, maka pemerintah akan membayar kelebihan cultuurprocenten, jika sebaliknya yang terjadi desa membayar kekurangannya.
Dalam pelaksanaanya, kebijakan hanya berlaku di tanah gubernemen saja dan tidak termasuk di wilayah Vorstenlanden Yogyakarta dan Surakarta serta Karesidenan Batavia itu, tidak memiliki sistem yang pasti. Setiap wilayah atau bahkan desa memiliki pengalaman yang berbeda.
Luas tanah yang ditanami lebih sering melebihi ketentuan yang telah disepakati, bahkan bayak warga yang harus menyerahkan seluruh tanahnya untuk ditanami tanpa menerima pengganti. Perhitungan hasil dengan pajak yang harus dibayar Penduduk juga harus bekerja lebih lama tanpa menerima upah.
Tidak kurang dari 57% penduduk Jawa terlibat dalam sistem ini pada tahun 1840. Persentase itu turun menjadi 46% pada tahun 1850, namun naik lagi menjadi lebih dari 50% pada tahun 1860. Jika dilihat per daerah, maka angka yang ada akan jauh lebih tinggi, seperti Banten yang mencapai 92% pada tahun 1840 dan 97% di Kedu pada tahun 1845.
Dalam kenyataannya dampak ekonomis yang dialami penduduk dari satu tempat dengan tempat yang lain dan dari satu komoditi dengan komoditi yang lain. Penduduk di wilayah yang ditanami nila biasanya lebih menderita dibandingkan dengan komoditi yang lain. Kajian yang dilakukan oleh Jan Breman memperlihatkan kondisi ekonomi penduduk yang terus menurun di Cirebon sehingga memacu terjadinya migrasi tenaga kerja besar-besaran baik secara tetap maupun musiman.
Sementara itu studi yang dilakukan oleh Robert Elson sebaliknya membuktikan bahwa penduduk di wilayah tertentu, seperti Pasuruan mendapat keuntungan dari pelaksanaan Kultuurstelsel. Produksi pangan dan ekonomi di wilayah ini berkembang pesat seiring dengan pelaksanaan kebijakan itu.
Satu hal yang pasti, kebijakan itu memberikan keuntungan batigslot yang sangat besar baik kepada pemerintahan Belanda maupun Hindia Belanda. Anatara tahun 1831 sampai tahun 1877, pemerintah Belanda menerima tidak kurang dari 832 juta gulden.
Sebelum tahun 1850, 19% dari anggaran belanja pemerintah Belanda berasal dari hasil Sistem Tanam Paksa. Persentase itu terus meningkat menjadi 32% antara tahun 1851-1860 dan 34% antara tahun 1860-1866. Keuntungan yang besar juga diterima oleh pemerintah Hindia Belanda, pegawai kolonial dan para elite lokal bumiputera.
Selain di Jawa, kebijakan yang hampir sama juga dilakukan di tempat lain seperti Sumatera Barat, Minahasa, Lampung dan Palembang. Kopi merupakan tanaman utama di dua tempat pertama, sedangkan lada merupakan tanaman utama di dua wilayah yang kedua.
Di Minahasa, kebijakan yang sama kemudian juga berlaku pada penanaman kelapa. Di Sumatera Barat sistem tanam paksa dimulai sejak tahun 1847, ketika penduduk yang telah lama menanam kopi secara bebas dipaksa untuk menanam kopi untuk diserahkan kepada pemerintah kolonial.
Seperti juga di Jawa pelaksanaan sistem ini dilakukan melalui jaringan birokrasi lokal. Akibatnya seperti ditulis oleh Kenneth R. Young, sistem itu telah menimbulkan stagnasi dalam ekonomi masyarakat Minangkabau yang sebelumnya sangat giat dan aktif. Keuntungan dan kesengsaraan yang ditimbulkan oleh Kultuurstelsel telah menimbulkan dukungan dan perlawanan.
Biarpun banyak tulisan menyebutkan bahwa penghapusan sistem ini sebagai akibat dari kritik yang terjadi di negeri Belanda, seperti yang dilakukan oleh Max Havelaar, ada juga bukti yang menunjukan bahwa penghapusan itu berhubungan dengan keinginan para pemilik modal swasta untuk menikmati keuntungan besar dari eksploitasi sumber ekonomi Kepulauan Indonesia seperti yang selama ini diterima oleh pemerintah.
Para penentang pemerintah dan Sistem Tanam Paksa pada prinsipnya bersembunyi dibalik kebijakan politik liberal untuk kepentingan ekonomi mereka sendiri atau para pemilik modal. Hasilnya, Kultuurstelsel dihapus secara resmi seiring dengan pemberlakuan undang-undang agraria tahun 1870 biarpun dibeberapa tempat sistem itu terus berlangsung sampai awal abad ke-20.
Sebuah periode baru yang ditandai oleh ekspansi penanaman modal swasta, terutama dalam sektor perkebunan dan pertambangan disamping ekspansi ekonomi yang terus dilakukan pemerintahan mewarnai sejarah Kepulauan Indonesia.
Perkembangan penanaman modal swasta sebenarnya tidak dimulai sejak tahun 1870, karena ketika berlangsung Sistem Tanam Paksa di tanah gubernemen, pada saat yang sama perkebunan swasta juga berkembang di daerah Vorstenlanden dan bekas-bekas tanah partikelir di sekitar Jakarta.
Apa yang terjadi sejak tahun 1870 itu lebih berkaitan dengan berkurangnya peran pemerintah secara langsung dalam proses produksi, adanya akses yang lebih besar untuk menyewa tanah dan ekspansi usaha pemodal swasta setelah tahun 1870-an itu antara lain;
Ekspansi Usaha Swasta tahun 1870 :
(1). Perkebunan tembakau dan kemudian karet di sekitar Deli, Serdang dan Langkat Sumatera Timur atau Sumatera Utara sekarang.
(2). Tembakau, karet dan emas di Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan.
(3). Batu bara di Pulau Laut, Ombilin dan Tanjung Enim.
(4). Emas dan perak di Rejang, Lebong, Gorontalo dan Kalimantan Timur dan minyak di Sumatera Timur, Palembang dan Jambi.
Memasuki abad ke-20 ekspansi ekonomi ke luar Jawa semakin luas, ketika beberapa penelitian geologi berhasil mengidentifikasi lebih banyak sumber-sumber mineral dan bahan tambang lainnya seperti yang terdapat di Riau, Aceh, Kalimantan Timur dan Papua.
Biarpun sampai Perang Dunia II sebagian dari sumber-sumber ekonomi itu belum berproduksi, eksplorasi yang dilakukan sejak awal abad ke-20 itu sangat menentukan ekonomi Indonesia setelah kemerdekaan.
Salah satu contoh yang sangat penting dari ekspansi ekonomi ke luar Jawa dan penanaman modal swasta sejak akhir abad ke-19 adalah pembukaan perkebunan tembakau di Sumatera Timur ketika Jacob Nienhuys mendapat konsesi dari Sultan Deli pada tahun 1863.
Karena keterbatasan tenaga kerja, pembukaan perkebunan itu sangat tergantung dari para pekerja atau kuli kontrak yang berasal dari Cina, Jawa dan kemudian juga India. Dalam perkembangannya kemudian di awal abad ke-20, sistem kontrak itu dihapuskan dan diganti dengan buruh bebas.
Namun perubahan itu tidak merubah nasib pekerja, yang terus hidup dalam kemiskinan dan lingkungan baik sosial maupun fisik yang sangat memprihatinkan. Biarpun begitu pembukaan perkebunan tembakau dan kemudian disusul dengan karet dan kelapa sawit tidak hanya memberikan keuntungan yang luar biasa bagi para tuan kebun melainkan juga telah merubah kehidupan ekonomi wilayah ini secara keseluruhan termasuk keuntungan besar yang diterima oleh para penguasa lokal.
Daerah seperti Deli, Serdang, Langkat, Medan dan sekitarnya tumbuh menjadi pusat-pusat ekonomi baru yang mampu menarik banyak migran dari luar daerah.
Baca juga selanjutnya di bawah ini :
Baca juga selanjutnya di bawah ini :
Post a Comment for "Kebijakan Kolonialis dan Dampaknya terhadap Ekonomi penduduk"