Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pergolakan Sosial Politik dan Ideologi awal tahun 1960-an

Pergolakan Sosial Politik dan Ideologi awal tahun 1960-an 

Pada waktu Divisi Siliwangi kembali ke Jawa Barat setelah Agresi Militer Belanda II, pasukan Siliwangi harus menghadapi tentara Belanda dan pasukan DI/TII, yang menghalangi mereka masuk ke Jawa Barat. Pertempuran pertama terjadi di Desa Antralina Malangbong pada tanggal 25 Januari 1949.

Gerakan DI/TII ini tidak hanya di Jawa Barat saja, melainkan meluas ke Aceh, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan. DI/TII dalam aksi terornya melakukan perusakan, pembakaran rumah penduduk, bahkan kadang-kadang juga menyiksa dan membunuh penduduk.

Apabila dilihat dari ajaran Islam jelas tindakan itu tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Bagaimana kuatnya gerakan DI/TII dapat dilihat pada kutipan berikut : Belanda tidak dapat mengalahkan bahkan menandingi pertumbuhan Darul Islam.

Gambar Gerakan DI/TII 

Pergolakan Sosial Politik dan Ideologi awal tahun 1960-an

Kenyataannya, pada akhir tahun 1948 dan permulaan tahun 1949, hampir semua negara boneka Belanda, seperti Negara Pasundan, termasuk Walinegara : Wiranata Koesoema, yakin bahwa hanya pasukan Republik yang mampu memadamkan Darul Islam (G. Mc. T. Kahin, 1952 : 331). Penumpasan DI/TII ini memakan waktu lama.

Akhirnya Kartosuwiryo dapat ditangkap dan dijatuhi hukuman mati pada tanggal 16 Agustus 1962. Pada tanggal 20 September 1953, di Aceh timbul pemberontakan yang dipimpin oleh Tengku Daud Beureueh. Penyebabnya adalah karena Daud Beureueh kecewa pada status Aceh yang ditetapkan sebagai Karesidenan, bukan lagi sebagai propinsi.

Daud Beureueh yang tadinya menjabat sebagai Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh itu, tentu saja tidak puas dan kemudian mengeluarkan maklumat pada tanggal 21 September 1953 yang menyatakan bahwa Aceh merupakan bagian dari negara Islam Indonesia di bawah Imam Kartosuwiryo.

Gerakan itu segera meluas ke kota-kota di Aceh. Mereka melawan pemerintah Republik Indonesia sehingga diperlukan kekuatan senjata untuk menumpasnya. Akhirnya pada bulan Desember 1962 diadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh yang diadakan atas inisiatif Kolonel M. Yani, Pangdam I Iskandar Muda, yang didukung oleh tokoh-tokoh pemerintah dan rakyat, sehingga pemberontakan dapat diakhiri dengan musyawarah.

Banyak pengikut gerombolan itu yang kembali ke pangkuan Republik Indonesia. Gerakan semacam ini masing sering terjadi di Aceh, misalnya Gerakan Aceh Merdeka. Di Sulawesi Selatan muncul gerakan DI/TII di bawah pimpinan Kahar Muzakar. Gerakan ini benar-benar dapat memanfaatkan keadaan medan dan lebih mengenal sifat rakyat setempat, dan rasa kesukuan yang ditanamkan berakar di hati rakyat.

Sebab ambisi Kahar Muzakar untuk mendapatkan kedudukan dalam APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat). Di samping itu dia juga menuntut agar semua anggota KGSS (Komando Gerilya Sulawesi Selatan) dimasukkan dalam APRIS dengan nama Brigade Hasanuddin.

Pada tahun 1952 ia menyatakan bahwa daerah Sulawesi Selatan merupakan bagian dari Negara Islam Indonesia di bawah pimpinan Kartosuwiryo. Untuk menumpas gerombolan ini pemerintah melancarkan operasi militer ke Sulawesi Selatan. Akhirnya pada tahun1965, Kahar Muzakar dapat disergap dan ditembak mati oleh pasukan TNI dari Divisi Siliwangi, setelah lebih kurang 14 tahun dia melakukan teror dan pengacauan di daerah Sulawesi Selatan dan Tenggara.

Di Kalimantan Selatan gerakan DI/TII, dipimpin oleh Ibnu Hajar, seorang bekas anggota TNI, gerakan ini dinamakan Kesatuan Rakyat Yang Tertindas (KRYT). Gerakan ini menyatakan diri sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia di bawah pimpinan Kartosuwiryo. Gerombolan ini melakukan perlawanan terhadap kekuatan TNI dan pengacauan terhadap masyarakat, sehingga diperlukan operasi militer untuk mengatasinya.

Pada akhir tahun 1959 Ibnu Hajar dapat ditangkap, dan diajukan ke sidang Mahkamah Militer luar Biasa di Markas Besar Angkatan Darat di Jakarta. Akhirnya tanggal 22 Maret 1965 Ibnu Hajar dijatuhi hukuman mati. Gerakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil), adalah gerakan pengacau yang dipimpin oleh Kapten Raymond Westerling.

Pada tanggal 23 Januari 1950, dengan kekuatan pasukannya sejumlah kurang lebih 800 tentara, Westerling memimpin pembunuhan dan menyerang kota Bandung, dengan gerak cepat pada pagi-pagi buta kota Bandung dapat dikuasai Westerling.

Menghadapi pemberontakan APRA, pemerintah mengirim pasukan yang diperkuat kesatuan-kesatuan polisi dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Akhirnya TNI dapat menghancurkan APRA di kota Bandung, tetapi Westerling lolos ke Jakarta dan lari ke luar negeri, di mana kemudian dideportasi ke Eropa.

Pada tanggal 5 April 1950, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Kapten Andi Azis. Andi Azis adalah perwira KNIL yang baru diterima ke dalam APRIS. Pada tanggal 30 Maret 1950, ia bersama-sama dengan pasukan KNIL yang berada di bawah komandonya menggabungkan diri ke dalam APRIS dihadapan Letnan Kolonel Mokoginto, Panglima Tentara dan teritorial Indonesia Timur.

Tujuan gerakan Andi Azis adalah sikap menolak masuknya pasukan-pasukan APRIS dari TNI ke Sulawesi Selatan. Andi Azis juga ingin mempertahankan Negara Indonesia Timur. Pada tanggal 26 Maret 1950 pasukan pemerintah telah didaratkan di Makasar.

Di bawah pimpinan Kolonel Alex Kawilarang. Andi Azis berhasil ditangkap, dan diajukan ke pengadilan di Yogya pada tahun 1953, ia dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Pendiri RMS adalah Mr. Dr. Christian Robert Steven Soumokil, bekas Jaksa Agung NIT.

Dalam usahanya untuk memperkuat kedudukan RMS ini, Soumokil telah berhasil memindahkan pasukan KNIL dan Baret Hijau yang dulu terlibat dalam pemberontakan Andi Azis ke Ambon. Pemerintah Republik Indonesia Serikat mengatasi masalah RMS itu melalui jalan damai yaitu dengan cara mengirimkan Dr. Leimena.

Namun misi damai itu tidak berhasil karena ditolak oleh Soumokil. Bahkan mereka meminta bantuan, perhatian dan pengakuan dari dunia luar, terutama dari Belanda, Amerika Serikat dan Australia. Karena tidak berhasil melalui jalan damai, maka pemerintah Indonesia mengatasinya dengan kekuatan senjata.

Pemerintah segera mengirim pasukan di bawah pimpinan Kolonel Kawilarang. Pada bulan Desember 1950 seluruh pulau Ambon sudah berhasil dikuasai TNI. Lebih kurang selama enam bulan, seluruh Maluku dapat dikuasai dan pemberontakan RMS dapat dipadamkan.

Dalam pertempuran menghadapi RMS itu telah gugur Letnan Kolonel Slamet Riyadi setelah mempertahankan benteng Nieuw Victoria. Beliau gugur sebagai pahlawan bangsa. Sia-sia pasukan RMS melarikan diri ke hutan-hutan. Dr. Soumokil sendiri dapat ditangkap pada tahun 1962.

Soumokil diajukan ke Mahkamah Militer dan dijatuhi hukuman mati pada tahun 1966. Sia-sia dari RMS ini banyak yang melarikan diri ke negara Belanda dan mereka membentuk semacam pemerintah dalam pengasingan. Di Jawa Tengah terdapat pemberontakan gerombolan MMC (Merapi Merbabu Complex).

Aktivitas dari gerombolan ini terutama terjadi di Jawa Tengah. Mereka menamakan diri gerombolan Merapi Merbabu Complex. Anggota gerombolan ini terdiri dari orang-orang yang kecewa dan kelompok penjahat. Aksi pengacauan yang mereka lakukan berupa penggarongan dan perampokan terhadap rakyat.

Sehingga seringkali menimbulkan banyak korban yang jatuh serta mengganggu jalannya roda perekonomian. Maka pemerintah segera bertindak dan menumpas gerombolan MMC tersebut. Gerakan-gerakan daerah muncul di Sumatera dan Sulawesi, dimana gerakan ini cukup menggoncangkan integritas dan keutuhan bangsa.

Gerakan itu timbul disebabkan adanya rasa ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah dalam kedudukan daerah di bidang perdagangan. Di Sumatera Barat terbentuk Dewan Banteng di bawah pimpinan Letnan Kolonel Ahmad Husen. Dewan Banteng ini menuntut otonomi daerah kepada Pemerintah Pusat.

Menanggapi hal itu pada tanggal 9 Desember 1956, KSAD mengeluarkan pengumuman bahwa para perwira Angkatan Darat dilarang melakukan kegiatan politik. Ahmad Husen tidak menghiraukan seruan itu, bahkan pada tanggal 20 Desember 1956 dia mengambil alih pemerintahan daerah Sumatera Tengah, maka muncullah beberapa Dewan-Dewan yang serupa lainnya, seperti : Dewan Gajah di Sumatera Utara dipimpin oleh Kolonel M. Simbolon, Dewan Garuda di Sumatera Selatan dipimpin oleh Letkol Vence Sumuel. Pergolakan ini menyebabkan jatuhnya Kabinet Ali II.

Pemberontakan lainnya adalah pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia). Pertentangan antara pemerintah pusat dengan beberapa daerah yang berpokok pada masalah ekonomi dan perimbangan keuangan Pusat dan Daerah makin lama makin meningkat.

Pada tanggal 9 Januari 1958 diadakan pertemuan di Sungai Dareh, Sumatera Barat, yang di hadiri oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein, Letnan Kolonel Sumuel, Kolonel Simbolon, Kolonel Dachlan Djambek, dan Kolonel Zulkifli Lubis. Sedangkan dari pihak sipil hadir : M. Natsir, Syarif Usman, Burhanuddin Harahap dan Syafruddin Prawiranegara.

Dalam pertemuan tersebut dibahas mengenai pembentukan pemerintahan baru serta hal-hal yang berhubungan dengan hal itu. Pada hari berikutnya tanggal 10 Pebruari 1958 Ahmad Husen pimpinan Dewan Benteng mengadakan rapat raksasa di Padang dan mengadakan tuntutan terhadap Kabinet Djuanda agar menyerahkan mandatnya kepada Presiden. 

Tuntutan tersebut ditolak dan pemerintah secara resmi memecat Letnan Kolonel Ahmad Husen, Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Dahlan Djambek, dan Kolonel Simbolon dari jabatan militernya. Komando Daerah Militer Sumatera Tengah kemudian dibekukan dan ditempatkan langsung di bawah KSAD.

Pemerintah jelas menolak ultimatum yang disampaikan oleh Dewan Daerah tersebut. Pemerintah mengambil sikap tegas, dan mereka yang memberikan ultimatum itu dipecat dari TNI. Sebab apabila tuntutan dari Dewan Daerah tersebut dipenuhi dan pemerintah Pusat mengalah pada tuntutan mereka, maka kemungkinan akan muncul tuntutan baru yang akan memperuncing masalah Pusat dan Daerah.

Tindakan pemerintah itu dijawab dengan segera oleh peserta rapat di Sungai Dareh dengan memproklamasikan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia. Kabinet PRRI itu dipimpin oleh Perdana Menteri Syafruddin Prawiranegara.

Nama yang dipergunakan memberikan kesan bahwa gerakan itu bukanlah suatu gerakan daerah dan bukan pula suatu gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari Republik Indonesia. Nama itu menunjukkan bahwa gerakan tersebut adalah gerakan untuk menggantikan pemerintahan yang sah.

Operasi penumpasan PRRI dan gerakan PRRI itu sendiri meluas di Sumatera. Pemerintah pusat segera menyiapkan pasukannya yang terdiri dari gabungan TNI AD, AL dan AU. Pertama-tama untuk mengamankan daerah Riau, dibentuk Operasi Tegas dipimpin oleh Letnan Kolonel Kaharuddin Nasution.

Pertimbangannya adalah untuk mengamankan instalasi-instalasi minyak asing dengan dalih menyelamatkan negara dan miliknya. Pekanbaru berhasil pada tanggal 12 Maret 1958. Untuk mengamankan daerah Sumatera Barat dilancarkan Operasi 17 Agustus di bawah pimpinan Kolonel Ahmad Yani.

Padang dapat dikuasai oleh TNI. Juga Bukittinggi berhasil dikuasai pada tanggal 4 Mei 1958. Untuk mengamankan daerah Sumatera Utara dilancarkan Operasi Saptamarga di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Djatikusumo. Untuk mengamankan daerah Sumatera Selatan dilancarkan Operasi Sadar di bawah pimpinan Letnan Kolonel Dr. Ibnu Sutowo.

Akhirnya pimpinan PRRI menyerah satu persatu. Pada tanggal 29 Mei 1961 Ahmad Husen melaporkan diri dengan pasukannya, disusul tokoh PRRI lainnya baik dari sipil maupun militer. Perlu dicatat bahwa usaha untuk mengatasi pemberontakan itu dilakukan di samping melalui pertempuran demi pertempuran juga dilakukan usaha pembinaan rakyat.

Di daerah pemberontakan pembinaan pada rakyat perlu ditingkatkan karena bukan hanya untuk memutuskan dan membatasi ruang gerak pemberontakan juga untuk memutuskan hubungan antara pemberontak dengan rakyat. Pembinaan teritorial juga dilakukan agar suplai makanan para pemberontakan mengalami kesulitan.

Pimpinan PRRI akhirnya menyerah pada tanggal 29 Mei 1961 Ahmad Husen beserta pasukannya menyerahkan diri dan pemberontakan PRRI pun berakhir. Dalam usahanya untuk menggalang persatuan dalam negeri, Presiden Sukarno memaklumkan prinsip NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis).

Dengan dasar pemikiran untuk mempersatukan seluruh kekuatan politik masyarakat dalam Demokrasi Terpimpin, maka dikembangkan ajaran NASAKOM, yang terdiri dari : Nasionalis diwakili oleh PNI, Agama diwakili oleh NU dan Komunis diwakili oleh PKI.

Baca juga selanjutnya di bawah ini :

Post a Comment for "Pergolakan Sosial Politik dan Ideologi awal tahun 1960-an"