Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme Barat

Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme  Barat 

Secara umum, perlawanan terhadap bangsa Barat di Kepulauan Indonesia dapat dibedakan berdasarkan waktu dan aktornya. Dalam konteks waktu, perlawanan itu dapat dikelompokkan dalam dua periode besar. Pertama, perlawanan terhadap pedagang serakah yang berpolitik yang terjadi sepanjang abad ke-16 sampai akhir abad ke-18. Kedua, perlawanan terhadap pemerintahan Hindia Belanda sejak abad ke-19.

Dalam konteks aktor, perlawanan dapat dibedakan antara perlawanan oleh pemerintah atau elite lokal dan perlawanan oleh masyarakat atau rakyat, termasuk didalamnya perlawanan yang dilakukan oleh para migran seperti komunis Cina.

Gambar Perlawanan terhadap Portugis 

Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme  Barat

Terdapat perbedaan motif, bentuk gerakan dan ideologi pada  masing-masing perlawanan, baik yang dilakukan oleh kerajaan, elite lokal maupun oleh rakyat. Satu hal yang pasti, perlawanan itu berlangsung seiring dengan perluasan kolonialisme dan imperialisme Barat di berbagai wilayah di Kepulauan Nusantara.

Beberapa perlawanan bersifat sangat lokal dan bahkan individual atau kelompok kecil dan hanya berlangsung dalam waktu yang singkat. Sedangkan perlawanan lain bersifat massal, mencakup wilayah yang luas, persenjataan serta strategi perang yang canggih dan waktu yang lama.

Hanya kurang lebih satu tahun setelah kedatangan Portugis di Melaka, perlawanan terhadap kehadiran bangsa Barat segera muncul baik karena alasan persaingan ekonomi dan politik maupun reaksi terhadap tekanan yang dilakukan Portugis.

Setelah perlawanan dari komunitas di dalam kota Melaka, Pati Unus dari Jepara menyerbu Melaka pada malam tahun baru akhir tahun 1512. Setelah itu secara berturut-turut pasukan dari Aceh, Jawa dan Melayu silih berganti menyerang kedudukan Portugis di Melaka sejak tahun 1535, termasuk serangan yang berkali-kali dilakukan oleh Sultan Iskandar Muda sampai akhirnya Portugis dikalahkan Belanda pada abad ke-17.

Perlawanan terhadap Portugis juga dilakukan oleh para penguasa dan masyarakat lokal di Kepulauan Maluku, seperti yang dilakukan oleh pendukung Pangeran Ayola pada tahun 1531 dan 1534. Sementara itu Sultan Baab Ullah, anak Sultan Khairun dari Ternate yang dibunuh Portugis pada tahun 1570, mengepung benteng Portugis pada tahun 1575 dan memaksa mereka pergi dari Ternate.

Sebagian dari mereka kemudian menjadi cikal bakal dari keberadaan Portugis di Timor-Timor. Reaksi yang sama juga ditunjukkan terhadap Belanda di Kepulauan Indonesia. Salah satu perlawanan awal dilakukan oleh Sultan Agung dari Mataram, yang melakukan ekspansi militer ke posisi VOC di Jakarta pada tahun 1628 dan 1629.

Dalam serangan pertama yang dimulai sejak Agustus 1628, pasukan Mataram banyak kehilangan prajurit dan hampir saja berhasil merebut benteng VOC. Segerasetelah Sultan Agung menarik pasukannya pada bulan Desember 1628, VOC menemukan 744 mayat pasukan Mataram di luar benteng mereka.

Pasukan Mataram juga gagal mengambil alih benteng VOC di Batavia dalam serangan yang kedua, namun Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen meninggal di dalam benteng pada bulan September 1629 pada saat markas VOC sedang dikepung oleh tentara Mataram.

Setelah itu terjadi beberapa pertempuran kecil antara Mataram dan VOC, sampai tahun 1636. Mataram kemudian memutuskan untuk berhenti menghadang kapal-kapal VOC setelah menyadari bahwa Portugis tidak mampu membantu mereka melawan VOC.

Pada abad yang sama perlawanan terhadap Belanda juga terjadi di Sulawesi dan Banten. Selain mengandung unsur persaingan ekonomi dan politik seperti yang terjadi dengan Mataram, perlawanan di Sulawesi pada tahap awal ini juga melibatkan konflik antara dua kerajaan lokal yaitu Makasar beserta sekutunya melawan Bugis serta sekutunya.

Perlawanan pada periode ini melibatkan Sultan Hasanudin dan Aru Palaka. Penandatanganan Perjanjian Bunganya pada tahun 1667 tidak menghentikan perlawanan kerajaan atau penguasa lokal di Sulawesi Selatan terhadap Belanda, karena perlawanan terus dilakukan sampai abad-abad berikutnya.

Keadaan itu memaksa Belanda melakukan beberapa kali ekspedisi militer ke Suppa dan Tanette pada tahun 1824. Di Banten perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa pada tahun 1656 dan 1680 merupakan kelanjutan dari perlawanan yang telah dilakukan penguasa Banten sebelumnya pada tahun 1619 dan 1633-1639.

Pada perlawanan antara tahun 1680 sampai 1683 hampir bersamaan dengan perlawanan Trunajaya di Mataram, perang antara Sultan Ageng melawan VOC berkaitan juga dengan konflik internal di Kesultanan Banten yang melibatkan Abdul Kahar atau kemudian menjadi Sultan Haji. Pasukan Sultan Ageng yang sempat menduduki Cirebon dan dataran tinggi Periangan.

Mereka didukung oleh tentara dari Makasar yang dipimpin oleh Shaikh Yusuf Makasar, seorang ulama yang telah tinggal di Banten sejak tahun 1672. Shaikh Yusuf ditangkap pada tahun 1683 dan dibuang ke Afrika Selatan, tempat ia meninggal enam belas tahun kemudian.

Perlawanan yang dilakukan oleh orang Cina terhadap Belanda selama kurang lebih 17 tahun sejak 1741, beberapa dengan perlawanan-perlawanan yang telah disebutkan sebelumnya. Perlawanan orang Cina itu berkaitan dengan pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh orang Barat bersama budaknya dengan dukungan tentara VOC di Batavia sejak 9 Desember 1740.

Dalam peristiwa itu tidak kurang dari 10.000 orang Cina dibunuh dan hampir seluruh perkampungan orang Cina di Batavia dihancurkan atau dibakar. Orang Cina yang berhasil meloloskan diri mulai mengadakan perlawanan dengan menyerang dimulai dari pos VOC di Juwana pada bulan Mei 1741.

Dalam serangan terhadap Semarang pada bulan November 1741, sekitar 3000 orang Cina yang bersenjatakan 30 pucuk meriam didukung tidak kurang dari 20.000 orang Jawa. Serangan terhadap pos-pos kedudukan Belanda terus dilakukan dan orang Cina bahkan terlibat dalam konflik internal di kerajaan Mataram untuk menggulingkan Pakubuwono II, yang berpihak kepada Belanda.

Bersama-sama orang Jawa yang memusuhi Belanda dan Pakubuwono II, orang Cina menyerang ibu kota Mataram di Kartasura dan berhasil menduduki keraton pada akhir bulan Juni 1742. Sementara itu pada abad yang sama, Raja Ali Fisabililah dari kerajaan Riau-Johor berkali-kali melakukan serangan terhadap posisi Belanda di sekitar selat Melaka, seperti serangan terhadap Melaka pada tahun 1784.

Disamping itu masih terdapat perlawanan-perlawanan lainnya di berbagai tempat di Kepulauan Indonesia sampai VOC dibubarkan pada abad ke-18. Di antara beberapa perlawanan terhadap Hindia Belanda yang terjadi pada abad ke-19, perlawanan Saparua, Paderi, Diponegoro, Banjar dan Aceh dapat dikatagorikan sebagai perlawanan besar.

Di samping itu terjadi pula perlawanan bersenjata dalam skala yang sama atau lebih kecil hampir di seluruh Indonesia, baik yang dilakukan kerajaan, elite lokal maupun rakyat yang berhadapan dengan kebijakan politik pemerintah kolonial tentang keamanan dan keteraturan.

Beberapa perlawanan itu antara lain, perlawanan kesultanan Palembang dipimpin Sultan Mahmud Badaruddin II pada tahun 1811, perlawanan kerajaan-kerajaan di Bali pada pertengahan abad ke-19, perlawanan rakyat Pasemah tahun 1860-an, perlawanan rakyat Sunggal tahun 1872, perlawanan rakyat Batak yang dipimpin oleh Si Singa Mangaraja selama 29 tahun sejak 1878, perlawanan yang dilakukan di kerajaan Melayu Riau-Lingga, perlawanan rakyat di Nusantara Tenggara pada bulan Mei 1890 yang dikenal sebagai ''skandal Flores'' dan banyak lagi perlawanan lainnya.

Tekanan ekonomi yang semakin berat yang ditandai oleh kerja wajib mengumpulkan kayu, penyerahan wajib atap, ikan asin, dendeng dan kopi, penanaman wajib pala ditambah desas desus tentang kewajiban bagi penduduk untuk menjadi serdadu Belanda mengakibatkan timbulnya perlawanan rakyat Saparua pada tahun 1817.

Disamping enam pemimpin setempat yang lain, perlawanan ini dipimpin oleh Thomas Matulessy atau Pattimura, seorang yang pernah berdinas sebagai tentara pada masa Inggris. Thomas Matulessy ditangkap pada bulan November 1817, dan ia harus menjalani hukuman gantung hanya sembilan hari sebelum perayaan Natal pada tahun 1817.

Berbeda dengan perlawanan yang terjadi di Saparua, perlawanan yang dilakukan oleh kaum Paderi di Sumatera Barat sejak tahun 1821 sampai tahun 1837diawali oleh pertentangan antara kelompok yang berbeda di dalam masyarakat Minangkabau seiring dengan pembaharuan yang dilakukan oleh tiga orang ulama terkemuka sejak tahun 1803.

Bonjol yang menjadi salah satu pusat kegiatan perlawanan merupakan sebuah kota yang secara ekonomis sedang berkembang. Penanaman kopi dan padi memacu pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan aktivitas perdagangan di wilayah ini.

Konflik internal itu digunakan oleh Belanda menutupi ambisi politik dan ekonomi untuk menguasai Sumatera Barat. Ekspedisi militer Belanda melawan kaum Paderi sempat dihentikan karena kebutuhan militer dan keuangan yang besar dialihkan untuk menghadapi perang di Jawa yang dipimpin oleh Diponegoro.

Perlawanan yang dilakukan Pangeran Diponegoro dari Yogyakarta sejak tahun 1825 sampai tahun 1830 merupakan titik balik terpenting pada abad ke-19 yang menentukan kejayaan pemerintah kolonial dan kemunduran penguasa lokal dalam sejarah politik Jawa dan bahkan sejarah Jawa secara keseluruhan.

Terdapat beberapa faktor saling berhubungan yang melatarbelakangi perlawanan Diponegoro. Pertama, konflik internal yang melibatkan raja, bangsawan dan aristokrat. Kedua, Sultan Hamengkubuwono IV tidak dianggap sebagai raja Jawa yang ideal. Ketiga, campur tangan Belanda yang semakin besar dalam persoalan internal keraton. Keempat, persoalan pribadi antara Diponegoro dengan Sultan. Kelima, kebijakan Belanda yang merugikan Diponegoro secara politik, sosial dan ekonomi. Keenam, sifat Diponegoro yang kharismatik. Ketujuh, adanya dukungan sebagian elite dan rakyat yang besar terhadap perjuangan Diponegoro baik di wilayah Surakarta maupun Yogyakarta.

Persoalan interen di antara bangsawan dan aristokrat Banjar yang mengundang campur tangan Belanda juga merupakan salah satu faktor yang melatarbelakangi perang Banjar, perlawanan elite dan rakyat di Kalimantan Selatan yang berlangsung hampir 50 tahun.

Melalui berbagai perjanjian panjang lange verklaring maupun perjanjian pendek korte verklaring, Belanda tidak hanya mendapat kesempatan melakukan perdagangan melainkan juga menguasai wilayah kekuasaan kerajaan Banjar.

Dibawah pimpinan Pangeran Antasari, perlawanan terhadap Belanda dilakukan sejak 28 April 1859. Seperti nasib hampir seluruh kerajaan di luar Jawa dan Bali, perlawanan terhadap Belanda berakibat terhadap penghapusan kerajaan Banjar pada tahun 1860.

Penangkapan terhadap Pangeran Hidayat dan kematian Pangeran Antasari tidak menghentikan perlawanan elite lokal dan rakyat terhadap Belanda sampai perang berakhir pada tahun 1905. Perlawanan kerajaan elite dan rakyat Aceh antara tahun 1873 sampai 1912 merupakan salah satu perang yang melelahkan dan menguras keuangan pemerintah Hindia Belanda.

Penandatanganan Traktat Sumatera antara Inggris dan Belanda pada tahun 1871 membuka kesempatan kepada Belanda untuk mulai melakukan intervensi langsung ke kerajaan Aceh. Akibatnya, Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada tanggal 26 Maret 1873 karena kerajaan Aceh menolak mengakui kedaulatan Belanda.

Perlawanan terhadap Belanda di Aceh menurut T. Ibrahim Alfian dapat dibagi dalam empat periode. Pertama, periode masa Sultan Mahmudsyah, 1873-1874. Kedua, periode Mangkubumi yang berlangsung kurang lebih 10 tahun. Ketiga, masa Sultan Muhammad Daudsyah sebagai sultan yang terakhir antara tahun 1884 sampai dengan 1903. Terakhir, masa kericuhan sosial yang terjadi selama kurang lebih sembilan tahun.

Biarpun secara resmi pemerintah Hindia Belanda menyatakan perang Aceh berakhir pada tahun 1912, dalam kenyataan perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda terus berlangsung sampai Perang Dunia II. Disamping perang yang telah diuraikan di atas, perlawanan rakyat terhadap Belanda juga dilakukan dalam bentuk gerakan sosial pada abad ke-19 sampai awal pertengahan abad ke-20, baik yang melibatkan gerakan bersenjata maupun hanya sekedar pembangkangan sosial.

Gerakan sosial biasanya bersifat informal dan tidak mengasosiasikan dirinya dengan negara. Sartono Kartodirjo membagi gerakan sosial ini dalam tiga bentuk. Pertama, gerakan melawan pemerasan seperti gerakan petani di tanah partikelir Ciomas tahun 1886, Ciampea tahun 1912, Slipi tahun 1913 dan Surabaya tahun 1916.

Kedua, gerakan ratu adil yang bersifat mesianistis dan nativistis. Sepanjang abad 19 dan awal abad ke-120 terdapat banyak gerakan ratu adil, seperti perlawanan Ahmad Ngisa di Banyumas tahun 1871, Kasan Mukmin dari Gedangan tahun 1903, Dermojoyo dari Kediri tahun 1907 dan Mayor Diets dari Bergas Kidul dekat Semarang tahun 1918.

Ketiga, gerakan sekte keagamaan. Beberapa gerakan dalam katagori terakhir ini adalah gerakan Ahmad Rifangi dari Kalisalak dekat Pekalongan tahun 1850-an dan gerakan Madrais di Pariangan. Disamping itu terdapat gerakan sosial serupa di Kalimantan dan Papua, seperti gerakan Muning di Kalimantan dan gerakan Koreri di Biak antara tahun 1938 sampai dengan 1943.

Baca juga selanjutnya di bawah ini :


Post a Comment for "Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme Barat"