Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kondisi ekonomi RI masa perang dunia

Kondisi ekonomi RI masa perang dunia 

Kondisi ekonomi di Indonesia dalam masa antara dua perang dunia sangat dipengaruhi oleh krisis ekonomi dunia. Sebagai negara pengekspor banyak hasil bumi ke berbagai negara Eropa, krisis ekonomi sangat memukul perkebunan-perkebunan besar di Indonesia baik yang ada di Jawa maupun di luar Jawa.

Banyaknya perusahaan yang harus ditutup dan penurunan upah buruh sebagai akibat merosotnya harga, bagi petani dirasa sebagai turunnya penghasilan mereka. Dari berbagai laporan statistik yang dikeluarkan oleh Liga Bangsa Bangsa antara tahun 1932 sampai dengan 1935 yang kemudian dikutip oleh Wertheim, dapat disimpulkan bahwa krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia lebih berat dan lebih lama dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia (Wertheim, 1999:75).

Bandingkan dengan krisis ekonomi yang melanda Indonesia sekarang. Sebenarnya sejak tahun 1920 volume ekspor mulai turun. Kondisi ini mengakibatkan timbulnya kerugian besar pada perusahaan-perusahaan Barat, bahkan beberapa di antaranya bangkrut.

Perusahaan Barat melakukan penghematan antara lain dengan mengurangi jumlah dan upah buruh. Tujuannya adalah agar perusahaan tetap mendapatkan untung. Sebagai akibatnya timbul kegelisahan sosial dan ketegangan dalam hubungan politik.

Gambar Kondisi Ekonomi

Kondisi ekonomi RI masa perang dunia

Para pemimpin politik Indonesia menginginkan agar ekonomi berada di bawah pengawasan pemerintah sehingga dapat memberi keuntungan kepada rakyat. Tetapi pemerintah mengambil kebijakan lain. Mengapa? Bandingkan dengan kondisi Indonesia sekarang! Akibatnya adalah semakin lebarnya kesenjangan ekonomi antara penduduk pribumi dengan pengusaha Barat.

Jika para pengusaha Barat mengalami kesulitan, maka kehidupan ekonomi penduduk pribumi lebih menyedihkan. Secara ekstrim dapat dikatakan bahwa telah terjadi proses pemiskinan penduduk baik di Jawa maupun di luar Jawa. Di Jawa, petani dan kuli yang tidak memiliki tanah sebesar 37,8% dari keseluruhan jumlah penduduk.

Ditambah dengan petani miskin dan semi proletariat, jumlah penduduk miskin di Jawa mencapai angka 65%. Di propinsi-propinsi yang ada di luar Jawa, jumlah penduduk miskin lebih kecil yaitu 51,26%, terdiri dari kaum proletar dan petani miskin. Apa arti proletar? Proses pemiskinan ini mengakibatkan keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran uang pada budget petani menjadi goyah.

Keadaan ini oleh Wertheim dilukiskan dengan menyebutkan bahwa pemasukan uang petani menurun 70% tetapi pengeluarannya hanya turun 50%. Penurunan 70% pemasukan uang petani dikarenakan turunnya harga penjualan hasil pertanian dan upah buruh sementara harga barang kebutuhan petani seperti sabun dan minyak hanya turun 50%.

Penelitian yang disponsori pemerintah pada tahun 1925 menyimpulkan bahwa belakangan ini kesejahteraan penduduk pribumi di mana-mana menurun dan tidak terelakkan. Selanjutnya angka statistik dalam kurun waktu 1926-1932 juga menunjukkan bahwa selama periode tersebut kesejahteraan ekonomi bangsa Indonesia secara keseluruhan makin menurun.

Indikator dari penurunan kesejahteraan ekonomi adalah turunnya pendapatan per kapita penduduk Jawa dan Madura dari 47,6 gulden menjadi 20,3 gulden. Untuk di luar Jawa pendapatan per kapita turun dari 52,5 gulden menjadi 18,8 gulden. Apa arti pendapatan per kapita? Bandingan dengan pendapatan per kapita rakyat Indonesia sebelum krisis dan sesudah krisis ekonomi.

Dalam periode yang sama selama penurunan pendapat per kapita, persentase pajak-pajak yang ada hubungannya dengan pendapatan justru naik dari 7,64% menjadi 10,95%. Kehidupan petani semakin sulit ketika golongan Cina semakin memegang kendali atas hasil tanah pribumi. Sejak sebelum krisis, karena kurangnya fasilitas kredit yang disediakan oleh pemerintah, petani meminjam uang dari kreditor, kebanyakan orang Cina.

Karena tidak mampu mengembalikan pinjaman, petani sering terpaksa menanami sawahnya dengan tanaman yang ditetapkan oleh kreditornya dan kemudian menjual hasilnya kepada kreditor dengan harga yang telah ditetapkan pula. Peranan Cina semakin besar sejak tahun 1930 karena mereka memperoleh banyak keuntungan akibat sedikitnya uang yang beredar selama krisis.

Memang golongan Cina tidak boleh memiliki tanah tetapi mereka justru memperoleh pengawasan atas fungsional tanah. Tujuan mereka bukan untuk memiliki tanah tetapi memiliki hasilnya untuk kemudian dijual di pasar setempat maupun untuk diekspor.

Dengan memanfaatkan kesulitan petani mendapatkan uang pinjaman, golongan Cina kemudian menggunakan sistem ijon. Apa arti sistem ijon? Dengan sistem ini golongan Cina berhasil meminta hak-hak yang selalu meningkat dengan cara menetapkan syarat-syarat yang berat ketika memberikan pinjaman.

Dengan goyahnya pemasukan dan pengeluaran uang dalam budget petani, mereka tidak dapat lagi membeli barang-barang mewah yang sebelumnya dapat mereka nikmati. Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya petani juga harus menjual padi hasil panennya dalam porsi yang lebih besar.

Naiknya porsi penjualan padi hasil panen berarti turunnya porsi untuk konsumsi sendiri dan menurunnya gizi. Laporan yang dibuat oleh Dinas Kesehatan Rakyat di Kutowinangun, Buitenzorg tahun 1934, menyebutkan bahwa petani Jawa memenuhi kebutuhan makan mereka dengan 2,5 sen per hari. Bandingkan berapa pendapatan per kapita rakyat Indonesia sekarang? 

Dalam kondisi seperti tersebut di atas petani di Jawa mencoba mensiasatinya dengan kembali pada metode lama yaitu ekonomi tertutup. Mereka menanami lahannya hanya dengan tanaman yang mereka konsumsi sendiri dan tidak lagi dengan tanaman bahan perdagangan.

Apa yang dilakukan petani Jawa ini ada yang menyebutnya dengan istilah ''mengadaptasikan dirinya dengan krisis ekonomi dengan cara yang mengagumkan''. Berbagai publikasi yang diterbitkan di Belanda menyebutkan bahwa telah terjadi pembalikan dari ekonomi uang ke ekonomi barter. 

Apa arti barter? Tetapi pajak dan hutang yang telah mentradisi dalam masyarakat pedesaan pada masa ekonomi uang merupakan hambatan utama bagi petani untuk kembali ke ekonomi barter. Untuk dapat membayar pajak tepat pada waktunya, petani kemudian terjebak dalam aktivitas hutang yang lebih berat.

Peneliti yang dilakukan oleh Bank Perkreditan Rakyat tahun 1935 menunjukkan bahwa proporsi hutang di pedesaan di berbagai wilayah sangat berat. Bahkan di beberapa wilayah hasil panen penduduk secara teratur dijual atau di gadaikan tidak hanya untuk satu tahun tetapi sampai beberapa tahun kemudian, agar mereka dapat membayar pajak.

Dalam masa Antar Bellum krisis ekonomi tidak hanya melanda penduduk di Jawa tetapi juga berbagai wilayah Indonesia. Apakah cara mereka mensiasati krisis sama dengan petani Jawa? Akibat pengurangan buruh yang dilakukan oleh perkebunan Barat di Deli maka buruh-buruh yang berasal dari Jawa kembali ke desa tempat kelahirannya, demikian juga dengan buruh yang bekerja di berbagai kota di Jawa. 

Apa yang dilakukan oleh para buruh ini dengan sendirinya menambah sulitnya kehidupan di pedesaan yang juga sedang mengalami krisis. Di Lampung tampak adanya usaha untuk menghadapi krisis dengan adaptasi yang lebih dinamis. Para pengusaha kelas menengah di Lampung mengatasi krisis dengan cara mendirikan perusahaan berskala kecil yang membuka lapangan kerja bagi masyarakat.

Banyak petani yang kemudian pergi ke kota untuk bekerja pada perusahaan berskala kecil tersebut. Ada juga petani yang pergi ke kota dan mencoba berdagang. Gejala ini menunjukkan bahwa banyak orang Indonesia yang telah meninggalkan tradisi lama dan makin terlihat adanya mobilitas sosial.

Bandingkan dengan apa terjadi di Indonesia saat ini! Pada dasa warsa 1930-an banyak pedagang dan pemilik tanah di Bandung menginvestasikan modal mereka dalam industri pemintalan. Ketika kemudian usaha ini menunjukkan prospek yang cerah barulah orang-orang asing, termasuk Cina ikut di dalamnya.

Meskipun keikutsertaan orang-orang asing tersebut merugikan tetapi kegiatan pedagang pribumi ini menunjukkan bahwa mereka ingin memperoleh kebebasan yang lebih besar. Lagi pula modal yang mereka tanam lebih besar dibandingkan dengan kelas menengah lain sementara perkembangan koperasi produsen mereka menggembirakan. 

Walaupun relatif kecil, terdapat tanda-tanda adanya perkembangan kapitalisme penduduk pribumi. Apa arti kapitalisme? Fenomena yang terjadi di Jawa Barat lain lagi. Terjadi mobilitas kepemilikan tanah sangat signifikan. Karena besarnya beban hutang di pedesaan, banyak petani miskin yang terpaksa menjual tanahnya.

Sebagai dampaknya orang-orang kaya tanahnya semakin luas, petani miskin tanahnya semakin sempit, bahkan kemudian ada petani yang tidak mempunyai tanah sama sekali. Gejala semacam ini terjadi di Priangan. Di mana letak Priangan? Petani yang tidak lagi memiliki tanah ini kemudian pergi ke Bandung untuk bekerja pada industri pemintalan milik pengusaha pribumi seperti disebutkan di atas.

Pada awalnya para pekerja industri pabrik pemintalan ini mendapat upah yang layak, jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan upah pada industri pribumi yang telah ada, misalnya industri batik ataupun rokok dan juga pada industri pemintalan, namun jumlahnya masih tetap lebih tinggi dibandingkan dengan upah pada industri pribumi yang lebih tua.

Dalam masa krisis pemerintahan mengambil beberapa kebijakan. Untuk mencari keseimbangan dalam bidang keuangan, pemerintah melakukan pengamatan secara besar-besaran. Sebelumnya pengeluaran pemerintah memang besar sebagai dampak dari kenaikan pengeluaran selama Perang Dunia.

Dari berbagai kebijakan tersebut nampak bahwa pemerintah lebih memihak kepada pengusaha dan kurang memihak kepada rakyat. Bahkan dalam bidang ekonomi peran pemerintah terdesak oleh pihak swasta yang berhasil memaksa pemerintah untuk melindungi laba mereka. 

Sebagai akibatnya seperti disebutkan di atas kesenjangan antara kelas pengusaha dengan rakyat semakin lebar. Kebijakan pemerintah dalam soal pajak merupakan contoh tentang tindakannya yang menguntungkan pengusaha dan merugikan rakyat. Pemerintah membatalkan pajak ekspor minyak tanah sebesar 50 juta gulden yang berarti mendatangkan kerugian pemerintah per tahun sebesar sejumlah tersebut.

Demikian juga terhadap pajak yang harus dibayarkan oleh pabrik gula dengan nilai yang kira-kira sama  dengan yang harus dibayar untuk mengekspor minyak sementara pajak rakyat dinaikkan dari semula 24 juta gulden antara tahun 1919 sampai 1921, menjadi 28 juta gulden pada tahun 1922, 32 juta gulden pada tahun 1923, dan 34 juta gulden pada tahun 1925 (Mawarti Djoened, Nugroho Notosusanto, 1984:80).

Dalam penelitian yang disponsori oleh pemerintah tentang posisi ekonomi penduduk Jawa antara tahun 1920-1921 disimpulkan bahwa penduduk Jawa dan Madura sudah dikenai pajak-pajak yang jauh dari kemampuannya. Mereka juga khawatir jika ada rencana dari pemerintah untuk menaikkan pajak bumi dan pajak kepala.

Meskipun pajak kepala sudah dihapuskan tetapi persentase pajak yang harus dibayar oleh penduduk pribumi terus meningkat. Pada tahun 1932 pajak yang dihasilkan pemerintah hanya sebesar 65% dibandingkan tahun 1926 tetapi karena pendapatan penduduk pribumi turun 45% maka antara tahun 1926-1932 beban pajak penduduk pribumi naik 44,4%.

Bersama dengan itu pemerintah melakukan politik penghematan secara ketat yang mengakibatkan pengangguran bertambah bayak. Semua bidang kesejahteraan masyarakat mengalami penurunan anggaran belanja misalnya kesehatan rakyat, pertanian, peternakan, perikanan dan perdagangan.

Kebijakan pemerintah yang menguntungkan pengusaha, juga terlihat dalam menangani perkebunan-perkebunan besar yang dimiliki oleh pengusaha Barat. Agar harga di pasar dunia tetap dapat memberikan keuntungan kepada para pengusaha perkebunan, perlu diadakan pembatasan produksi secara ketat.

Dan ini hanya bisa dicapai dengan kerja sama antara para produsen, kalau mungkin secara internasional. Kendalanya adalah para produsen sulit untuk melakukan pembatasan secara ketat atas dasar sukarela. Karena tidak ada cara untuk memaksa agar semua pengusaha mau bekerjasama untuk mengurangi produknya maka pemerintah kemudian membatasi sejumlah produk ekspor seperti gula, karet, kopi, dan teh.

Selain itu pemerintah juga melakukan kesepakatan internasional agar harga di pasaran dunia tetap pada level yang menguntungkan para pengusaha Barat. Pembatasan produksi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap berbagai jenis komoditas seperti disebutkan di atas menunjukkan adanya pengaruh perusahaan Barat yang kuat atas pemerintah.

Lebih-lebih ketika pemerintah kemudian melakukan pembatasan produksi kepada penduduk pribumi. Ketika terjadi krisis ekonomi tahun 1929 pemerintah memberikan sanksi kepada 600.000 produsen karet pribumi yang merupakan bahan ekspor. Untuk memenuhi kesepakatan kuota produksi di pasar internasional, setiap tahunnya pemerintah menurunkan produksi karet perkebunan pribumi dari 300.000 ton menjadi 145.000 ton sementara produksi perkebunan Barat hanya turun dari 220.000 ton menjadi 205.000 ton.

Kemudian dirancang pajak ekspor khusus untuk menekan harga-harga setempat agar volume ekspor pengusaha pribumi seperti yang dikehendaki pemerintah. Perubahan perundang-undangan tentang pajak ekspor terus dilakukan sehingga pada tahun 1936 lebih dari 95% ekspor karet yang dihasilkan oleh pengusaha pribumi terserap untuk pajak.

Bahkan pemerintah juga diminta untuk campur tangan terhadap perundang-undangan dalam bidang impor, terutama tekstil. Banyaknya tekstil impor dari Jepang mengakibatkan industri katun yang diimpor dari Belanda kehilangan pasaran di Indonesia.

Langkah yang kemudian diambil oleh pemerintah dengan melakukan pembatasan impor ternyata merupakan petaka bagi rakyat. Harga tekstil naik dan tidak terbeli oleh mereka. Karena ada desakan bahwa pemerintah juga harus memberi perlindungan kepada rakyat maka dilakukanlah perlindungan kepada industri pribumi termasuk juga perkebunan karet rakyat.

Baca juga selanjutnya di bawah ini :

Post a Comment for "Kondisi ekonomi RI masa perang dunia"