Pelaksanaan politik etis dikemukakan Van Deventer
Pelaksanaan politik etis dikemukakan Van Deventer
Politik etis yang pada dasarnya baik karena berdasarkan susila atau kemanusiaan, pada pelaksanaannya tidak seperti yang diidealkan. Pelaksanaannya masih harus diukur berdasarkan kepentingan bangsa Belanda belum pada kepentingan bangsa Indonesia.
Walaupun demikian, sudah merupakan kemajuan dalam rangkaian politik Belanda di Indonesia. Di antara pemikiran yang banyak diterapkan, ialah yang dikemukakan oleh Van Deventer yang terkenal sebagai Trias Van Deventer.
Emigrasi sebagai istilah transmigrasi untuk waktu itu, masih menggambarkan bahwa Indonesia terdiri atas berbagai bangsa dan negara, sehingga perpindahan oleh satu bangsa ke daerah lain perlu pemakaian istilah emigrasi. Karena dalam praktiknya yang dipindahkan adalah kaum tani, maka kata kolonisasi (colonus = petani) sering dipergunakan.
Di dalam tahap pertama diatur emigrasi atau transmigrasi lokal di Jawa. Pembukaan perkebunan yang semakin banyak di ujung Jawa Timur atau bagian selatan Jawa Barat, memberikan kesempatan bagi petani yang didesanya sudah sulit hidup untuk pindah ke daerah tersebut sebagai buruh perkebunan.
Dalam tahap berikutnya dilakukan pemindahan ke Lampung. Gedong Tataan merupakan daerah pertama di luar Jawa yang dijadikan tempat pemindahan penduduk. Emigrasi yang pelaksanaannya mulai menyimpang ialah pemindahan penduduk ke daerah perkebunan di Sumatera Timur, atau ke Suriname (jajahan Belanda di Amerika Selatan), ataupun ke Nieuw Caledonia (Pasifik Barat Daya).
Di daerah-daerah tersebut para pengusaha Belanda memerlukan tenaga kerja murah untuk membuka perkebunan. Para calo pencari tenaga kerja yang sering membujuk petani-petani miskin untuk mau bekerja di perkebunan ialah para werek Deli. Dengan memberikan uang sekedarnya, baju baru, diajak makan, petani miskin yang nrimo dan mudah setia itu terbujuk dan dikumpulkan di kota pelabuhan.
Setelah dinaikkan ke kapal menuju daerah Deli, mulailah terasa adanya penderitaan dan perlakuan tidak manusiawi. Lebih-lebih setelah sampai di tempat tujuannya, mereka benar-benar diperlakukan sebagai budak belian. Walaupun sebenarnya antara calon pekerja dengan perusahaan telah dilakukan perjanjian tertulis, namun karena pihak pekerja tidak tahu baca dan tulis, maka mereka tidak tahu hak-hak (gaji dan cuti) yang mestinya diperoleh.
Mereka lebih merasakan sebagai kewajiban setelah memperoleh uang sekedarnya. Lebih berat lagi yang dirasakan ialah, bahwa mereka bekerja dari pagi sampai sore di hutan belukar yang masih banyak mengandung bahaya seperti sergapan ular atau harimau. Mereka ditempatkan di pondok-pondok sederhana.
Banyak yang tidak krasan, lalu berusaha melarikan diri. Bagi mereka yang tertangkap akan dikembalikan ke tempatnya bekerja dengan mendapat sanksi hukuman (poenale sanctie) berupa pukulan atau dera, ataupun kurungan berdasarkan wewenang para tuan besar kebun.
Dalam rangka politik etis kemudian pemerintah Belanda mengadakan semacam dinas pengawasan, agar perlakuan buruk terhadap pekerja tidak berkepanjangan. Setelah kontraknya habis, sebagian ada yang memperpanjang. Sebagian besar mau menjadi manusia bebas dengan menetap di kota-kota Sumatera Timur. Keturunannya dikenal sebagai Jawa Deli, kemudian diperhalus menjadi Pujakesuma, singkatan dari putra Jawa kelahiran Sumatera.
Irigasi atau pengairan merupakan usaha membangun pengairan untuk keperluan sawah. Sejumlah proyek diadakan, di antaranya yang terkenal ialah di daerah Demak yang pada zaman Tanam Paksa sangat banyak penduduknya menjadi korban. Belanda seperti mau menghapus dosa-dosanya, untuk itulah pengairan dibangun.
Sebagian daerah Demak persawahannya dapat ditanami dua kali setahun untuk padi, sedangkan sisanya masih harus mengharapkan hujan untuk pengairannya. Untuk daerah lain yang pengairannya dibangun oleh Belanda masih lebih memperhitungkan keperluan bangsanya yang banyak mengusahakan perkebunan tebu, misalnya di daerah aliran Sungai Cimanuk, daerah Pekalongan, ataupun daerah aliran Sungai Brantas.
Rakyat dapat ikut menikmatinya kalau kepentingan pengusaha Belanda sudah terpenuhi lebih dahulu. Perkebunan tebu memerlukan banyak air untuk kesuburan tanamannya, mendapat perhatian besar dari Belanda, karena tebu atau gula mendatangkan keuntungan sangat banyak.
Selain soal teknis pengairannya, pemerintah Belanda juga memperhitungkan tenaga kerja yang tersedia. Di Jawa syarat pengairan dan tenaga kerja cukup tersedia, sehingga perkebunan tebu terpusat di pulau yang padat penduduknya. Jumlah penduduk Jawa yang sudah padat sekitar 30 juta pada awal abad ke-20, sedangkan di luar Jawa baru sekitar 10 juta. Karena itu maka perkebunan tebu belum diusahakan di luar Jawa sampai Perang Dunia II.
Edukasi diselenggarakan oleh Belanda dengan tujuan untuk memperoleh tenaga bantu yang dapat dibayar lebih murah daripada tenaga-tenaga bangsa Belanda. Di samping gajinya tinggi, tenaga-tenaga Belanda juga harus diberi ongkos cuti pada masa-masa tertentu ke negeri Belanda.
Tenaga-tenaga pribumi sebaliknya, gajinya sedikit dan tidak memerlukan biaya cuti ke kampungnya. Selain untuk keperluan roda pemerintahan, juga diperlukan oleh perusahaan-perusahaan pemerintah maupun swasta (pada akhir abad ke-19 Belanda melakukan politik ekspansi ke luar Jawa dan kegiatan ekonomi pada macam-macam bidang dalam suasana politik liberal-kolonial).
Selain kepentingan praktis tersebut, Belanda tetap menjalankan politik memecah belah (devide et impera) dalam melaksanakan pendidikan. Diadakan sekolah khusus untuk pribumi, China, dan Belanda dengan macam-macam variasi yang mencolok. Misalnya untuk pribumi rendahan didirikan sekolah kelas II (ongko loro) itu pun ada yang hanya tiga tahun dan disebut Volks School, ada yang lima tahun (Vervolg School).
Bahasa pengantarnya bahasa daerah dan memperoleh bahasa Melayu di kelas-kelas terakhir. Sedangkan untuk pribumi menengah didirikan sekolah kelas I (Holland Inlandsche School, HIS) dengan bahasa Belanda sebagai pengantar. Ada sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah, ada pula oleh gereja (missie dan zending).
Untuk keturunan bangsa China didirikan sekolah khusus China (Hollan Chinese School, HCS). Sedangkan untuk keturunan Belanda atau yang disederajatkan didirikan sekolah dasar Eropa (Europeesche Lagere School, ELS), juga dengan bahasa Belanda sebagai pengantarnya.
Kemudian, didirikan sekolah lanjutan, untuk golongan menengah diberi nama Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, disingkat MULO setingkat SMP sekarang. Untuk sekolah lanjutan atas didirikan Algemene Middelbaare School, disingkat AMS yang setingkat SMA sekarang.
Untuk memperoleh tenaga kejuruan didirikan sekolah untuk pendidikan dokter hindia (School ter Opleiding voor Indische Arts, STOVIA). Sekolah untuk pendidikan pamong praja (Opleiding School voor Indhische Ambtenaar, OSVIA). Sekolah guru yang pendidikannya 2 tahun setelah sekolah dasar (Cursus voor Volks Onderwijzer, CVO), yang lamanya 4 tahun (Kweek School, KS), dan yang 6 tahun (Hoogere Kweek School, HKS).
Untuk keperluan dinas kehutanan didirikan sekolah menengah kehutanan (Middlelbare Boschbouw School, MBS). Untuk masyarakat pribumi lapisan atas dan Belanda didirikan sekolah lanjutan yang hanya 5 tahun (Hoogere Burger School, HBS). Pemerintah Belanda juga sempat mendirikan sekolah tinggi (bukan universitas).
Di antaranya yang terkenal ialah sekolah teknik tinggi (Technische Hoge School, GHS) di Jakarta sebagai gantinya STOVIA, sekolah tinggi hukum (Recht Hoge School, RHS) di Jakarta. Lulusan pendidikan yang beraneka ragam dan bertingkat-tingkat demikian sangat mempengaruhi kedudukan dalam kepegawaian.
Mereka yang berpendidikan sekolah guru dua tahun, berbeda dengan yang empat atau enam tahun. Perbedaannya bukan hanya pada gaji, tetapi kedudukan dalam masyarakat juga berbeda. Dan mereka yang memperoleh pendidikan di Belanda, apalagi kalau ia orang Belanda akan memperoleh gaji dan kedudukan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan lulusan sekolah di Indonesia dan pribumi.
Jumlah sekolah kelas I pada tahun 1903 di kota-kota karesidenan ada 14 buah, di kota-kota wilayah (afdeeling) ada 29 buah. Sementara itu sekolah kelas II di Jawa dan Madura sebanyak 245 buah, 326 sekolah swasta di antaranya 63 yang dikelola oleh zending.
Pada waktu itu sudah ada 1623 bangsa Indonesia yang belajar di negeri Belanda. Sekolah lanjutan pada umumnya baru terdapat di kota propinsi atau kota-kota besar tertentu. Adapun sekolah kejuruan di kota-kota besar yang dinilai tepat, misalnya sekolah guru enam tahun di Bandung, Yogyakarta, Probolinggo, MOSVIA di Magelang, dan sekolah tinggi baru di Jakarta dan Bandung.
Untuk menghindarkan rakyat kecil dari lintah darat, pemerintah mendirikan lembaga-lembaga perkreditan dengan bunga yang relatif rendah dan agunan (jaminan) juga dapat berupa barang. Pada masa sebelumnya para lintah darat dapat mengenakan bunga sampai 400 persen setahun.
Tidak jarang seorang peminjam dirampas rumah, tanah ataupun anak perempuannya, karena tidak mampu membayar utang sesuai dengan waktu yang ditetapkan. Bunga yang sangat tinggi (riba) benar-benar membuat rakyat kecil jatuh sengsara. Banyak lintah darat yang berkebangsaan China atau Arab.
Oleh karena itu, pada awal abad ke-20 didirikan lembaga-lembaga perkreditan yang bertujuan meringankan beban rakyat kecil sebagai peminjam. Di antaranya rumah gadai (pandhuis) di kota-kota kecamatan dan letaknya dekat pasar. Penduduk pada menggadaikan barang-barang seperti perhiasan, kain yang mahal, sepeda dengan bunga sekitar setahun.
Juga didirikan lumbung desa yang memberikan kredit padi kepada petani pada masa paceklik, dibayar berupa padi juga setelah musim panen. Pinjaman padi dimaksudkan untuk menjadi modal penanaman padi pada musim tanam. Lebih modern lagi setelah didirikan bank kredit rakyat (Algemene Volkskrediet Bank), sekarang menjadi Bank Rakyat Indonesia (BRI).
Dari bank tersebut rakyat atau pegawai dapat meminjam uang dengan agunan berupa sawah, pekarangan rumah, dan gaji tetapnya. Di dalam bidang pemerintahan dikeluarkan Undang-Undang Desentralisasi tahun 1903 yang memberikan keleluasaan pada pemerintah daerah dalam memutar roda pemerintahan.
Demi kelancaran dan terkendalinya pemerintahan daerah diadakan dewan-dewan lokal yang diberi wewenang untuk mengurus bangunan umum misalnya jalan, jembatan, saluran sungai, dan pajak. Dewan kota dibentuk untuk kota-kota besar di mana banyak terdapat orang kulit putih, misalnya di Jakarta (Batavia), Bogor (Buitenzorg), dan Jatinegara (Meester Cornelis).
Kemudian secara berangsur-angsur pemerintahan tinggi propinsi atau kabupaten diberi hak otonom. Departemen-departemen di Jakarta mempunyai semacam perwakilan yang bertugas menyelenggarakan pekerjaan teknik untuk kesejahteraan rakyat.
Antara lain Dinas Pertanian yang memberikan penyuluhan, Dinas Kesehatan yang bertugas di poliklinik kecamatan atau rumah sakit umum, dan Dinas Kerajinan yang memberikan penyuluhan soal kerajinan. Pelaksanaan politik etis yang semula lancar, kemudian memperoleh hambatan karena lahirnya Pergerakan Nasional Indonesia dan Perang Dunia I.
Pergerakan Nasional Indonesia pada masa awalnya (1908 - 1920) masih bersifat lunak, tetapi pada (1920 - 1930) bersifat lebih keras (radikal), sehingga Belanda memandang perlu untuk sering bertindak demi ketenangan dan keamanan (rust en orde).
Sedangkan Perang Dunia I banyak menimbulkan kesulitan bagi Pemerintah Belanda, walaupun resminya sebagai negara netral. Hebatnya perang menyebabkan kelancaran hubungan Indonesia dengan Belanda terganggu, dan kekacauan ekonomi menimbulkan lebih banyak kesulitan (zaman Malaise atau Meleset kata bangsa Indonesia).
Di dalam menghadapi situasi yang kurang menguntungkan itu, maka Pemerintah Belanda menempatkan seorang gubernur jenderal yang liberal yaitu Van Limburg Stirum (1916 - 1921). Walaupun sebenarnya ada kesempatan baik, bangsa Indonesia tidak bersikap memisahkan diri dari Belanda, mungkin karena belum siap untuk itu, sehingga menguntungkan Belanda. Malahan kaum pergerakan ada yang berniat ikut serta dalam pembelaan negara bila perang sampai di Indonesia.
Baca juga di bawah ini :
Post a Comment for "Pelaksanaan politik etis dikemukakan Van Deventer"