Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perang aceh 1873 - 1904 abad ke-19

 Perang aceh 1873 - 1904 abad ke-19 

Kali ini saya akan menulis artikel tentang pembahasan sejarah pada jaman perang abad ke-19 perang yang dilakukan Belanda di wilayah Aceh. Perang Aceh merupakan perang paling lama dan terakhir yang dilakukan Belanda dalam rangka mengadakan Pax Neerlandica.

Sebab-sebab terjadinya perang Aceh ialah sebagai berikut ini :

  • Aceh berpendapat, bahwa daerah-daerah Sumatera Timur merupakan wilayah yang diperoleh pada masa kejayaannya. Adapun pihak Belanda menganggap bahwa daerah itu merupakan wilayahnya yang diperoleh dari Sultan Siak sebagai upah membantu Sultan dalam perang saudara (Traktat Siak 1858).
  • Setelah Terusan Suez selesai tahun 1869, Aceh merupakan daerah yang penting, karena pelayaran internasional dari Eropa ke Asia melalui perairan Aceh.
  • Semakin berkembangnya imperialisme modern yang berusaha memperoleh tanah jajahan untuk dijadikan sumber bahan industri dan pasaran hasil industri. Negara-negara imperialis berlomba-lomba memperoleh tanah jajahan untuk keperluan tersebut.
  • Politik ekspansi Belanda ke luar Jawa dalam usahanya mewujudkan Pax Neerlandica tidak terhalang lagi untuk daerah Aceh. Karena dalam Treaty of Sumatera (1871) Inggris berjanji tidak akan menghalangi Belanda meluaskan daerahnya di Sumatera.
  • Sebab khusus, Aceh yang mau mempertahankan kedaulatannya menolak tuntutan Belanda untuk tidak berhubungan dengan negara asing dan mengakui Belanda sebagai yang dipertuan.

Perang aceh 1873 - 1904 abad ke-19

Perang Aceh yang berlangsung tiga puluh tahun memiliki dua sifat perlawanan, sesuai dengan susunan masyarakat pemerintahan di kerajaan tersebut, yaitu bersifat nasional dan keagamaan. Perlawanan yang sifatnya nasional bertujuan mempertahankan kemerdekaan negara dari jajahan Belanda.

Pemimpin-pemimpin perlawanan ialah kaum bangsawan (Teuku) seperti Sultan Dawotsyah, Teuku Umar, dan Panglima Polem. Pada umumnya mereka mau berkompromi dengan Belanda, agar kedudukannya dalam pemerintahan dan masyarakat tidak hilang.

Mereka bersedia menandatangani Perjanjian Pendek (Korte Verklaring). Adapun yang bersifat keagamaan cenderung menolak kedatangan Belanda yang dianggap akan menyebarkan agama Kristen di wilayah Aceh. Tokoh-tokoh perlawanan terdiri atas golongan ulama (Teungku) seperti Teungku Cik di Tiro.

Golongan ini tidak mengenal kompromi atau tidak mudah menyerah kepada Belanda, mereka berpendapat bahwa perang yang dilancarkan merupakan perang jihad, artinya perang suci karena didasarkan agama.

Perang Aceh dapat dibagi dalam tiga fase sebagai berikut ini :

a. Masa Permulaan (1873 -1884).

Belanda menyerang Kotaraja (Banda Aceh) dan menduduki daerah sekitarnya, sehingga Sultan Aceh menyingkir ke pedalaman. Belanda tidak memperoleh jawaban atas tuntutannya agar Aceh tidak mengadakan hubungan dengan negara asing dan mengakui Belanda sebagai yang dipertuan.

Oleh karena itu, Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada tanggal 26 Maret 1873. Kemudian dilakukan serangan pertama dengan kekuatan tiga ribu orang di bawah pimpinan Jenderal Kohler. Perlawanan sengit dilakukan oleh Aceh yang antara lain dapat menewaskan Jenderal Kohler yang tengah mengadakan peninjauan dekat Masjid Raya Aceh.

Usaha Belanda merebut istana sultan tidak berhasil, karena kehilangan pimpinan dan beratnya perlawanan, sehingga akhirnya Belanda terpaksa menarik kembali pasukannya. Serangan kedua diadakan dengan kekuatan 7.000 orang di bawah pimpinan Letjen van Swieten pada bulan Desember 1873.

Pasukan itu terdiri atas infanteri yaitu pasukan pejalan kaki, pasukan kavaleri yaitu pasukan berkuda, dan pasukan zenie yaitu pasukan pembangunan militer. Belanda menduduki daerah sebelah timur sungai Aceh dan menuntut lagi agar Sultan mengakui Belanda sebagai yang dipertuan.

Karena tidak memperoleh jawaban mereka menyeberangi jembatan yang dibangun pasukan genie menuju istana ditinggalkan, barulah Belanda dapat menduduki tempat tersebut dan memberikan nama Kotaraja sebagai nama baru untuk Banda Aceh.

Sultan Aceh yang menyingkir ke Pagar Aye wafat dan digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawotsyah. Pemimpin peperangan dari Aceh ialah Panglima Polem. Tokoh lainnya ialah Teuku Muda Ba'et dari Aceh Raya, tetapi ia cepat menyerah kepada Belanda pada tahun 1878.

Belanda dapat ditahan di Aceh Raya, yaitu daerah ujung utara Aceh. Pasukan lain didaratkan ke pantai timur, Samalanga dapat diduduki dan rajanya menyerah. Sementara itu Belanda telah mengalami beberapa kali pergantian panglima selama fase pertama.

Kolonel Pel tewas dalam pertempuran, Mayjen Van Kerchem, Mayjen Dirmont, Jenderal Van der Heijden yang terkena tembakan di matanya dan digelari Jenderal Buta, dan Pruijs van der Hoeven. Oleh karena sistem senjata teknik (sistek), artinya dengan senjata atau kekerasan, Perang Aceh tidak juga dapat diselesaikan, maka dipergunakan sistem senjata sosial (sissos).

Sistem senjata sosial dilakukan dengan cara membujuk Perdana Menteri Habib Abdurrakhman Al Zahir aar mau berdamai, dengan dijanjikan uang tahunan $ 10.000 dan bertempat tinggal di negara asalnya Arab (1878). Adapun raja-raja kecil dapat cepat dikuasai dengan disodorkan perjanjian pendek.

b. Masa Konsentrasi Stelsel (1884 -1896).

Belanda hanya bertahan di daerah yang telah didudukinya karena tidak memiliki biaya yang cukup untuk menyelesaikan Perang Aceh dalam waktu singkat. Di daerah yang telah dikuasai itu dibentuk pemerintahan sipil, yang dipertahankan dengan mengadakan pos-pos yang satu dengan yang lain dihubungkan dengan kendaraan. 

Di luarnya diadakan tanah-tanah terbuka agar mudah mengetahui apabila musuh menyerang. Teuku Umar berpura-pura menyerah kepada Belanda dan memperoleh kepercayaan memimpin 250 orang pasukan bersenjata lengkap. Sementara itu Cut Nya' Dien sebagai istrinya bergerilya terus di daerah pedalaman.

Kemudian Teuku Umar dengan delapan ratus senjata dari Belanda dan uang sebanyak $ 18.000 kembali melawan Belanda dan menyatukan perlawanan dengan Cut Nya' Dien. Oleh karena itu, Belanda belum juga bisa menyelesaikan perang, maka didatangkan seorang Belanda ahli agama Islam bernama Dr. C. Snouck Hurgronje untuk dimintai nasehat dalam penyelesaian Perang Aceh.

Disarankan olehnya agar golongan Teuku bisa dikesampingkan, sedangkan golongan teungku harus dihadapi dengan kekerasan sampai kalah, dan mengembalikan kepercayaan rakyat dengan memajukan kesejahteraan penduduk.

c. Masa Akhir Perang (1896 - 1904).

Belanda bertekad menyelesaikan perang dengan menggunakan nasehat Dr. Snouck Hurgronje. Untuk itu diangkat Letkol Van Heutz sebagai panglima, kemudian menjadi gubernur militer dan sipil Aceh. Operasi militer dilaksanakan di banyak wilayah.

Di Meulaboh perlawanan Aceh dilakukan oleh Teuku Umar, tetapi tokoh ini dapat ditewaskan dalam suatu pertempuran. Van Heutz sendiri memimpin operasi di daerah timur dan berhasil merebut Benteng Batee Ilie. Sementara itu Sultan menyingkir ke daerah pedalaman tetapi akhirnya menyerah kepada Belanda (1903).

Untuk melemahkan semangat perjuangan, Belanda mengadakan penangkapan-penangkapan tehadap keluarga Panglima Polem. Sehingga akhirnya Panglima Polem menyerah kepada Belanda di Lhokseumawe (1903).

Raja-raja daerah yang menyerah kepada Belanda diwajibkan menandatangani pekat pendek yang berisi beberapa hal di bawah ini :
  • Pengakuan kedaulatan Belanda atas daerahnya.
  • Berjanji tidak akan mengadakan hubungan dengan negara-negara asing.
  • Patuh kepada Pemerintah Belanda.

Untuk mengalahkan perlawanan rakyat di pedalaman Aceh, Letkol Van Daalen mengadakan gerakan pembersihan di daerah Gayo Alas (1904). Dalam gerakan itu ia mendapat banyak perlawanan. Di antaranya terdapat sebelas gampong yang mempertahankan daerahnya sampai semua penghuninya mati.

Sebanyak 2.922 orang dari daerah-daerah itu gugur, di antaranya 1.149 wanita dan anak-anak. Operasi militer tersebut bersambung dengan operasi militer Belanda di Tapanuli. Dengan selesainya Perang Aceh (1904) berarti bahwa Kerajaan Aceh yang telah lebih dari tiga ratus tahun berdiri itu berakhir peranannya sebagai kerajaan merdeka.

Aceh mengalami juga penjajahan selama 28 tahun. Sebaliknya Belanda berhasil mewujudkan Pax Neerlandica. Jenderal Van Heutz yang dianggap dapat menyelesaikan perang diangkat menjadi gubernur jenderal (1904 - 1909).

Baca juga di bawah ini :

Post a Comment for "Perang aceh 1873 - 1904 abad ke-19"