Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perang bali - lombok

Perang bali - lombok 

Usaha Belanda menguasai Pulau Bali baru berhasil setelah beberapa kali peperangan, yaitu tahun 1846, 1849, dan 1858. Alasan utama yang dipergunakan oleh Belanda ialah hukum adat Bali yang disebut hak tawan karang. Menurut hukum tersebut bila ada kapal terdampar di pantai, maka muatan kapal itu menjadi milik raja dan penduduk.

Penumpangnya juga dimiliki untuk dijadikan budak belian atau dibunuh. Belanda yang banyak berkepentingan dalam lalu lintas laut di perairan Bali menganggap hukum adat itu berbahaya bagi harta dan awak kapalnya. Karena itu pada tahun 1843 diadakan suatu perjanjian dengan raja-raja Bali untuk menghapuskan hukum adat tersebut.

Perang bali - lombok

Alasan lain yang dipakai ialah adanya adat sutte yang dianggap tidak berperikemanusiaan. Menurut adat tersebut bila seorang suami meninggal, maka istrinya harus pula ikut membakar diri waktu jenazah suaminya dibakar, untuk menandakan kesetiaan istri kepada suami. Belanda bermaksud menghapus adat tersebut.

Empat perang rakyat Bali melawan Belanda ialah sebagai berikut ini :

a. Perang Buleleng (1846).

Penyebab Perang Buleleng ialah bahwa Raja Buleleng merampas kapal yang terdampar di Sangsit dan Prancah, sehingga Belanda menyampaikan ultimatum pada tahun 1846. Ultimatum tersebut tidak dihiraukan oleh Raja Buleleng dan patihnya Gusti Jelantik.

Belanda mengarahkan angkatan darat dan angkatan laut, sehingga terjadilah pertempuran di Buleleng pada akhir Juni 1846. Karena lawan terlalu kuat, istana Buleleng jatuh ke tangan Belanda, dan Raja menyingkir ke Jagaraga. 

Raja Buleleng dan Karangasem kemudian menandatangani perjanjian baru yang isinya ialah pengakuan bahwa daerahnya merupakan bagian dai Hindia Belanda, tidak akan mengadakan hubungan dengan Eropa selain Belanda, hak tawan karang tidak dilakukan, Buleleng harus mengirim utusan ke Batavia dan mengganti kerugian perang serta membongkar benteng di Buleleng.

b. Perang Jagaraga I (1848).

Belanda menyerbu lagi, karena hak tawan karang tetap dilaksanakan tehadap sebuah kapal yang terdampar di Pantai Kasumba dan Badung (1847). Bali telah menyiapkan pertahanan yang kuat di sebelah selatan Buleleng, yaitu di Jagaraga. Gubernur Jenderal Belanda mengerahkan tentaranya lagi di bawah Jenderal Van der Wijck.

Selain memberikan ultimatum, mereka juga menuntut agar menyerahkan Gusti Jelantik. Usaha Belanda merebut benteng Jagaraga tidak berhasil tetapi berkat kuatnya pertahanan sebanyak 7.000 sampai 8.000 prajurit Bali, akhirnya Belanda meninggalkan Bali dengan korban 14 perwira dan 242 prajuritnya (Juni 1848).

c. Perang Jagaraga II (1849).

Untuk ketiga kalinya Belanda mengirimkan pasukannya ke Bali di bawah pimpinan Mayjen Michiels dengan kekuatan yang lebih besar lagi (awal 1849). Tetapi pihak Kerajaan Buleleng, Karangasem, dan Klungkung memiliki pasukan yang jumlahnya lebih besar.

Karena tuntutan-tuntutan yang diajukan tidak dipenuhi oleh Bali, maka Belanda menyerang lagi. Sementara itu mereka sudah banyak tahu rahasia benteng Jagaraga. Pada pertengahan April benteng dapat direbut Belanda, suku Bali mundur ke daerah selatan.

Belanda melanjutkan serangannya ke daerah selatan. Raja Karangasem mengadakan puputan, yaitu perlawanan sampai mati oleh seluruh keluarga dan pengikutnya. Setelah Belanda dapat menguasai Karangasem, Klungkung ganti diserang.

Benteng Kasumba dipertahankan mati-matian, tetapi akhirnya dapat direbut Belanda. Tetapi malam harinya serangan dilakukan atas benteng tersebut yang menyebabkan Jenderal Michiels mati. Tentara ditarik mundur ke Buleleng. Kemudian dikerahkan pasukan baru ke selatan dan berhasil memaksa raja-raja Bali untuk menandatangani perjanjian dengan Belanda (1849).

Walaupun demikian Belanda masih juga menghadapi beberapa kali perlawanan yang dilakukan oleh Raja Badung, Tabanan maupun Klungkung. Pada permulaan abad ke-20 dapat dikatakan Bali telah dikuasai oleh Belanda.

d. Perang Lombok (1894 - 1895).

Pulau Lombok menjadi wilayah kekuasaan raja-raja Bali sejak pertengahan abad ke-17. Penduduk asli Pulau Lombok ialah suku Sasak yang beragama Islam. Pada tahun 1891 suku Sasak berontak terhadap Raja Lombok dan mengirim utusan ke Batavia untuk meminta bantuan.

Belanda mendapat kesempatan untuk campur tangan dengan mengajukan jasa sebagai penengah, tetapi Raja Lombok menolaknya. Utusan kedua kali datang dengan tuntutan agar Raja Lombok meminta maaf serta menyerahkan Anak Agung Made yang berani menolak utusan Belanda, namun tidak dihiraukan.

Dengan kekuatan 240 orang di bawah Jenderal Vetter Van Ham, Belanda mendaratkan pasukan di Ampenaa. Tuntutan diajukan lagi dan dijawab oleh Raja Lombok, bahwa tuntutan akan dipenuhi kecuali menyerahkan Anak Agung Made. Kemudian diketahui bahwa Anak Agung Made telah bunuh diri dan putra mahkota telah menggantikan ayahnya.

Belanda menduduki Mataram dan Cakranegara. Tetapi pada malam harinya kedudukan tersebut diserang yang menyebabkan timbulnya korban besar di pihak Belanda termasuk Jenderal Van Ham. Bala bantuan didatangkan Mataram serta Cakranegara kembali dikuasai. Raja Lombok ditawan di Batavia dan daerahnya dijadikan wilayah Belanda.

Baca juga di bawah ini :

Post a Comment for "Perang bali - lombok"