Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perang jawa (1825 -1830)

Perang jawa (1825 -1830) 

Perang Jawa terjadi di Jawa Tengah, yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Oleh karena itu, Perang Jawa disebutkan juga Perang Diponegoro (1825 - 1830). Perang Jawa merupakan lanjutan dari peperangan-peperangan sebelumnya karena diakibatkan penguasa Belanda yang rakus dan selalu campur tangan dalam soal istana serta ketidakpuasan rakyat selama hampir dua abad.

Sebab-sebab terjadinya Perang Jawa ialah sebagai berikut ini :

  • Rakyat sangat menderita akibat politik pemerasan yang dijalankan oleh Belanda berupa banyaknya pajak yang harus dipikul. Pajak-pajak kebanyakan diborongkan kepada orang-orang swasta, khususnya bangsa China, sehingga menimbulkan pemerasan terhadap rakyat. Di samping itu jenis pajak pun bermacam-macam seperti pajak tanah, pajak ternak, pajak jalan, dan pajak jembatan.
  • Kaum bangsawan merasa tidak puas karena hak-hak yang dimiliki banyak dikurangi. Di antaranya ialah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Van der Capellen yang melarang bangsawan menyewakan tanahnya kepada para pengusaha swasta (1823). Larangan dikeluarkan karena ternyata kaum pengusaha swasta dapat berkembang pesat setelah menyewa tanah milik bangsawan sehingga usaha monopoli pemerintah Belanda memperoleh saingan. Dengan larangan tersebut banyak kaum bangsawan yang telah memperoleh uang sewa untuk beberapa tahun harus mengembalikannya dan malahan menambahnya, karena para pengusaha swasta menuntut kerugian atas pengerjaan tanah yang telah dilakukan.
  • Timbulnya rasa tidak puas di lingkungan istana, karena Belanda makin banyak campur tangan. Belanda ikut menentukan siapa yang akan menjadi Sultan. Menurut anggapannya Belanda merasa memiliki Mataram, sehingga Belanda berhak ikut mengubah tata cara istana. Misalnya tidak mau duduk bersila, tetapi duduk di kursi atau berdiri waktu menghadap Sultan, memasukkan minuman keras dalam istana yang dinilai bertentangan dengan agama Islam.
  • Sebab khusus ialah peristiwa di Tegalrejo. Belanda bermaksud membuat jalan melalui daerah makam leluhur Pangeran Diponegoro tanpa izin. Tindakan tersebut dirasakan sebagai tantangan bagi Pangeran Diponegoro. Perintah Patih Danurejo memasang tiang sebagai tanda akan dibuat jalan, dibalas dengan pencabutan oleh pengikut Pangeran Diponegoro yang kemudian menimbulkan perang.

Perang jawa (1825 -1830)

Siasat yang dipergunakan oleh Pangeran Diponegoro ialah perang gerilya, yaitu penyerangan yang dilakukan secara mendadak, kemudian menghilang dan menghindarkan pertempuran yang sifatnya frontal atau terbuka. Perang tersebut didasarkan pada dukungan rakyat dan penguasa wilayah.

Oleh karena itu, kedudukan Pangeran Diponegoro sebagai pimpinan tertinggi selalu berpindah-pindah. Pasukan intinya dibagi atas batalion-batalion dengan nama-nama, seperti Turkiyo, Bulkyo, dan Arkyo yang dilengkapi senjata api.

Adapun pasukan rakyat biasa di bawah komando perwira-perwira yang berpengalaman, tetapi persenjataannya tradisional seperti keris, tombak, panah, dan bambu runcing. Satu pasukan kuda dipercayakan kepada seorang panglima muda bernama Sentot Ali Basah Prawirodirjo, untuk bisa menggerakkan rakyat. Tokoh ulama bernama Kyai Mojo dijadikan penasehatnya.

Daerah-daerah yang dijadikan markas gerilya ialah sebagai berikut ini :

  • Kalisoko yang terletak kira-kira lima kilometer dari Yogyakarta. Dari pusat ini diadakan serangan atas Yogyakarta dan Diponegoro berhasil menguasainya, kecuali istana Sultan dan Paku Alam. Kemenangan tersebut diperoleh karena bergeloranya semangat perjuangan dan saat itu pasukan Belanda banyak yang ditugaskan ke luar Jawa, yaitu di Bone dan Sumatera Barat. Banyak penduduk maupun keluarga bangsawan pindah ke Kalisoko.
  • Selarong merupakan markas kedua setelah Kalisoko ditinggalkan. Letaknya di selatan Yogyakarta dan strategis untuk pertahanan. Kedudukan yang baru ini beberapa kali diserang oleh Belanda. Untuk menghindarkan perang terbuka, Selarong ditinggalkan pada waktu diserang Belanda, tetapi ditempati kembali setelah ditinggalkan Belanda.
  • Dekso yang merupakan markas baru letaknya sebelah barat laut Yogyakarta. Di sini Pangeran Diponegoro diangkat menjadi kepala negara dengan gelar Sultan Abdulhamid Erucokro Amirulmukminin Sayidin Panotogomo Kalifatullah Tanah Jawa. Dari gelar itu nyata bahwa Pangeran Diponegoro juga menjadi kepala agama Islam untuk Pulau Jawa. Pemerintahan diselenggarakan dengan mengangkat pegawai-pegawai sedangkan untuk pertahanannya diangkat para komandan pasukan seperti Sentot dan Prawirokusumo. Dari Dekso inilah serangan atau sergapan terhadap Belanda banyak dilakukan.
  • Plered dijadikan pusat pemerintahan. Untuk mempertahankan ibu kota tersebut diangkat Karto Pangalasan sebagai komandan. Pada bulan Juni 1826 tentara Belanda menyerang Plered yang mendapat perlawanan sengit. Tetapi, akhirnya dengan korban yang besar Belanda dapat merebut kota itu. Pasukan Belanda yang kembali meninggalkan Dekso disergap serta berhasil dibinasakan. Sementara pasukan Belanda dikerahkan di daerah sebelah barat Yogyakarta, pasukan Diponegoro masuk ke Yogyakarta dan berhasil membinasakan Legioen Paku Alam. Kemudian pasukan dialihkan sebelah timur Yogyakarta.
  • Gawok yang terletak di sebelah barat daya Solo merupakan pusat kekuatan yang baru. Kedudukan baru ini diserang oleh pasukan gabungan Sunan, Mangkunegoro, dan Belanda. Pertempuran sengit terjadi dan Pangeran Diponegoro memperoleh luka-luka di medan perang.
  • Pengasih yang terletak di sebelah barat Yogyakarta merupakan markas baru, tetapi tempat baru ini terus mendapat serangan Belanda. Pasukan ulama di bawah Kyai Mojo yang bermaksud kembali ke daerah Pajang sebagai tempat asalnya dapat disergap oleh Belanda. Penasehat Pangeran Diponegoro itu ditawan oleh Belanda dan dibuang ke Manado. Beberapa lamanya pasukan berkuda di bawah Sentot dapat memperoleh kemenangan di Kroya tetapi setelah Sentot menyerah kepada Belanda kekuatan di pihak Pangeran Diponegoro makin berkurang.
  • Kedu merupakan daerah yang bergunung-gunung. Daerah ini dijadikan daerah baru untuk melanjutkan perang gerilya. Oleh karena korban telah banyak jatuh dan pembantu-pembantu yang penting tidak ada lagi, maka di daerah ini Pangeran Diponegoro menerima tawaran untuk berunding. Ternyata bahwa perundingan itu merupakan siasat untuk menangkap Pangeran Diponegoro agar peperangan dapat cepat diselesaikan.

Menghadapi perlawanan yang demikian gigih dan telah memakan waktu bertahun-tahun, maka Belanda mempergunakan banyak siasat untuk mengalahkan Pangeran Diponegoro.

Siasat-siasat untuk mengalahkan Pangeran Diponegoro sebagai berikut :

  • Mengangkat kembali Sultan Sepuh sebagai Sultan Yogyakarta (1826 - 1828) dengan harapan agar dengan pengaruhnya dapat meredakan perlawanan cucunya. Sultan Sepuh mengirim surat kepada cucunya agar menghentikan perlawanan, tetapi tidak memperoleh tanggapan.
  • Untuk mengatasi siasat gerilya yang banyak merugikan Belanda, dibentuk pasukan kontra gerilya yang anggota-anggotanya terdiri atas bangsa Indonesia yang mau berkhianat karena memperoleh bayaran yang tinggi. Tetapi usaha ini pun tidak membawa hasil.
  • Dijalankan siasat devide et impera di kalangan pengikut Pangeran Diponegoro. Mereka yang bersedia meninggalkan Pangeran Diponegoro akan diberi pekerjaan. Gelar yang pernah diperoleh dapat dipergunakan terus dan malahan ditawarkan hadiah F 50.000 bagi siapa yang dapat menyerahkan Pangeran Diponegoro dalam keadaan hidup atau mati. Sebagian siasat itu berhasil, karena lamanya penderitaan hidup dalam mengadakan perang gerilya. Misalnya Sentot yang demikian hebatnya melawan Belanda akhirnya menyerah, tetapi tetap dapat memiliki legioen sendiri dan memperoleh gaji dari Belanda. Legioen inilah dipergunakan Belanda menghadapi Perang Padri.
  • Siasat hebat yang dijalankan oleh Jenderal Markus de Kock terkenal dengan Benteng Stelsel. Dengan stelsel ini dibuatlah benteng dalam jumlah banyak. Dari benteng-benteng dilakukan operasi-operasi yang menyebabkan daerah gerilya Pangeran Diponegoro dapat dipersempit. Hubungan satu benteng dengan benteng lainnya dilakukan dengan pasukan gerak cepat walaupun memakan biaya yang tidak kecil. Tekanan-tekanan dari de Kock itulah antara lain yang menjadi sebab Pangeran Diponegoro mau menerima perundingan yang ditawarkan Belanda.

Masa akhir peperangan dilakukan oleh Pangeran Diponegoro dengan menerima tawaran perundingan yang diselenggarakan di rumah Residen Kedu di Magelang. Telah diperoleh kesediaan Belanda, bahwa bilamana perundingan gagal, Pangeran Diponegoro dapat kembali ke medan perang.

de Kock menanyakan kepada Pangeran Diponegoro apa yang dikehendaki, setelah memperoleh jawaban dikatakannya bahwa apa yang dikehendaki Pangeran Diponegoro itu tidak dapat dipenuhi. Akhirnya Pangeran Diponegoro dinyatakan sebagai tawanan dan dibawa ke Semarang.

Dari Semarang diangkut dengan kapal ke Batavia, kemudian dibawa ke Manado akhirnya dari Manado dipindahkan ke Ujungpandang. Di kota terakhir tersebut dalam Benteng Rotterdam beliau wafat tanggal 8 Januari 1855.

Dengan tertawannya Pangeran Diponegoro, Perang Jawa dianggap selesai. Ada pendapat yang mengatakan bahwa de Kock melakukan cara licik itu karena diperintahkan oleh Gubernur Jenderal baru bernama Johannes van den Bosh yang mendapat tugas secepatnya memulai Tanam Paksa (1830).

Perang Diponegoro yang berlangsung selama lima tahun membawa akibat atau arti luas sebagai berikut ini :

  • Kekuasaan dan wilayah Sultan Yogyakarta dan Sunan Solo dikurangi, sehingga kerajaan-kerajaan yang sudah sempit itu semakin dipersempit. Daerah Banyumas, Bagelen, dan Kedu diambil oleh Belanda. Sunan Paku Buwono VI yang semula membantu Belanda kecewa, sehingga beliau mengasingkan diri. Hal ini dianggap sebagai tindakan perlawanan sehingga Sunan itu ditangkap dan diasingkan ke Ambon (1830). Di kota itu beliau wafat tahun 1849, setelah Indonesia merdeka, jenazahnya dipindahkan ke Imogiri.
  • Belanda memperoleh daerah Yogyakarta dan Solo yang tanahnya subur dan penduduknya padat. Di daerah inilah Tanam Paksa dilakukan dan diharapkan dapat mengisi kas Kerajaan Belanda.
  • Kerugian jiwa maupun harta yang berjumlah besar. Dari pihak Diponegoro tidak diperoleh angka-angka, karena belum dirasakan petingnya catatan pada waktu itu. Sedangkan di pihak Belanda, kerugian jiwa sebanyak 8.000 orang Belanda, 7.000 orang Indonesia dan biaya yang dikeluarkan F 20.000.000.
  • Untuk menghindarkan rasa tidak puas dari rakyat, peraturan-peraturan yang merugikan dihapuskan, misalnya penghapusan gerbang cukai di Yogyakarta maupun Surakarta.

Post a Comment for "Perang jawa (1825 -1830)"