Faktor pendorong imperialisme Jepang
Faktor pendorong imperialisme Jepang
Kemajuan pesat yang dicapai Jepang selama setengah abad menimbulkan masalah-masalah pelik yang harus dihadapi oleh bangsa Jepang maupun bangsa lain. Misalnya kependudukan dan imperialisme.a. Kependudukan.
Masalah kependudukan merupakan masalah dasar yang harus dihadapi oleh Jepang. Kemajuan kesehatan dalam modernisasi menyebabkan terjadinya kenaikan penduduk secara mencolok. Pada tahun 1868 jumlahnya baru 32 juta, pada tahun 1900 telah menjadi 40 juta yang berarti kenaikan sebanyak 25%. Kepadatannya meningkat dari 85 orang menjadi 92 orang per kilo meter persegi.
Untuk beberapa lama, mata pencaharian penduduk dapat diperluas dalam bidang industri dan perdagangan, tetapi untuk jangka panjang tidak mungkin dapat dipenuhi. Sementara itu bangsa Jepang telah merasa menjadi bangsa besar yang berpendapat bahwa negerinya dirasakan terlalu sempit, sehingga diperlukan daerah lain sebagai tempat tinggalnya.
b. Imperialisme Modern.
Kemajuan pesat dalam bidang industri dan perdagangan mendorong Jepang sebagai bangsa Asia pertama untuk melaksanakan imperialisme modern. Negeri Jepang terlalu sedikit memiliki bahan industri. Listrik yang diperoleh dengan menggunakan air terjun (batu bara putih) tidak mencukupi, sedangkan bahan bakar seperti minyak sangat kecil adanya.
Bahan industri seperti kapas, karet tidak dimilikinya. Sebagian besar keperluan bahan industrinya harus didatangkan dari luar. Setelah Jepang berhasil mengembangkan industrinya, kesulitan lain yang dihadapinya adalah soal pemasaran hasil industri.
Bangsa Barat telah lebih dahulu memperoleh daerah di Asia sebagai jajahan yang dapat memberikan bahan industri maupun tempat pelemparan hasil industri. Salah satu usaha yang dapat dijalankan Jepang adalah melaksanakan politik dumping (dumping policy), yaitu mengadakan penjualan barang di luar negeri dengan harga di bawah pokok dengan tujuan untuk merebut pasaran.
Cara dumping dapat dilakukan dapat dilakukan karena barang diproduksi secara besar-besaran, sehingga ongkosnya lebih murah. Sementara itu dijalankan politik proteksi yang ketat untuk melindungi barang-barang hasil dalam negeri terhadap saingan barang dari luar. Barang-barang Jepang dijual dengan harga tinggi di pasaran dalam negeri, sehingga keuntungan yang diperoleh dapat dipergunakan untuk mengimbangi kerugian penjualan di luar negeri.
c. Imperialisme Militer.
Cara lain yang lebih mudah dijalankan oleh bangsa Jepang yang berpenduduk padat dan sudah terlalu mendesaknya keperluan industrinya adalah imperialisme militer. Untuk itu kerja sama antara kaum gunbatsu dengan zaibatsu sangat diperlukan.
Zaibatsu memberikan senjata dan biaya kepada gunbatsu untuk suatu penyerbuan, setelah berhasil mereka memperoleh daerah yang dapat memberikan bahan industri dan dijadikan pasaran hasil industrinya. Untuk mengelabui niat imperialismenya, Jepang menggembar-gemborkan adanya Hokko-ichi-u, artinya dunia dalam suatu keluarga.
Menurut ajaran Shinto, bangsa Jepang sebagai bangsa yang sah berhak mengatur dunia agar dapat diciptakan suatu keluarga besar dunia di bawah pimpinannya. Paham serupa juga dianut oleh bangsa China dan Jerman yang pada hakikatnya merupakan imperialisme. Dalam sejarahnya imperialisme Jepang dapat dibedakan atas tiga tahap yaitu sebagai berikut :
1. Pertahanan Negara.
Dalam tahap pertama Jepang memerlukan daerah-daerah di sekitarnya untuk dijadikan benteng pertahanan bagi wilayah Jepang asli. Untuk itu dijalankan penyerbuan ke empat penjuru. Ke sebelah timur dengan menduduki Kepulauan Bonin (1878) yang kemudian diubah namanya menjadi Ogasawara.
Ke selatan dengan menyerobot Kepulauan Riyukiu dari China (1879), kemudian diperolehnya Pulau Taiwan (1895). Ke barat dengan membebaskan Korea dari China (1895), kemudian negara itu dikuasai (1910). Sedangkan ke utara dengan diperolehnya bagian selatan Pulau Sachalin dari Rusia (1905).
2. Perpindahan Penduduk.
Daerah-daerah seperti Taiwan, Korea, kemudian Mansuria (1931) dan China (1937) merupakan daerah yang kepadatan penduduknya masih rendah dibanding Jepang. Penduduk Jepang dipindahkan secara besar-besaran ke daerah-daerah tersebut. Agar suasana penjajahan dapat dihilangkan dijalankan japanisasi, artinya dijadikan seperti keadaan di Jepang.
Caranya dengan mengubah nama daerah itu menjadi nama Jepang seperti Taiwan menjadi Formosa, Korea menjadi Chosen, Mansuria menjadi Mansukuo. Bahasa dan tulisan Jepang dipaksakan di daerah-daerah jajahannya.
3. Melaksanakan Hokko-ichi-u.
Dengan alasan melaksanakan Hokko-ichu-u, Jepang memperluas jajahannya antara lain ke daerah Nanyo, artinya daerah selatan. Asia Tenggara menjadi sasaran dalam Perang Dunia II (1937 - 1945). Untuk mencapai Hokko-ichu-u perlu dilaksanakan kemakmuran bersama di bawah Jepang dan peperangan terhadap kaum imperialis Barat.
Tanaka Giichi, dari keluarga Coshu yang memimpin Partai Seiyuaki dan pernah menjadi menteri menyampaikan kepada Kaisar Jepang suatu gagasan atau memorial (1927). Memorial tersebut berisi agar Jepang melaksanakan politik dengan darah dan besi (durch Blut and Eisen menurut istilah Otto von Bismarck) untuk menaklukkan daerah-daerah lain.
Daerah pertama yang harus ditaklukkan adalah Mansuria, Mongolia agar dapat dijadikan modal untuk mengalahkan China. Bila China sebagai negara besar dapat ditaklukkan, negara-negara Asia lain akan ketakutan dan mudah menyerah. Dunia akan insaf bahwa Asia Timur adalah milik Jepang dan tidak ada yang berani mengganggu hak-hak Jepang.
Tanaka Memorial tersebut dilaksanakan dengan menguasai Mansuria (1931), China (1937), dan Asia Tenggara (1942). Sehingga dalam tempo tiga perempat abad Jepang dapat menguasai Asia Timur dari utara sampai selatan.
Baca juga di bawah ini :
Post a Comment for "Faktor pendorong imperialisme Jepang"