Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pergerakan bidang indische party (1912)

Pergerakan bidang indische party (1912)  

Di Indonesia terdapat sejumlah golongan Indo Belanda. Mereka dianggap lebih rendah kedudukannya oleh Belanda totok, tetapi tidak bersedia untuk disamakan dengan bangsa Indonesia. Menurut hukum mereka itu masuk bangsa kelas I (bangsa Barat), tetapi secara sosial dianggap lebih rendah.

Keudukan yang setengah-tengah itu mendorongnya untuk membentuk perkumpulan kaum Indo yang bersifat sosial dan diberi nama Indische Bond (1898) dan Insulinde (1907). Seorang Indo yang pernah menjadi sukarelawan dalam Perang Boer di Afrika Selatan bernama E.F.E. Douwes Dekker mengambil prakarsa untuk mendirikan partai dari golongan Indo dan bercita-cita mendirikan negara merdeka.

E.F.E. Douwes Dekker ialah cucu kemenakan Eduard Douwes Dekker yang mempergunakan nama samaran Multatuli untuk bukunya Max Haavelaar. Disadari oleh E.F.E. Douwes Dekker yang kemudian berganti nama menjadi dr. Danudirjo Setiabudhi, bahwa dengan jumlah kaum Indo yang sedikit itu tidak mungkin cita-citanya dapat diwujudkan.

Gambar Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo

Pergerakan bidang indische party (1912)

Karena itu diajaknya Suwardi Suryaningrat dan dr. Cipto Mangunkusumo untuk bersama-sama membentuk partai yang diberi nama Indische Party (1912). Pengertian Indo diperluas dengan masuknya peranakan China dan bangsa Indonesia sendiri, pokoknya semua yang menganggap Indonesia sebagai tanah airnya. Tujuannya ialah memperoleh kemerdekaan bagi Indie (istilah Indonesia waktu itu).

Cita-cita Indische Party cepat meluas karena Douwes Dekker memimpin surat kabar. Dengan melalui surat kabar cita-citanya disebarluaskan, sehingga pada waktu singkat mempunyai banyak anggota dalam partainya. Pada tahun pertama tercatat 1.300 bangsa Indonesia dan 6.000 orang Indo.

Dikemukakan pula bahwa pergerakan politik yang sehat haruslah bertujuan untuk mengakhiri cara-cara kolonial. Pemerintahan kolonial bukanlah pemerintahan biasa, tetapi merupakan despotisme dan musuh berbahaya bagi kesejahteraan rakyat. Disebutkan juga bahwa kaum Indo merupakan golongan yang dilupakan dan untuk memperkuat dirinya harus mengadakan persatuan dengan bangsa Indonesia. Tujuan kaum Indo ialah memperoleh kemerdekaan.

Pada tahun 1913 pemerintah Belanda mengadakan persiapan untuk merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis (1814). Untuk memeriahkan diperlukan biaya yang antara lain dicari di Indonesia sebagai jajahannya. Terhadap usaha itu Suwardi Suryaningrat menulis karangan berjudul Als ik een Nederlander was, artinya Kalau Saya Seorang Belanda.

Dalam karangan itu disebutkan, ''bahwa kalau saya seorang Belanda memang akan berusaha agar perayaan pembebasan itu diselenggarakan dengan sebaik-baiknya dan semeriah-meriahnya. Tetapi saya tidak mau bangsa pribumi (Indonesia ikut menanggungnya. Adalah hal yang tidak adil bila bangsa pribumi ikut menanggung biayanya dan merupakan suatu penghinaan moril maupun materiil terhadap perayaan pembebasan itu''. Tulisannya menyebabkan bangsa Belanda tersinggung dan marah.

Indische Party dianggap berbahaya dan dilarang (pertengahan 1913). Pemimpin-pemimpinnya ditangkap dan dibuang (diinternir), yaitu Douwes Dekker ke Timor (Kupang), Cipto Mangunkusumo ke Banda, dan Suwardi Suryaningrat ke Bangka. Atas permintaan mereka, interniran itu ditukar dengan eksterniran (pembuangan ke luar negeri). Mereka memilih negeri Belanda sebagai tempat pembuangannya.

Pada tahun 1914 dr. Cipto Mangunkusumo diizinkan kembali ke Indonesia karena alasan kesehatan. Kemudian hukuman untuk Douwes Dekker dicabut tahun 1917 dan Suwardi Suryaningrat dapat kembali ke Indonesia tahun 1918. Di Indonesia mereka aktif lagi dalam pergerakan dengan mendirikan National Indische Party (1919) yang merupakan lanjutan Indische Party.

Sementara itu Suwardi Suryaningrat pada masa pembuangannya di negeri Belanda melanjutkan ke sekolah guru dan mengubah namanya menjadi Ki Hajar Dewantoro dan mendirikan Perguruan Taman Siswa (1922). Perguruan tersebut merupakan badan perjuangan kebudayaan di samping badan perjuangan politik yang ada.

Salah satu asasnya adalah sistem among. Universitas Gajah Mada memberikan gelar Doktor Honoris Kausa kepada beliau dalam bidang kebudayaan dan Pemerintah Republik Indonesia menetapkan hari lahir beliau tanggal 2 Mei (1889) Hari Pendidikan Nasional.

Indische Party yang kemudian menjadi National Indische Party merupakan partai politik pertama dan telah memiliki tujuan memperoleh kemerdekaan. Dari segi kebangsaan, partai ini telah menyatukan beberapa keturunan bangsa dalam suatu perkumpulan. Setelah Douwes Dekker kembali dari luar negeri, ia juga mendirikan lembaga pendidikan yang diberi nama Perguruan Ksatira.

Baca juga di bawah ini :

Post a Comment for "Pergerakan bidang indische party (1912) "