Pemberontakan kapal tujuh (1933) dan peta (1945)
a. Pemberontakan kapal tujuh (1933).
Pemberontakan Kapal Tujuh dilakukan oleh awak kapal perang Belanda Zeven Provincien. Sebab-sebab terjadinya pemberontakan tersebut ialah adanya pengaruh pergerakan nasional yang makin matang dan keadaan dalam lingkungan Angkatan Laut Belanda sendiri.
Di dalam lingkungan angkatan laut terjadi diskriminasi (pembedaan) antara orang Belanda dengan orang Indonesia dalam soal kedudukan maupun gaji. Di samping itu juga sikap perwira Belanda yang tidak bijaksana terhadap bawahan yang umumnya terdiri atas bangsa Indonesia, adanya aksi dari Inlandsche Marine Bond yang merupakan persatuan marine Indonesia, dan rencana penurunan gaji oleh Belanda dalam suasana malaise.
Pemberontakan dimulai tanggal 4 Februari 1933 degnan dikuasainya kapal perang Zeven Provincien oleh awak kapal tersebut di pelabuhan Ole-Lhe (Banda Aceh). Kapal yang telah dikuasai itu dijalankan sendiri dari Ole-Lhe melalui Selat Sunda ke Surabaya.
Awak kapal Belanda menjadi tawanan. Dengan mengerahkan beberapa pesawat terbang Dornier dan kapal perang Piet Hein, pemberontakan dapat diatasi dengan membom kapal Zeven Proviencien yang menimbulkan sejumlah korban (10 Februari 1933).
Pemimpin-pemimpinnya antara lain Paraja, J.K. Kawilarang, dan Gosal. Korban yang mati dimakamkan di Jakarta dalam satu lubang yang masih hidup ditawan di Pulau Onrust (Teluk Jakarta). Mereka yang masih hidup diadili. Kawilarang mendapat hukuman delapan belas tahun , sedangkan seorang marine Belanda bernama Boshardt enam belas tahun. Jumlah seluruhnya yang dihukum ada 164 orang dengan jumlah 715 tahun penjara. Dengan demikian pemberontakan yang berlangsung satu minggu gagal.
b. Pemberontakan peta (1945).
Pemberontakan Peta dilakukan oleh sejumlah anggota Peta Blitar di bawah pimpinan Supriyadi pada tanggal 14 Februari 1945. Sebab-sebabnya ialah tidak tahan melihat penderitaan rakyat pada umumnya dan romusha pada khususnya, tidak tahan lagi kesombongan dan kekejaman Jepang terutama Kenpetai, dan keinginan untuk mencapai kemerdekaan sejati.
Pemberontakan dilakukan di dalam kota Blitar dan daerah sekitarnya, yaitu di utara, timur, selatan, dan barat kota. Namun pemberontakan dapat diatasi oleh Jepang dengan mempergunakan bangsa Indonesia sendiri untuk membujuknya.
Setelah dapat dikumpulkan di Blitar kembali, mereka yang berontak dibawa ke Jakarta untuk diadili. Supriyadi sendiri tidak tertangkap, da yang mengatakan ia menghilang, tetapi dugaan besar ia dihilangkan. Sebanyak enam orang dijatuhi hukuman mati, sedangkan 55 lainnya dijatuhi hukuman dari dua tahun sampai seumur hidup.
Pemberontakan yang berlangsung hanya sehari itu menyadarkan Jepang akan sikapnya di Indonesia, sementara itu kedudukannya makin terdesak dalam perang. Sehingga pemerintah militer Jepang di Indonesia mendesak agar kemerdekaan bangsa Indonesia lekas diberikan. Bagi bangsa Indonesia pemberontakan itu menyadarkan diri tentang perlakuan yang kejam dari saudara tua yang makin sulit dipercayai.
Baca juga di bawah ini :
Post a Comment for "Pemberontakan kapal tujuh (1933) dan peta (1945)"