Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perlawanan dengan kekerasan di jawa dan pemberontakan PKI

Perlawanan dengan kekerasan di jawa dan pemberontakan PKI 

Pola umum Kebangkitan Nasional ialah bahwa pergerakan dilakukan dengan organisasi modern, dipimpin oleh kaum cerdik pandai, dan telah mencakup wilayah Indonesia. Walaupun demikian pada zaman Kebangkitan Nasional terjadi penyimpangan pola umum berupa perlawanan dengan kekerasan. Ada beberapa peristiwa penting dapat disebutkan sehubungan dengan perlawanan itu.

1. Di Jawa Barat.

a. Peristiwa Cimareme (1919) di daerah Garut. Gubernur Jenderal Fock yang reaksioner harus menjalankan penghematan dalam anggaran belanja. Diputuskannya untuk membeli beras dari rakyat dengan harga murah. Rakyat menolaknya, karena untuk keperluan sendiri saja hasil yang ada tidak mencukupi.

Haji Hasan yang menolak pembelian padi dihadapi Belanda dengan kekerasan yang menimbulkan 21 orang korban di antaranya anak-anak. Penolakan diartikan bahwa Sarekat Islam Afedeeling B di daerah itu mau berontak. Banyak anggota SI ditangkap dan dipaksa untuk menandatangani berita acara palsu yang berisi pengakuan bahwa mereka mau berontak dengan cara memutuskan kawat telepon membunuh orang-orang Belanda. Dengan pengakuan demikian banyak orang-orang anggota SI yang dibuang ke Manokwari (Irian Jaya).

Perlawanan dengan kekerasan di jawa dan pemberontakan PKI

b. Peristiwa Singaparna dan Indramayu (1944) polanya sama dengan Cimareme. Bedanya bahwa peristiwa di Singaparna dan Indramayu terjadi zaman Jepang (1944). Pemimpin perlawanan di Singaparna adalah Kyai Mustofa.

2. Pemberontakan PKI (1926 - 1927).

Setelah aksi-aksi pemogokan yang dipimpin PKI menyebabkan tokoh-tokoh dibuang ke luar negeri, maka pimpinan PKI yang tinggal merencanakan suatu pemberontakan. Rencana itu disusun dalam pertemuan mereka di Prambanan (Oktober 1925) dan akan dilakukan tanggal 12 Juni 1926.

Bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan Belanda di Indonesia. Sebagai tanda mulainya pemberontakan ialah pemogokan buruh kereta api. Tan Malaka yang sedang dalam pengasingan di luar negeri dan menjabat sebagai agen komunis internasional untuk wilayah Asia Tenggara dan Australia tidak menyetujui adanya pemberontakan tersebut.

Alasannya ialah bahwa rakyat belum disiapkan secara masak untuk mengadakan massa aksi. Sebagai bukti ialah walaupun waktu yang direncanakan telah tiba, namun belum juga dapat dimulai pemberontakan. Sementara itu Alimin dan Muso yang juga dalam pengasingan di Rusia, menyetujui adanya rencana pemberontakan. Mereka datang dari Rusia ke Malaya, tetapi ditangkap oleh polisi Inggris atas permintaan Belanda dan diusir kembali.

Pemogokan buruh yang merupakan tanda dimulainya pemberontakan berlangsung tidak menentu, yang pasti memulai pemberontakan ialah petani-petani di daerah Banten, yang miskin dan tertindas hidupnya (ingat karangan Multatuli dan pemberontakan Cilegon sebelumnya).

Dengan senjata keris, tombak, dan sebagainya petani-petani itu menyerang pos polisi, memutuskan kawat-kawat telepon, merusak jalan kereta api dan jembatan. Lalu menyerang pegawai-pegawai dan rumah-rumah dirusak. Pemberontakan dimulai tanggal 12 November 1926 dan berlangsung secara gerilya sehingga mereka dapat bertahan sebulan lamanya.

Pemberontakan di Jakarta dilakukan oleh kaum buruh. Mereka berusaha menyerang pos polisi, memutuskan kawat-kawat telepon, dan mencoba menyerang penjara. Rintangan-rintangan dibuatnya di beberapa jalan. Tetapi akhirnya setelah beberapa hari perlawanan, Jakarta dikuasai kembali oleh pemerintah Belanda. Sebanyak tiga ratus orang ditahan.

Dari Banten dan Jakarta pemberontakan meluas ke Priangan. Pemberontakan dilakukan di daerah perkebunan karena kurang terorganisir rapi dengan mudah dikalahkan. Di Solo, pemberontakan dilakukan dengan memutuskan kawat-kawat telepon. Pemimpin-pemimpin PKI yang menggerakkannya ditangkapi oleh Belanda (Desember 1926).

Pemberontakan juga meletus di Sumatra Barat dalam bulan Januari 1927. Usaha merebut kantor tambang batu bara di Sawahlunto tidak berhasil. Stasiun Silungkung dapat dikuasainya beberapa lama, tetapi terpaksa ditinggalkan setelah terjadi beberapa orang korban.

Petani yang merasa dirugikan karena tanahnya dipergunakan untuk tambang batu bara, menyerang kota dan bus-bus. Mereka mendapat bantuan dari buruh perusahaan tambang. Belanda mengerahkan polisi dan tentaranya, seorang letnan Belanda mati dalam usaha menguasai keadaan. Pemberontakan berlangsung selama dua minggu.

Akibat kegagalan pemberontakan 1926 - 1927, sebanyak 13.000 orang ditangkap. Belanda mengadakan tempat interniran baru di Hulu Sungai Digul yang terkenal sebagai Tanah Merah. Sebanyak 823 orang dibuang di daerah rawa-rawa yang penuh penyakit dan terasing. Sisanya dipenjarakan di kota-kota dan beberapa orang dihukum mati. Tidak semuanya anggota PKI, anggota organisasi lain yang dicurigai juga ditangkap atau di buang.

Baca juga di bawah ini :

Post a Comment for "Perlawanan dengan kekerasan di jawa dan pemberontakan PKI"