Keresahan sosial abab ke-19 Perang Jawa Diponegoro
Keresahan sosial abab ke-19 Perang Jawa Diponegoro
Dalam bagian pertama abad ke-19 di Jawa terjadi Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825 - 1830) dan di Sumatera terjadi Perang Padri (1821 - 1837) yang berakhir dengan kemenangan Belanda. Setelah terjadi beberapa perang besar, kekuasaan Belanda dimantapkan dalam wujud pemerintahan yang kokoh demi pelestariannya.Rasa tidak puas terhadap kekuasaan Belanda menimbulkan keresahan sosial dikalangan rakyat yang menurut istilah Belanda sebagai penguasa diwujudkan dalam huru-hara, kerusakan, atau gangguan keamanan. Dibandingkan dengan perlawanan besar sebelumnya, maka perlawanan pada akhir abad ke-19 lebih kecil, lingkup daerahnya lebih sempit dan pemimpinannya berasal dari masyarakat lapisan bawah.
Sebab-sebab keresahan sosial.
Bila diperinci, keresahan sosial khususnya di Jawa pada akhir abab ke-19 disebabkan oleh faktor-faktor berikut :
1. Terjadinya Penindasan atau Pemerasan oleh Penguasa.
Pada awal abab ke-19 Gubernur Jenderal Daendels maupun Letnan Gubernur Raffles banyak menjual tanah pemerintah kepada swasta dalam usaha memperoleh keuangan yang cukup untuk membianyai pemerintahannya. Daendels menjual daerah Probolinggo kepada seorang China bernama Han Tie Koo, sehingga karena daerahnya luas ia digelar oleh rakyat sebagai Tumenggung China.
Sedangkan Raffles menjual tanah kepada bangsa Barat termasuk dirinya, seperti daerah Pamanukan, Ciasem, dan Sukabumi di Jawa Barat. Para tuan tanah merasa dirinya sebagai penguasa atau daerahnya yang merupakan daerah pertanian swasta (particuliere landerijen).
Mereka dapat seenaknya menetapkan besarnya pajak yang harus dibayar oleh rakyat (cuke), atau mewajibkan rakyat mengerjakan rodi (kompenian) dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan-keuntungan besar di daerah yang telah menjadi miliknya. Sebagai akibatnya hidup rakyat menderita, kemiskinan makin terasa yang menyebabkan mudah menimbulkan keresahan sosial dan berakhir sebagai perlawanan.
Sedangkan Raffles menjual tanah kepada bangsa Barat termasuk dirinya, seperti daerah Pamanukan, Ciasem, dan Sukabumi di Jawa Barat. Para tuan tanah merasa dirinya sebagai penguasa atau daerahnya yang merupakan daerah pertanian swasta (particuliere landerijen).
Mereka dapat seenaknya menetapkan besarnya pajak yang harus dibayar oleh rakyat (cuke), atau mewajibkan rakyat mengerjakan rodi (kompenian) dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan-keuntungan besar di daerah yang telah menjadi miliknya. Sebagai akibatnya hidup rakyat menderita, kemiskinan makin terasa yang menyebabkan mudah menimbulkan keresahan sosial dan berakhir sebagai perlawanan.
2. Adanya Gerakan Ratu Adil.
Raja Jayabaya dari Kediri (1130 - 1160) memberikan ramalan akan datangnya Ratu Adil yang akan membawa kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat dan ia disebut sebagai Erucokro. Tanda-tanda akan datangnya Ratu Adil adalah kemelut sosial dan bencana alam, serta naiknya raja besar yang ditakuti.
Bagi rakyat yang menderita hidupnya akibat penindasan dan kemiskinan, masalah kedatangan Ratu Adil merupakan hal yang sangat diharapkannya. Mitos yang populer di Jawa tersebut sering dipergunakan oleh orang-orang tertentu yang mengaku mendapat ilham (wangsit) tampil sebagai Ratu Adil (Belanda pun mempergunakan istilah Ratu Adil untuk pasukan pengacauanya dengan sebutan Angkatan Perang Ratu Adil atau APRA tahun 1950 di Bandung).
Bagi rakyat yang menderita hidupnya akibat penindasan dan kemiskinan, masalah kedatangan Ratu Adil merupakan hal yang sangat diharapkannya. Mitos yang populer di Jawa tersebut sering dipergunakan oleh orang-orang tertentu yang mengaku mendapat ilham (wangsit) tampil sebagai Ratu Adil (Belanda pun mempergunakan istilah Ratu Adil untuk pasukan pengacauanya dengan sebutan Angkatan Perang Ratu Adil atau APRA tahun 1950 di Bandung).
3. Makin Berkembangnya Sekte Keagamaan dalam Islam di Jawa.
Sekte yang berarti aliran dalam agama merupakan paham yang berpaling dari salah satu agama yang telah ada, karena pendapatnya yang berbeda atau kurang mendapat perhatian. Sekte dipimpin oleh tokoh dan mengikuti aliran yang dinilainya paling benar. Penyebaran agama Islam di Jawa yang dilakukan dengan toleransi menyebabkan mudah terjadinya sinkretisme yang sampai sekarang melahirkan banyaknya aliran kepercayaan.
Dalam sekte-sekte kecil demikian, seseorang yang dianggap menguasai agama akan mudah menjadi pemimpinnya. Kefanatikan pada sekte menyebabkan anggota mudah digerakkan oleh sang pemimpin termasuk mengadakan perlawanan terhadap Belanda dan pejabat-pejabatnya yang dianggap kafir.
Dalam sekte-sekte kecil demikian, seseorang yang dianggap menguasai agama akan mudah menjadi pemimpinnya. Kefanatikan pada sekte menyebabkan anggota mudah digerakkan oleh sang pemimpin termasuk mengadakan perlawanan terhadap Belanda dan pejabat-pejabatnya yang dianggap kafir.
Dalam kenyataannya, ketiga sebab di atas berkaitan erat satu dengan yang lain, sehingga suatu keresahan sosial nampak sangat kompleks. Misalnya, akibat penindasan dan kemiskinannya, rakyat mudah menerima kembali adanya Ratu Adil yang diharapkan akan membebaskan dirinya. Oleh karena itu terjadinya pada abad ke-19 yang sebagian besar penduduknya telah memeluk agama Islam, maka sekte-sekte keagamaan Islam di bawah seorang yang berpengaruh mudah mengajak rakyat untuk melakukan perlawanan.
Baca selanjutnya di bawah ini :
Baca selanjutnya di bawah ini :