Aliran-aliran Keagamaan pada Masa Umayah
Aliran-aliran Keagamaan pada Masa Umayah
a. Khawarij adalah
kaum yang mendesak Ali untuk menghentikan peperangan pada Perang Shiffin dan menjalakan proses hukum melalui Al-Quran. Namun, kemudian menolak hasil perundingan antara pihak Ali dan Muawiyah. Setelah itu, mereka melakukan pemberontakan di Harum dan melakukan kerusakan di muka bumi.
Mereka dibinasakan oleh Ali bin Abi Thalib dalam perang Nahrawand, namun masih banyak yang tersisa di kalangan pasukannya. Salah seorang di antara mereka berhasil membunuh Ali. Pada masa pemerintahan Muawiyah, mereka melakukan beberapa kali pemberontakan di Kufah dan Bashrah, hingga kembali mereka dihancurkan oleh gubernur Bashrah saat itu, yaitu Ziyad lbnu Abihi dan anaknya Abdullah bin Ziyad. Mereka adalah dua orang yang sangat keras terhadap mereka.
Orang-orang Khawarij adalah manusia-manusia kampungan yang kaku, keras kepala, dan menginginkan manusia hanya ada dalam dua kubu, yaitu kafir dan mukmin, Barang siapa yang sesuai dengan pandangan-pandangannya, ia dianggap sebagai orang mukmin; dan barang siapa yang dianggap tidak sesuai dengan pandangannya, ia akan dianggap sebagai orang kafir.
Mereka menuduh Utsman, Ali, dan Muawiyah sebagai orang kafir, Mereka selalu memerangi siapa saja yang tidak berada di dalam jamaah mereka dan menghalalkan darah kaum muslimin. Mereka adalah manusia-manusia yang sering menimbulkan bencana. Jika ditilik secara umum, kemenangan paling menonjol yang mereka capai adalah masa pemerintahan Bani Umawiyah. Sekte mereka yang paling menonjol adalah Azariqah, Najdat, Ibadhiyah, Ajaridah, dan Saffariah.
Dalam tulisan Jaih Mubarok, dijelaskan bahwa awal pendirian Umayah ditandai dengan munculnya kelompok yang kontra terhadap Ali dan Muawiyah, yaitu Khawarij. Di samping berperan sebagai gerakan politik, Khawarij juga berperan sebagai aliran teologi Islam.
Gagasan Khawarij yang merupakan perpaduan antara pemikiran teologi dan politik terletak pada gagasannya tentang kewajiban menggunakan hukum Allah dengan adagium La Hukma ila Lilah. Akan tetapi, Khawarij kemudian terpecah-pecah menjadi kelompok kecil yang akibatnya adalah terjadi perbedaan gagasan antara aliran yang satu dan aliran yang lain.
Bagi Khawarij, menyelesaikan sengketa bukan dengan hukum Allah adalah pengingkaran; dan dalam pandangan mereka, tahkim antara pihak Ali r.a. dengan Muawiyah dilakukan tanpa hukum Allah. Oleh karena itu, Ali lbn Abi Thalib dan Muawiyah dianggap telah melakukan dosa besar.
Khawarij mengafirkan pihak-pihak yang melakukan dosa besar; dan mereka berpendapat bahwa hukum membelot dari pemimpin yang menyalahi Sunnah Nabi Muhammad SAW. adalah wajib. Lebih dari itu, Khawarij berpendapat bahwa pelaku dosa besar, termasuk para sahabat Nabi Muhammad SAW., seperti Ali r.a., Muawiyah, Amr Ibn Al-Ash, dan Abu Musa Al-Asy'ari akan ditempatkan di neraka selamanya.
Keyakinan Khawarij tentang Ali r.a., Muawiyah, Amr ibn AlAsh, dan Abu Musa Al-Asy'ari sebagai pelaku dosa besar dan akan ditempatkan di neraka selamanya pada hari akhirat nanti. menimbulkan keraguan di kalangan masyarakat Islam.
Bagaimana mungkin sahabat Ali r.a. yang telah banyak berkorban dalam membela kehidupan Nabi Muhammad SAW. dianggap ingkar dan akan ditempatkan di neraka selamanya, padahal beliau termasuk as-sabiqun al-awwalun yang memperoleh jaminan dari Nabi Muhammad SAW untuk dimasukkan ke surga.
b. Murji'ah,
secara bahasa. murjiat berasal dari kata al irja (mengakhirkan, al-m'khir atau memberikan harapan (i 'tha al-aja'). Arti pertama relevan dengan Khawarij karena adagium yang mereka gunakan, yaitu maksiat tidak akan merusak iman. dan taat tidak akan bermanfaat bagi kekafiran.
Makna kedua relevan dengan Khawarij karena mereka tidak mau menentukan hukum bagi yang melakukan dosa besar di dunia ini apakah ia akan ditempatkan di surga atau di neraka dan sebagai antitesis dari Syi'ah yang menempatkan Ali sebagai sahabat Nabi Muhammad SAW. pada derajat paling tinggi atau nomor satu, Murji'ah juga berarti kelompok yang menempatkan Ali r.a. pada urutan keempat. Di antara gagaqannya yang terpenting adalah bahwa mukmin yang melakukan maksiat akan disiksa oleh Allah di akhirat nanti; dan setelah disiksa, mereka akan ditempatkan di surga.
c. Aliran fiqh,
dalam (analisis Nurcholish Madjid), di bawah pimpinan Khalifah Muawiyah. Masa kekhalifahannya disebut Ibn Taymiyyah sebagai permulaan masa “kerajaan dengan rahmat” (al-mulk bi alrahmah). Pada saat itu, kaum muslim dapat dikatakan kembali pada keadaan, seperti zaman Abu Bakar dan Umar (zaman (Asy-Syaykhani, “Dua Tokoh") yang amat dirindukan banyak orang, termasuk para “aktivis militan” yang membunuh Utsman (Van yang kemudian [ikut] mensponsori pengangkatan Ali, namun akhiri ya berpisah dan menjadi golongan Khawarij).
Apapun kualitas kekhalifahan Muawiyah, dalam hal masalah penegakan hukum, mereka tetap sedapat mungkin berpegang dan meneruskan tradisi para khalifah di Madinah dahulu, khususnya tradisi Umar. Oleh karena itu, ada semacam “koalisi” antara Damaskus dan Madinah (tetapi suatu koalisi yang tak pernah sepenuh hati, akibat masalah keabsahan kekuasaan Bani Umayah itu). “Koalisi" itu mempunyai akibat cukup penting dalam bidang fiqh, yaitu tumbuhnya orientasi kehukuman (Islam) pada Hadis atau Tradisi (dengan “T” besar) yang berpusat di Madinah dan Mekah serta mendapat dukungan langsung atau tak langsung dari rezim Damaskus.
Sementara banyak tokoh Madinah sendiri tetap mempertanyakan keabsahan rezim Umayah. Irak dengan kota-kota Kufah dan Bashrah adalah kawasan yang selalu potensial menentang Damaskus secara efektif. Ini kemudian berdampak tumbuhnya dua orientasi dengan perbedaan yang cukup penting: Hijaz (Mekah-Madinah) dengan orientasi Hadisnya, dan Irak (Kufah-Bashrah) dengan orientasi penalaran pribadi (ra 'y)-nya. Penjelasan menarik tentang hal ini diberikan oleh Syaykh Ali Al-Khafif.
“Pada zaman itu (zaman tabiin, dalam ifta’ (pemberian fatwa) ada dua aliran, yaitu aliran yang cenderung pada kelonggaran dan bersandar atas penalaran, kias, penelitian tentang tujuan-tujuan hukum dan alasan-alasannya, sebagai dasar ijtihad. Tempatnya ialah Irak.
Dan aliran yang cenderung tidak pada kelonggaran dalam hal tersebut, dan hanya bersandar pada buktiibukti atsar (peninggalan atau “petilasan”, yakni tradisi atau sunnah) dan nash-nash. Tempatnya ialah Hijaz. Adanya dua aliran itu merupakan akibat yang wajar dari situasi masing-masing Hijaz dan Irak.
Hijaz adalah tempat tinggal kenabian. Di situlah Rasul menetap, menyampaikan seruannya, kemudian para sahabat beliau menyambut, mendengarkan, memelihara sabda-sabda beliau, dan menerapkannya. Dan (Hijaz) tetap menjadi tempat tinggal banyak dari mereka (para sahabat) yang datang kemudian sampai beliau wafat. Kemudian mereka ini mewariskan apa saja yang mereka ketahui kepada penduduk (berikut)-nya, yaitu kaum tabiin yang bersemangat untuk tinggal di sana.
Adapun Irak telah mempunyai peradaban sendiri, sistem pemerintahannya, kompleksitas kehidupannya, dan tidak mendapatkan bagian dari sunnah, kecuali melalui para sahabat dan tabiin yang pindah ke sana. Dan yang dibawa pindah oleh mereka itu pun masih lebih sedikit daripada yang ada di Hijaz. Padahal, peristiwa-peristiwa (hukum) di Irak itu, disebabkan masa lampaunya adalah lebih banyak daripada yang ada di Hijaz; 'begitu pula kebudayaan penduduknya dan terlatihnya mereka pada penalaran adalah lebih luas dan lebih banyak.
Oleh karena itulah, keperluan mereka pada penalaran lebih kuat terasa, dan penggunaannya juga lebih banyak. Penyandaran diri kepadanya juga tampak lebih luas, mengingat sedikitnya sunnah pada mereka yang tidak memadai untuk semua tuntutan mereka. Ini masih ditambah dengan kecenderungan mereka untuk banyak membuat asumsiasumsi dan perincian karena keinginan mendapatkan tambahan pengetahuan, penalaran mendalam, dan pelaksanaan yang banyak…."
Jika dikatakan bahwa orang-orang Hijaz adalah Ahli Ar-Riwayah (kelompok Riwayat, karena mereka banyak berpegang pada penuturan masa lampau, seperti hadis sebagai pedoman) dan orang-orang irak adalah Ahl Ar-Ra'y (kelompok penalaran, dengan isyarat tidak banyak mementingkan “riwayat”), sesungguhnya itu hanya karakteristik gaya intelektual masing-masing daerah itu.
Adapun pada peringkat individu, cukup banyak dari masing-masing daerah yang tidak mengikuti karakteristik umum. Di kalangan orang-orang Hijaz terdapat seorang sarjana bernama Rab'ah yang tergolong “Kelompok Penalaran”, dan di kalangan para sarjana Irak kelak tampil seorang penganut dan pembela “Kelompok Riwayat” yang sangat tegar. yaitu Ahmad ibn Hanbal.
Di samping itu, membuat generalisasi bahwa sesuatu kelompok hanya melakukan satu metode penetapan hukum atau tasry ', apakah itu penalaran atau penuturan riwayat, adalah tidak tepat. Terdapat persilangan antara keduanya, meskipun masing-masing tetap dapat dikenali ciri utamanya dari kedua kategori tersebut. Ini semakin memperkaya pemikiran hukum zaman tabiin.
Baca juga di bawah ini :