Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Berakhirnya Masa Revolusi Eksistensi Islam dalam Demokrasi Parlemen

Berakhirnya Masa Revolusi Eksistensi Islam dalam Demokrasi Parlemen - Berakhirnya masa revolusi 29 Desember 1949 yang ditandai dengan penyebaran kedaulatan melalui Konferensi Meja Bundar tanggal 23 Agustus dan 2 November 1949 di Den Haag menunjukkan bahwa pentas sejarah politik Indonesia memasuki era baru dengan diterapkannya sistem Demokrasi Parlementer dan Konstitusi UUD RIS 1949 yang kemudian diganti dengan UUDS 1950. Selama tahun 1950-1955, parlementer sangat aktif. Tidak ada satu pun kabinet yang dijatuhkan oleh parlemen dan DPR tidak diganti sampai terbentuknya parlemen baru hasil dari pemilu 1955.

Antara kurun waktu tersebut. peranan parpol Islam mengalami pasang surut, seiring dengan jatuh-bangunnya pimpinan parlemen. Secara kronologis dapat disebutkan sebagai berikut: Kabinet Hatta 1950, Masyumi memperoleh jatah 4 kursi, sedangkan PSII dan Perti tidak masuk. Kabinet Natsir 1950-1951 tercatat 4 orang dari Masyumi dan 2 dari PSII. 

Berakhirnya Masa Revolusi Eksistensi Islam dalam Demokrasi Parlemen

Dalam kabinet Sukiman 1951-1952, Masyumi berkoalisi dengan PNI, masing-masing memperoleh 5 kursi. Dalam kabinet Wilopo 1952-1953, Masyumi mendapat 4 kursi termasuk Menteri Agama Fakih Utsman dari Muhammadiyah. Dalam kabinet Ali Sostroamijoyo I 1953-1955, untuk pertama kalinya NU duduk dalam jajaran kabinet yang memperoleh 3 kursi, sedangkan PSII memperoleh 2 kursi. Kabinet Burhanudin Harahap 1955-1956 kembali terjalin kerja sama antara parpol Islam, yaitu Masyumi, NU, dan PSII. Kabinet ini mempunyai tugas khusus untuk menyelenggarakan pemilu 1955. 

Pemilu 1955 terbukti sebagai suatu peristiwa yang paling menentukan dalam sejarah Indonesia. Kampanye politik pada saat itu justru meningkatkan pergolakan untuk berebut kekuasaan sebab masing-masing partai berusaha memperoleh dukungan dari para pejabat pada saat itu, sepertinya semua kalangan proaktif dalam pemilu, dari kyai, petani, tokoh kampung sampai perkumpulan buruh/pekerja. 

Kebanyakan mereka menggalang pengikut dari kampung-kampung yang dipimpin oleh mantan aristokrat, tuan tanah, dan dukun mistik. Partai-partai Islam menggalang pengikutnya dari kalangan tradisional dan reformis pada kampung yang berbeda.

Dengan demikian, komunitas kampus secara politik ditransformasikan menjadi aliran terorganisasi. Pemilu 1955 mengonsolidasikan bentuk baru ideologi Indonesia dan organisasi sosiai, bahkan mengembangkan sebuah kelanjutan yang nyata dari masa lalu Indonesia. 

Hasil Pemilu 1955 adalah terbentuk Kabinet Ali Sostroamijoyo II 1956-1957 yang merupakan koalisi PNI, Masyumi, dan NU. Kabinet ini jatuh karena ingin ikut serta dalam kekuasaan pemerintahan, padahal secara konstitusional, hal ini tidak dibenarkan. Kepala negara hanya simbol dan tidak memiliki kekuasaan eksekutif. 

Sebab lainnya karena Masyumi dan Perti menarik diri dari kabinet karena tidak puas dengan kebijakan dalam mengatasi krisis di daerah-daerah, karena saat itu muncul perlawananan-perlawanan di daerah terhadap pemerintahan pusat. 

Kekuasaan negara diambil alih oleh Presiden Soekarno dan pasukan militer sehingga aspirasi umat Islam untuk mewarnai negara dengan Islam mengalami kekalahan. Pada tahun 1957, sistem parlementer diubah menjadi “Demokrasi Terpimpin” termasuk di dalamnya rancangan pembentukan kabinet yang terdiri atas dewan komunitas dan nasionalis. 

Selanjutnya, terjadi perubahan drastis, menyusul macetnya pembicaraan dalam majelis konstituante sampai dengan tanggal 2 Juni 1950, presiden bersama militer mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945 dan membubarkan konstituante. 

Baca juga di bawah ini

Runtuhnya Demokrasi Parlementer dipicu oleh banyak hal, di antaranya: 

1. Militer tidak menyukai sistem tersebut karena membuat posisinya berada di pinggiran. Analisis ini terutama berangkat dari perspektif sipil-militer. 

2. Demokrasi Parlementer tidak memperoleh dukungan di Indonesia. Presiden Soekarno terlempar dan hanya menjadi simbol, padahal sebagai pemimpin Solidarity Maker, ia memiliki basis masa yang luas. Hal ini sangat berlawanan dengan politisi sipil lainnya, seperti Syahrir dan Moh. Hatta yang bertipe administratif. 

3. Demokrasi Parlementer tidak dapat menampung semua aspirasi yang berkembang dalam masyarakat Indonesia yang majemuk sehingga akhirnya runtuh. 

4. Berhubungan dengan budaya politik Indonesia yang bersumber pada “Demokrasi Desa” yang sangat m&nekankan pengambilan keputusan melalui musyawarah mufakat. Sedangkan Demokrasi Parlementer mengikuti cara barat yang mengenal vooting.