Islam Dalam Masa Revolusi
Islam Dalam Masa Revolusi - Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan, muncul persoalan, yakni dimentahkannya kembali gentlementasi agreement yang telah susah payah dikemas dalam Piagam Jakarta. Kedudukan golongan Islam tidak bertambah kuat setelah Bung Karno dan Bung Hatta disahkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Dalam KNIP yang dibentuk kemudian, dari 137 anggotanya, hanya 20 orang yang berasal dari golongan Islam”, sedangkan dari 15 anggota BPKNIP yang dibentuk bulan Oktober ,1945, hanya 2 orang wakil Islam.
Setelah mengalami perombakan pada bulan September, 17 anggota golongan Islam hanya mendapat jatah 3 orang. Secara kuantitas, perwakilan ini tidak adil. Penduduk Indonesia yang mayoritas Islam dalam kabinet presidentil hanya memperoleh jatah kursiMenteri Pekerjaan Umum (Abikusno Cokrosujoso) dan Menteri Negara (K.H. Wahid Hasyim).
“Kekalahan" golongan Islam dengan dihapuskannya Piagam Jakarta membuat mereka bersatu dan merasa “senasib”. Mereka mulai memikirkan suatu partai politik yang dapat menjadi payung bagi semua organisasi Islam pada saat itu. Ini berarti pula bahwa konflik ideologis tentang dasar negara belum berakhir. Masalah yang kemudian memuat kembali dalam konstimante hasil Pemilu 1955.
Dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah No. 10 tanggal 3 November 1945 tentang dibolehkannya membentuk partai-partai politik, parpol-parpol bermunculan, walaupun pada tubuh pemerintah sendiri saat itu sebenarnya ada keinginan untuk menciptakan monolitich nasional party.
Dilihat dari segi ideologis, partai-partai politik dapat dibedakan atas tiga jenis, yakni:
1. Ideologi Islam, yang diwakili oleh Masyumi (lahir 7 November 1945), PSII (keluar dari Masyumi tahun 1947), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dan NU (keluar dari Masyumi pada tahun 1952).
2. Ideologi Nasional Sekuler, diwakili oleh PNI.
3. Ideologi Marxis-Sosialis, diwakili oleh Partai Sosialis (10 November 1945), PKI (7 November 1945), Partai Buruh Indonesia (8 November 1945), Partai Rakyat Sosialis (20 November 1945), dan partai-partai lainnya yang dapat dikategorikan ke dalam mainstream ideologis di atas”.
Pada saat menjamurnya parpol kurun waktu November sampai Desember 1945, umat Islam begitu kompak menyatukan langkah dengan ditandainya Kongres Umat Islam Indonesia pada tanggal 7-8 November 1945 di Yogyakarta.
Semangat yang menjiwai kongres itu bukan saja semangat persatuan, tetapi juga semangat kesatuan kongres dilaksanakan pada saat seluruh bangsa tengah menghadapi tentara sekutu dan tentara Belanda yang membonceng sekutu dan berniat kembali menjajah bangsa Indonesia dengan tegas dan penuh keyakinan menggunakan seruan jihad fisabilillah untuk mempertahankan kemerdekaan. Saat itu sangat populer pepatah “Isy Karimah Aw mut Stahidan” dan para ulama mengeluarkan fatwa-fatwa fardu 'ain untuk mempertahankan kemerdekaan.
Implikasinya,kongres tersebut menghasilkan barisan sabilillah dan hizbullah. Dengan demikian, jelas sekali menurut Mohammad Natsir bahwa umat Islam sangat proaktif dalam menulis sejarah. Hasil terpenting dari kongres tersebut adalah terbentuknya satu wadah perjuangan politik umat Islam Indonesia, yakni partai politik Islam Masyumi”.
Sebagai partai politik terbesar pada saat itu, Masyumi bukan tidak menyadari terjadinya ketidakadilan dalam pembagian kekuasaan pada masa permulaan revolusi, baik pada kabinet maupun pada KNIP, tetapi lebih dikarenakan pertimbangan bahwa persatuan dan kesatuan bangsa pada tahap yang sangat menentukan jauh lebih penting daripada sekadar kepentingan partai, Masyumi tidak mendesakkan keinginannya untuk dilakukan perubahan yang lebih proporsionaI dalam kabinet maupun KNIP.
Tampilnya Syahrir di pentas politik nasional ternyata belum juga dapat memperlihatkan spektrum yang lebih luas oleh Presiden Soekarno. Syahrir yang sangat terobsesi oleh sikap anti kolaboratornya menganggap kabinet pertama didominasi oleh kaum kolaborator, menuntut agar pemerintah Republik Indonesia benar-benar membersihkan diri dari apa yang disebutnya sebagai kolaborator politik.
Secara sistematis, gagasan tersebut diterapkan oleh Syahrir dan kelompoknya, mula-mula ia mendesak dilakukan restrukturisasi KNIP melalui petisi 50 negara KNIP. Dengan diterimanya petisi 50 oleh presiden, meskipun kabinet didominasi oleh Kalabararar Jepang. karena KNIP diberikan fungsi legislatif, KNIP dapat mengontrol jalannya pemerintahan. Meskipun demikian, Syahrir dan kelompoknya masih belum puas.
Mereka mengajukan tuntutan lain, yakni mendesak agar dilakukan perubahan mendasar dalam sistem pemerintahan Republik. Kabinet tidak lagi bertanggung jawab kepada presiden, melainkan harus kepada KNIP. Dengan demikian, sistem pemerintahan bukan lagi presidentil, melainkan parlementer.
Usulan Syahrir yang terkesan reformis, ternyata sangat lain di mata Masyumi karena gambar-gambarnya Syahrir itu kontradiksi dengan kenyataannya, dan bahwa orang-orang Syahrir justru sangat erat bekerja sama dengan Jepang maupun dengan ekspensekor Belanda. Masyumi berpendapat bahwa segala perubahan, baik yang berkenaan dengan UUD maupun resuffel kabinet dapat dilakukan setelah diadakan pemilu Januari tahun berikutnya.
Antara tahun 1945-1949. segala potensi kekuatan sosial politik di Indonesia diabdikan untuk mempertahankan kemerdekaan. Setelah Belanda dengan sekutu datang kembali untuk menjajah lndonesia, perjuangan Masyumi pada masa revolusi hampir total. Mereka menolak segala perundingan dengan Belanda karena dipandang menodai perjuangan.
Sikap Masyumi terhadap gagasan perubahan sistem pemerintahan pada awal kemerdekaan sesungguhnya menunjukkan watak dasar politik tersebut, yaitu sikapnya yang setia pada UUD yang secara yuridis-konstitusional berlaku di negara ini.
Bagi Masyumi, terlepas dari bagaimana proses ditetapkannya sebuah UUD, jika sudah dinyatakan berlaku sebagai konstitusi negara, partai politik Islam tanpa ragu-ragu akan menyatakan sikap untuk tunduk dan patuh pada UUD sehingga ia konsisten pada pendirinya, lebih menyetujui sistem kabinet presidentil daripada kabinet parlementer.
Di balik kekonsistenan sikap Masyumi, ironisnya Soekarno sebagai presiden saat itu membubarkan kabinetnya. Soekarno cenderung dan semju dengan usulan Syahrir, sekaligus menunjuknya sebagai perdana menteri, Sehingga resmilah kabinet Syahrir diumumkan tanggal 14 November 1945.
Dalam keadaaan seperti itu, Masyumi tidak dapat berbuat banyak, kecuali menerima kenyataan tersebut. Karena dalam pandangannya, perubahan sistem kabinet itu lahir berdasarkan antara KNIP dengan presiden, perubahan itu pun dianggap mempunyai kekuatan hukum.
Hasilnya. dari 14 anggota kabinet parlementer, hanya satu orang yang dapat dianggap mewakili kalangan politisi muslim, yaitu H. Rasyidi (menteri negara), jumlah itu bertambah ketika pada 3 Januari 1946, Natsir diangkat menjadi menteri penerangan. Akan tetapi, baik H. Rasyidi maupun M. Natsir diangkat menjadi menteri dalam kapasitasnya sebagai pribadi, bukan sebagai wakil dari Masyumi.
Peranan Masyumi dalam naik turunnya kabinet dalam masa revolusi sangat beragam. Dalam kabinet Syahrir antara 1945-1947 Masyumi bertindak sebagai oposisi, sampai terbentuknya kabinet Amir Syarifuddin I.
Namun. saat itu persatuan umat Islam mulai retak karena dengan lihat Amir Syarifuddin berhasil membujuk unsur PSII untuk berkoalisi dengan kabinetnya. la berkeyakinan bahwa tanpa memasukkan unsur parpol Island kabinetnya tidak legitimed.
Dalam kabinet Amir Syarifuddin II, Masyumi bersedia ikut serta dengan maksud memengaruhi P.M. Amir Syarifuddin dalam perundingan-perundingannya dengan pihak Belanda. Namun, usaha ini gagal dengan disepakatinya Perjanjian Renville. Setelah timbul perpecahan internal, P. M. Amir Syarifuddin menyerahkan mandatnya kepada presiden.
Berikutnya terbentuk kabinet Mohammad Hatta yang merupakan “Ekstra kabinet“ dan paling lama memerintah dalam masa revolusi tersebut. Empat hal krusial yang harus ditangani oleh kabinet ini adalah terjadinya gerakan Dir Al-Islam, konsekuensi Perjanjian Renville, peranan 'Syahrir sampai penyerahan kedaulatan Belanda melalui KMB, dan penanganan pemberontakan PKI_di Madiun 1948.
Baca juga di bawah ini
Tekad Masyumi untuk bersatu-padu menentang segala bentuk penyelewengan pemerintah, ternyata tersandung di tengah jalan dengan keluarnya PSII tahun 1947, dan lebih fatal lagi ketika NU menyatakan keluar tahun 1952, sehingga Masyumi menjadi gagal.