Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Islam dan Demokrasi Terpimpin di Malaka

Islam dan Demokrasi Terpimpin di Malaka - Terjerembabnya Kabinet Parlementer (pada saat itu kabinet Ali II) mengakibatkan politik di Indonesia masa krisis. Hal itu terjadi bersamaan dengan bergulirnya Demokrasi Terpimpin Bung Karno. Dalam masa krisis ini, perjuangan parpol Islam beralih dari Politik Praktis ke Politik Ideologi.

Yang dimaksud Demokrasi Terpimpin menurut pemerintah (Bung Karno) adalah demokrasi murni yang berdasarkan suatu ideologi yang memimpin dengan menentukan tujuan serta cara mencapainya. Dari batasan tersebut dapat dipahami kata “Demokrasi" dan “Terpimpin”, dua kata yang bersifat komplementer.

Terpimpin berarti ada seorang pemimpin yang memimpin dalam rangka demokrasi. Dalam praktiknya, gala terpimpin lebih dominan dan dapat menggusur kata demokrasi itu gendiri. Pada saat itu, sempurnalah tiga wewenang negara (Eksekutif, Legislatif, Yudikatif) berada dalam satu genggaman kekuasaan Soekarno. 

Islam dan Demokrasi Terpimpin di Malaka

Timbulnya pemusatan kekuasaan pada satu tangan mencuatkan konsekuensi yang variatif bagi parpol Islam“) sehingga terjadi kristalisasi NU dan PSII, sedangkan Perti diizinkan tetap eksis, karena pro-Demokrasi Terpimpin yang dijadikan wakil kelompok agama Nasakom (Nasional, Agama, dan Komunis) yang merupakan Jargon Politik Bung Kamo dalam angka menciptakan Persatuan Bangsa. ' 

Karena tarikan Bung Kamo sangat tegas dalam memadai batas antara musuh revolusi, Masyumi yang selalu vokal dalam melancarkan kritik tajam tidak dihiraukan. Bahkan, para pemimpin Masyumi khususnya, yang sejak awal diskursus ideologis di Indonesia dipandang sebagai pendukungpendukung sejati gagasan negara Islam, dipenjarakan karena oposisi mereka terhadap pemerintah yang tak berkesudahan. 

Akhirnya, dengan alasan bahwa beberapa pemimpin utamanya, (seperti Mohammad Natsir dan Syafruddin Prawiranegara) ikut terlibat dalam pembrontakan PRRI, Soekarno membubarkan Masyumi pada tahun 1960.

Dalam pandangan Bahtiar Effendi, kelompok islam secara simbolik berhasil dikalahkan. Di balik kekalahan simbolik tersebut, selama masa Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno, artikulasi legalistik/fonnalistik gagasan dan praktik politik islam, terutama gagasan islam sebagai dasar ideologi negara memberi pengaruh negatif terhadap kekuasaan.

Lalu, bagaimana dengan keberadaan NU saat itu? Tampaknya, motivasi keterlibatan NU di dalam Demokrasi Terpimpin harus dipandang secara internal, bahwa semua keputusan NU 'didasarkan atas pertimbangan agama yang kemudian ia mengambil kaidah Ma la Yudraku Kulluhu La Yudraku Ba' Dhuhu. 

Misalnya NU menerima Manipol Usdeknya Soekarno. Akibat penerimaan ini, NU seringkali dipandang sebagai partai yang oportunistik. Meskipun demikian, para pemimpinnya membela diri dengan menyatakan bahwa keterlibatan mereka dalam rezim Demokrasi Terpimpin adalah untuk mengimbangi posisi PKI yang semakin dominan. 

Pada sisi lain, Masyumi menilai bahwa proaktif dalam Demokrasi Terpimpin Soekarno merupakan suatu penyimpangan terhadap ajaran islam. Adapun Liga Muslimin (NU, PSII, dan Perti) menganggapnya sebagai sikap realistis dan pragmatis, bahkan keikutsertaan NU hanya strategi, bukan berarti idealismenya bergeser. 

Dalam Demokrasi Terpimpin dilakukan pemangkasan parpol, melalui berbagai Keppres Parpol “dikebiri” sebagai konsekuensinya obsesinya yang merupakan ide pokoknya, yaitu melakukan emaskulasi partai-partai politik. Hal ini karena menurutnya parpol-parpol inilah yang menciptakan pemerintahan yang tidak efektif.

Dalam kenyataannya, Masyumi belum pernah sekalipun bersedia duduk bareng PK! dalam satu kabinet. sampai Masyumi dibubarkan. Kemudian, NU menjadi parpol Islam terbesar, namun di antara parpolparpol yang ada, hanya PKI yang mampu bersaing dalam kompetisi kekuatan politik nasional, bersama militer, dan Bung Karno. 

Sikap akomodatif NU atau dalam bahasa Deliar Noer “Politik Penyesuaian Diri“ dalam bidang politik praktis berbanding terbalik bila bersinggungan dengan keyakinan agama terlihat dengan tampilnya NU sebagai penentang utama PKI dengan menandinginya dalam semua aspek kehidupan. 

Kolaborasi NU-Soekarno terus berlangsung sampai runtuhnya rezim Demokrasi Terpimpin. Rezim baru tersebut segera mengasingkan beberapa kekuatan penting di masyarakat. Soekarno mengasingkan elit intelektual dan elit politik dengan menekan ekspresi kultural. 

Lebih jauh, ia mengatakan negeri ini pada kehancuran ekonomi sebagai akibat dari pengeluaran yang sangat besar dan akumulasi utang asing yang membengkak. Rezim baru ini juga memberikan kesempatan besar pada komunis untuk mengonsolidasikan posisi politik mereka.

Kehancuran Demokrasi Terpimpin terjadi setelah kudeta yang gagal melalui Gerakan 30-S/PKI tahun 1965, berpegang pada selembar Surat Perintah tanggal 11 Maret 1966 (SUPERSEMAR). Jenderal Soeharto pemegang mandat mengambil langkah-langkah untuk menyelamatkan negara terhitung sejak tanggal tersebut hingga dibangunnya orde politik baru yang oleh pendukungnya disebut Orde Baru yang sanggup menggusur Orde Lama. 

Soeharto meraih kekuasaan berdasarkan sebuah koalisi para perwira militer Indonesia, organisasi komunitas muslim dan minoritas Katholik-Protestan, dengan dukungan profesional dan birokrat kelas menengah dan kalangan inteligensia berpendidikan barat. 

Rezim Soeharto mengambil pola kebijakan, sekuler dengan penekanan terhadap Pancasila sebagai prinsip-prinsip dasar negara dan masyarakat. Dengan demikian, tamatlah riwayat Derokrasi Terpimpin. Selanjutnya, diganti dengan era Reformasi sampai sekarang (2007).

Baca juga di bawah ini

Malaka

Islam berkembang di Malaka, sebuah kerajaan yang didirikan oleh Parameswara. Kemudian, ia mengganti namanya menjadi Muhammad Iskandar Syah setelah menikah dengan saudara perempuan raja Pasai. Muhammad Iskandar Syah diganti oleh Muhammad Syah (1424-1444 M.); Muhammad Syah diganti oleh Abu Sa'id (1444-1445 M.); dan Abu Sa'id diganti oleh Sultan Muzhaffar Syah (1445-1459 M).

Pada zaman Muzhaffar Syah, Islam disebarkan secara langsung oleh raja (sultan) sehingga mengalami perkembangan pesat dan mampu menguasai perdagangan. Ibukota kerajaan adalah Johor. Pada tahun 1511 M., Portugis menguasai Malaka, sehingga mengurangi peran Malaka sebagai pusat penyebaran Islam. Ibukota Malaka dari Johor dipindahkan ke Kepulauan Riau untuk mengakomodasikan kepentingan bangsa Aceh. Aceh kemudian menggantikan peran Malaka sebagai pusat penyebaran Islam dan mempunyai pemerintahan yang kuat.