Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib
Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib
Ali adalah putra Abi Thalib ibn Abdul Mutltallth. Ia adalah sepupu Nabi Muhammad SAW. yang kemudian menjadi menantunya karena menikahi putri Nabi Muhammad SAW., Fatimah. Ia telah ikut bersama Rasulullah SAW. sejak bahaya kelaparan mengancam kota Mekah dan tinggal di rumahnya, Ia masuk Islam ketika usianya sangat muda dan termasuk orang yang pertama masuk islam, dari golongan pria. Pada saat Nabi menerima wahyu pertama. Ali berumur l3 tahun, menurut A M Saban, sedangkan menurut Mahmudunnasir, Ali berumur 9 tahun.
Mahmudunnasir selanjutnya menulis bahwa Ali termasuk salah seorang yang baik dalam memainkan pedang dan pena, bahkan ia dikenal sebagai seorang orator. Ia juga seorang yang pandai dan bijaksana, sehingga menjadi penasihat pada zaman khalifah Abu Bakar. Umar, dan Utsman“). Ia mengikuti hampir semua peperangan pada zaman Nabi Muhammad SAW. Ia tidak sempat membai'at Abu Bakar. karena sibuk mengurus jenazah Rasulullah SAW. Dan keturunan Nah: Muhammad SAW. berkelanjutan dari beliau.
Menurut Ali Mufrodi. setelah wafatnya Utsman bin Affan, banyak sahabat yang sedang mengunjungi wilayah-wilayah yang baru ditaklukkan yang di antaranya Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam.
Peristiwa terbunuhnya Utsman bin Affan menyebabkan perpecahan di kalangan umat Islam menjadi empat golongan, yakni :
1) pengikut Utsman, yaitu yang menuntut balas atas kematian Utsman dan mengajukan Muawiyah sebagai khalifah;
2) pengikut Ali, yang mengajukan Ali sebagai khalifah;
3) kaum moderat, tidak mengajukan calon, menyerahkan urusannya kepada Allah;
4) golpngan yang berpegang pada prinsip jamaah, di antaranya Salad bin Abi Waqqash, Abu Ayyub Al-Anshari, Usamah bin Zaid, dan Muhammad bin Maslamah yang diikuti oleh 10.000 orang sahabat dan tabi’in yang memandang bahwa Utsman dan Ali sama-sama sebagai pemimpin.
Ali adalah calon terkuat untuk menjadi khalifah, karena banyak didukung oleh para sahabat senior, bahkan para pemberontak kepada khalifah Utsman mendukungnya termasuk Abdullah bin Saba, dan tidak ada seorang pun yang bersedia dicalonkan.
Sa’ad bin Abi Waqqash dan Abdulah bin Umar tidak mendukungnya, walaupun kemudian Sa'ad ikut kembali Ali. Yang pertama kali membai'at Ali adalah Thalhah bin Ubaidilah diikuti oleh Zubair bin Awwam dan Sa'ad bin Abi Waqqash, kemudian diikuti oleh banyak orang dari kalangan Anshar dan Muhajirin. Asal mulanya, Ali menolak pencalonan dirinya, namun kemudian menerimanya demi kepentingan Islam pada tanggal 23 Juni 656 M. Alasan penolakan Ali karena ia selalu berpandangan bahwa, “Ada orang yang lebih baik daripadanya.
Yang pertama dilakukan Khalifah Ali adalah menarik kembali semua tanah yang telah dibagikan Khalifah Utsman kepada kaum kerabatnya kepada kepemilikan negara dan mengganti semua gubernur yang tidak disenangi rakyat, di antaranya lbnu Amir penguasa Bashrah diganti Utsman bin Hanif, Gubernur Mesir yang dijabat oleh Abdullah diganti oleh Qays, Gubernur Suriah, Muawiyah juga diminta untuk meletakkan jabatan, tetapi menolak, bahkan ia tidak mengakui kekhalifahan Ali.
Pemerintahan Khalifah Ali dapat dikatakan sebagai pemerintahan yang tidak stabil karena adanya pemberontakan dari sekelompok kaum muslimin sendiri. Pemberontakan pertama datang dari Thalhah dan Zubair diikuti oleh Siti Aisyah yang kemudian terjadi Perang Jamal.
Dikatakan demikian, karena Siti Aisyah pada waktu itu menggunakan unta dalam perang nielawan Ali. Pemberontakan yang kedua datang dari Muawiyah, yang menolak meletakkan jabatan, bahkan menempatkan dirinya setingkat dengan khalifah walaupun ia hanya sebagai gubernur Suriah, yang berakhir dengan Perang Shiffin.
Pemberontakan pertama diawali oleh penarikan bai'at oleh Thalhah dan Zubair, karena alasan bahwa Khalifah Ali tidak memenuhi tuntutan mereka untuk menghukum pembunuh Khalifah Utsman. Bahwa penolakan khalifah ini disampaikan kepada Siti Aisyah yang merupakan kerabatnya di perjalanan pulang dari Mekah, yang tidak tahu mengenai kematian Khalifah Utsman, sementara Thalhah dan Zubair dalam perjalanan menuju Bashrah.
Siti Aisyah bergabung dengan Thalhah dan Zubair untuk menentang Khalifah Ali, karena alasan penolakan Ali menghukum pembunuh Utsman,-50) bisa juga karena alasan pribadi, atau karena hasutan Abdullah bin Zubair. Muawiyah turut andil pula dalam pemberontakan ini, tetapi hanya terbatas pada usaha untuk menurunkan kredibilitas khalifah di mata umat Islam, dengan cara menuduh bahwa jangan-jangan khalifah berada di balik pembunuhan Khalifah Utsman.
Khalifah Ali telah berusaha untuk menghindari pertumpahan darah dengan mengajukan kompromi, tetapi beliau tidak berhasil sampai akhirnya terjadi pertempuran antara Khalifah Ali bersama pasukannya dengan Thalhah, Zubair, dan Aisyah bersama pasukamiya. Perang ini terjadi pada tahun 36 H. Thalhah dan Zubair terbunuh ketika hendak melarikan diri dan Aisyah dikembalikan ke Madinah. Dan puluhan ribu Islam gugur pada peperangan ini.
Setelah khalifah menyelesaikan pemberontakan Thalhah dan Zubair, pusat kekuasaan Islam dipindahkan ke Kufah, sehingga Madinah tidak lagi menjadi ibukota kedaulatan Islam dan tidak ada seorang khalifah pun setelahnya yang menjadikan Madinah sebagai pusat kekuasaan Islam.
Peperangan antara umat Islam terjadi lagi, yaitu antara khalifah Ali bersama pasukannya dengan Muawiyah sebagai gubernur Suriah bersama pasukannya. Perang ini terjadi karena Khalifah Ali ingin menyelesaikan pemberotakan Muawiyah yang menolak peletakan jabatan dan secara terbuka menentang khalifah dan tidak mengakuinya.
Peperangan ini terjadi di kota Shiffin pada tahun 37 yang hampir saja dimenangkan oleh Khalifah Ali. Namun, atas kecerdikan Muawiyah yang dimotori oleh panglima perangnya Amr bin Ash, Yang mengacungkan Al-Quran dengan tombaknya, yang mempunyai arti bahwa mereka mengajak berdamai dengan menggunakan Al-Quran.
Khalifah Ali mengetahui bahwa hal tersebut adalah tipu muslihat, namun karena didesak oleh pasukannya, khalifah menerima tawaran tersebut. Akhirnya, terjadi peristiwa tahkim yang secara politisi Khalifah Ali mengalami kekalahan, karena Abu Musa Al-Asy'ari sebagai wakil khalifah menurunkan Ali sebagai khalifah, sementara Amr bin Ash tidak menurunkan Muawiyah sebagai gubernur Suriah, bahkan menjadikan kedudukannya setingkat dengan khalifah.
Baca juga di bawah ini :