Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kekuatan Politik dan Agama pada Masa Pra-Penjajah di Indonesia

Kekuatan Politik dan Agama pada Masa Pra-Penjajah di Indonesia - Sebelum Islam datang, di Indonesia telah berkuasa kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha. Di antaranya, ada kerajaan Bahari terbesar yang menguasai dan mengendalikan pulau-pulau di Nusantara, yaitu kerajaan Sriwijaya di sekitar Palembang, Sumatra Selatan, dan Singasari, selanjutnya yaitu Majapahit.

Pada abad ke-7, Islam belum menyebar luas secara merata ke seluruh penjuru Nusantara, karena pengaruh agama Budha masih memegang “peranan di Kerajaan Sriwijaya, terutama dalam kehidupan sosial, politik., perekonomian, dan kebudayaan. Pada awal abad ke-13 M., kerajaan ini memasuki masa kemunduran. 

Dalam kondisi seperti ini, pedagangpedagang muslim memanfaatkan poliliknya dengan mendukung daerah-daerah yang muncul dan menyatakan diri sebagai kerajaan yang bercorak Islam. Mereka tidak hanya membangun perkampungan pedagang yang bersifat ekonomis, tetapi juga membentuk struktur pemerintahan yang dikehendaki. 

Kekuatan Politik dan Agama pada Masa Pra-Penjajah di Indonesia

Misalnya kerajaan Samudera Pasai abad ke-lS muncul karena dukungan komunitas muslim, juga tidak terlepas dari melemahnya kondisi politik kerajaan Sriwijaya yang kurang mampu mengendalikan dan menguasai daerahnya.

Sementara itu, di kerajaan Majapahit setelah Patih Gajah Mada meninggal dunia (1364 M.) dan Hayam Wuruk (1389 M.), situasi politik Majapahit goncang dan terjadi perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana. Bersamaan dengan melemahnya Majapahit, Islam di Jawa mendapatkan posisi yang menguntungkan sehingga di bawah bimbingan Spiritual Sunan Kudus, Demak akhirnya berhasil menggantikan Majapahit sebagai keraton pusat. 

Uraian di atas menunjukkan bahwa cikal-bakal kekuasaan Islam sudah dirintis sejak abad ke-7 M., tetapi semuanya tenggelam dalam hegemoni maritim Sriwijaya yang berpusat di Palembang dan kerajaan Hindu Jawa, seperti kerajaan Medang, Kediri, Singasari, dan Majapahit di Jawa Timur. Kemudian, Islam menempati struktur pemerintahan ketika komunitas muslim sudah kuat yang bersamaan dengan suranmya kondisi politik kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha. 

Islam sebagai agama yang memberikan corak kultur bangsa Indonesia dan sebagai kekuatan politik yang menguasai struktur pemerintahan sebelum datangnya Belanda dapat dilihat dari munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara ini. antara lain di Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.

a. Islam di Sumatra

Ada tiga keraiaan Islam terkenal di Sumatra yang telah memosisikan Islam sebagai agama dan sebagai kekuatan politik yang mewarnai corak sosial budayanya, yaitu Perlak, Pasai, dan Aceh.

Perlak merupakan kerajaan Islam pertama di Sumatra Utara yang berkuasa pada tahun 225-692 H./840-1292 M., dengan raja pertamanya Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Shah (225-249 H./840-864 M.). Hal ini sesuai dengan berita Marcopolo (Pengembara Itali yang tiba di Sumatra pada tahun 1292) yang menyatakan bahwa pada masa itu (abad ke-8 M.), Sumatra terbagi dalam delapan buah kerajaan yang semuanya menyembah berhala, kecuali sebuah saja, yaitu Perlak yang berpegang pada Islam. Hal ini karena ia selalu didatangi pedagang-pedagang Saracen (muslimin) yang menjadikan penduduk bandar ini memeluk undang-undang Muhammad (undang-undang Islam). 

Pada mulanya, Islam berkembang di Perlak dipengaruhi oleh aliran Syi'ah yang bertebaran dari Parsi ketika terjadi revolusi Syi'ah pada tahun 744-747 M., dengan pemimpinnya, Abdullah Ibnu Muawiyah. Kemudian, pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah (285-300 H./888-913 M.) mulai masuk paham Islam Ahlu Sunnah Wal Jamaah yang tidak disukai oleh syi'ah. 

Oleh karena itu, terjadilah konflik perang saudara antara dua golongan tersebut. Namun, akhirnya dicapai perdamaian dan pembagian kerajaan Perlak pada dua bagian, yaitu 1) PerlaK Pesisir, bagian golongan Syi'ah dengan Sultan dari golongan mereka, yaitu Sultan Alauddin Syed Maulana Shah (365-377 H./976-988 M.); 2) Perlak Pedalaman, bagi golongan Ahlu Sunnah Wal Jamaah dengan sultan mereka sendiri, yaitu Sultan Alaiddin Malik Ibrahim (365-402 H./986-1012 M.). Namun, akhirnya Perlak dapat disatukan kembali oleh sultan ini.

Sistem pemerintahan yang diterapkan oleh kerajaan Islam Perlak pada dasarnya mengikuti sistem pemerintahan yang dilaksanakan oleh Daulah Abbasiyah (750-1258 M.), yaitu kepala pemerintahan/kepala badan eksekutif dipegang oleh sultan dengan dibantu oleh beberapa wazir, yaitu Wazir As-Siyasah (bidang politik); Wazir Al-Harb (bidang keamanan/pertahanan); Wazir Al-Maktabah (bidang administrasi negara); Wazir AlIqtishad (bidang ekonomi/keuangan); dan Wazir Al-Hukkam (bidang kehakiman). Selain itu, sebagai penasihat pemerintah yang bertugas mendampingi sultan dan para wazirnya, dibentuk sebuah lembaga yang disebut Majelis Fatwa di bawah pimpinan seorang ulama yang berpangkat Mufti. 

Penjelasan ini menunjukkan bahwa Islam, baik sebagai kekuatan sosial agama maupun sebagai kekuatan sosial-politik, pertama-tama memperlihatkan dirinya di Nusantara ini adalah di negeri Perlak, Dari negeri inilah. pertama kali Islam memancar ke pelosok tanah air Indonesia. 

Kerajaan islam Perlak terus hidup merdeka sampai dipersatukannya dengan kerajaan Samudera Pasai pada zaman pemerintahan Sultan Muhammad Malik Ad-Dzahir Ibn Al-Malik Ash-Shaleh (688-1254 H./1289-1326 M.). Dengan demikian, kerajaan Islam Perlak pada abad ke-l3 sudah berada dalam kategori kerajaan lslam Samudera Pasai yang dirintis oleh Malik Ash-Shaleh/Meurah Silo (659-688 H./1261-1289 M.). 

Samudera Pasai merupakan kerajaan yang menjadikan dasar negaranya Islam Ahlu Sunnah Wal Jama'ah. Negeri ini makmur dan kaya, di dalamnya telah terdapat sistem pemerintahan yang teratur, seperti terdapatnya angkatan tentara laut dan darat. 

Raja pertamanya adalah Meurah Malik Ash-Shaleh. Sepeninggalnya, kerajaan dipimpin oleh putra sulungnya, yaitu Sultan Malik Adh-Dhahir (Tahir). Pada masa Adh-Dhahir, negeri ini telah dikunjungi Ibnu Batutah, yang menyebutkan bahwa Islam sudah hampir seabad lamanya disiarkan di Samudera Pasai. 

Diperintah oleh raja yang saleh, rendah hati,'tingginya semangat keagamaan rakyat dan rajanya, mengikuti madzhab Syafi'i. Negeri ini merupakan pusat studi agama islam dan tempat berkumpulnya ulama-ulama dari berbagai negeri Islam untuk berdiskusi berbagai masalah keagamaan dan keduniawian.

Disebutkan pula bahwa Istana Raja Samudra disusun dan diatur secara India. di antara pembesarnya ada pula orang Persia, patihnya bergelar amir. 

Kerajaan Samudera Pasai berlangsung sampai tahun 1524 M., pada tahun 1521, kerajaan ini ditaklukkan oleh Portugis yang menduduki selama tiga tahun. Kemudian, pada tahun 1524 M., dianeksasi oleh raja Aceh, Ali Mughayatsyah. Selanjutnya, kerajaan Samudera Pasai berada di bawah pengaruh kesultanan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam. 

Sultan Ali Mughayatsyah (1514-1530) telah banyak berjasa dalam berbagai aspek keislaman. Dalam bidang politik, sultan berupaya menghadang penjajah Portugis Kristiani dengan memprakarsai negara Islam bersatu, yaitu menyatukan tenaga politik Islam di dalam sebuah negara yang kuat dan berdaulat yang diberi nama “Aceh Besar” (1514). 

Dalam bidang pemerintahan, baginda raja telah meletakkan Islam sebagai asas kenegaraan, bahkan beliau melarang orang-orang bukan Islam untuk memangku jabatan kenegaraan atau meneruskan jabatannya. Dalam bidang dakwah, dibangun pusat Islam yang megah, dihimpun para ulama dari juru dakwah, serta

menyuruh jihad memerangi penyembah berhala dan syirik. Pada masa Sultan Alauddin Ri'ayat Syah (abad ke-l6), Aceh dikenal sebagai mem Islam yang perkasa dan menjadi pusat penyebaran Islam yang besar di Nusantara. Dalam bidang hukum, syariat Islam ditegakkan, bahkan raja telah menghukum mati anaknya karena kezaliman dan jinayat (pidana). Dari Pasai dan Aceh, Islam memancar ke seluruh pelosok Nusantara yang terjangkau oleh para juru dakwahnya. 

b. Islam di Jawa 

Ahli-ahli sejarah tampaknya, sependapat bahwa penyebar Islam di Jawa adalah para Wali Songo. Mereka tidak hanya berkuasa dalam lapangan keagamaan, tetapi juga dalam hal pemerintahan dan politik. Bahkan. seringkali seorang raja seakan-akan baru sah sebagai raja kalau ia sudah diakui dan diberkahi oleh Wali Songo.

Islam telah tersebar di pulau Jawa, paling tidak sejak Malik Ibrahim dan Maulana Ishak yang bergetar Syaikh Awal Al-lslam diutus sebagai juru dakwah oleh Raja Samudera. Sultan Zainal Abidin Bahiyah Syah (IMB-1406) ke Gresik. Dalam percaturan politik, Islam mulai memosisikan dtri ketika melemahnya kekuasaan Majapahit yang memberi peluang kepada penguasa Islam di pesisir untuk membangun pusat-pusat kekuasaan yang independen. 

Di bawah pimpinan Sunan Ampel, Wali Songo bersepakat untuk mengangkat Raden Patah sebagai raja pertama kerajaan Islam Demak, kerajaan lslam pertama di Jawa. Dalam menjalankan pemerintahannya, Raden Patah dibantu oleh para ulama dan Wali Songo, terutama dalam masalah-masalah keagamaan. 

Kerajaan ini berlangsung kira-kira abad ke-15 dan abad ke-l6. Di samping itu, berdiri pula kerajaan Islam Demak. Mataram. Cirebon, dan Banten. Dalam mendirikan negara Islam tersebut, peranan Wali Songo sangat besar. Misalnya Sunan Gunung Djati mendirikan kerajaan Islam Cirebon dan Banten, Sunan Giri di Kerajaan Mataram yang pengaruhnya sampai ke Makasar. Ambon, dan Ternate. 

Di samping kekuatan politik Islam yang memberi konstribusi besar terhadap perkembangannya, Islam juga hidup di masyarakat dapat memberi dorongan kepada penguasa non-muslim untuk memeluknya. J .C. Van Leur menyebutkan bahwa motivasi bupati pantai utara Jawa memeluk Islam bertujuan untuk mempertahankan kedudukannya. Dengan kata lain, para bupati telah menjadikan agama Islam sebagai instrumen politik untuk memperkuat kedudukannya.

Keterangan ini memberikan gambaran kepada kita bahwa agama Islam di Jawa pada masa kerajaan Islam telah menjadi agama rakyat. Para penguasa/bupati pesisir memeluknya karena tanpa ada konversi agama. tampaknya kedudukan mereka tidak dapat dipertahankan. 

c. Islam di Kalimantan, Maluku, dan Sulawesi 

Pada awal abad ke:-16, Islam masuk ke Kalimantan Selatan, yaitu di kerajaan Daha (Banjar) yang beragama Hindu. Berkat bantuan Sultan Demak, Trenggono (1521-1546), Raja Daha dan rakyatnya masuk Islam sehingga berdirilah kerajaan Islam Banjar, dengan raja pertamanya pangeran Samudera yang diberi gelar pangeran Suryanullah atau Suriansah. 

Setelah raja pertama naik tahta, daerah-daerah sekitarnya mengakui kekuasaannya. yakni daerah Sambas, Batangla, Sukaciana, dan Sambungan. Selanjutnya, di Kalimantan Timur (Kutai) pada tahun 1575, yaitu Tunggang Parangan mengislamkan raja Mahkota. 

Sejak baginda raja masuk Islam, terjadilah proses Islamisasi di Kutai dan sekitarnya. Penebaran lebih jauh ke daerah-daerah pedalaman dilakukan terutama oleh putranya, dan pengganti-penggantinya meneruskan perang ke daerah-daerah.

Pada abad ke-10 dan ke-11, di Maluku sudah ramai perniagaan rempah-rempah, terutama cengkeh dan pala yang dilakukan oleh para pedagang Arab dan Persia. Tentunya, pada saat itu telah terjadi sentuhan pedagang muslim dengan rakyat Maluku yang membentuk komunitas Islam. 

Dengan derasnya gelombang pedagang muslim dan atas ajakan Datuk Maulana Husain, di Ternate, Raja Gali Bata menerima Islam dan namanya berganti menjadi Sultan Zaenal Abidin (1465-1486). Di Tidore, datang seorang pendakwah dari tanah Arab yang bernama Syekh Mansur dan atas ajakannya, Raja Tidore yang bernama Kolana masuk Islam dan berganti nama menjadi Sultan Jamaluddin. 

Di Ambon, Islam datang dari Jawa Timur (Gresik) yang berpusat di kota pelabuhan Hitu pada tahun 1500 M. Di saat Islamisasi berlangsung, Portugis melancarkan Kristenisasi di Ternate pada tahun 1522 M. Namun, usahanya tidak banyak berhasil. Pada masa Sultan Baabullah (1570-1583), benteng pertahanan Portugis di Ambon ditaklukkan. 

Di Sulawesi, Raja Gowa-Tallo, I Mangarangi Daeng Maurobia, atas ajakan Datuk Rianang masuk Islam pada tahun 1605 dengan gelar Sultan Alauddin di Talo Raja ] Malingkoan Daeng Nyonri Kareng Katangka pada

tahun yang sama masuk Islam dengan gelar Sultan Abdullah Awal Islam. Setelah itu, Islam tersebar ke Luwu, Waio (1610); Soppengdan Bone (1611).

Berkenaan dengan proses pembentukan negara atau kerajaan Islam tersebut di atas. menurut Taufik Abdullah. setidak-tidaknya ada tiga pm; pembentukkan budaya yang tampak dari proses tersebut. yaitu: 

1. Pola Samudera Pasai; lahirnya Samudera Pasai berlangsung "Elam; perubahan dari negara yang segmenter ke negara yang terpu at, Kerajaan ini bukan hanya berhadapan dengan golongan golongan yang belum ditundukkan dan diislamkan dari wilayah pedalaman, tetapi juga harus menyelesaikan pertentangan politik serta penentangan keluarga yang berkepanjangan. 

Dalam proses perkembangannya menjadi negara terpusat Samudera Pasai juga menjadi pusat pengajaran agama. Reputasinya sebagai pusat agama terus berlanjut walaupun kemudian kedudukan ekonomi dan politiknya menyusut. Dengan pola ini, Samudera Pasai memiliki “kebebasan budaya” unnik memformulasikan Struktur dan sistem kekuasaan yang mencerminkan tentang dirinya. 

2. Pola Sulawesi Selatan: pola Islamisasi melalui keraton atau pusat kekuasaan. Proses Islamisasi berlangsung dalam suatu struktur negara yang telah memiliki basis legitimasi genealogis. Konversi agama menunjukkan kemampuan raja. Penguasa terhindar dari penghinaan rakyatnya dalam masalah kenegaraan. 

Pola ini digunakan di Sulawesi Selatan, Maluku, dan Banjarmasin. Islamisasi di daerah ini tidak memberi landasan bagi pembentukan negara. Islam tidak mengubah desa menjadi suatu bentuk baru dari organisasi kekuasaan. Konversi agama dijalankan, tetapi pusat kekuasaan telah ada lebih dahulu. 

3. Pola Jawa; di Jawa, Islam mendapatkan suatu sistem politik dan struktur kekuasaan yang telah lama mapan. Ketika kekuasaan raja melemah, para saudagar kaya di berbagai kadipaten di wilayah pesisir mendapat peluang besar untuk menjauhkan diri dari kekuasaan raja. Mereka tidak hanya masuk Islam, tetapi juga memaqu pusat-pusat politik yang independen. 

Setelah keraton besar goyah. keraton-keraton kecil bersaing menggantikan kedudukannya. Ketika abad ke-14 komuaims muslim sudah besar, bersamaan dengan melemahnya Majapahit, Demak tampil menggantikan kedudukannya. Dengan posisi baru ini. Demak tidak saja menjadi pemegang hegemoni politik, tetapi juga menjadi “jembatan penyeberangan” Islam yang paling penting di Jawa.

Baca juga di bawah ini

Tidak seperti Pola Samudera Pasai, Islam mendorong pembentukan negara yang supradesa, juga tidak seperti Gowa-Talo, keraton yang diislamkan, di Jawa, Islam tampil sebagai penantang, untuk kemudian mengambil alih kekuasaan yang ada. Jadi, yang tampil adalah suatu dilema kultural dari orang baru di dalam bangunan politik yang lama.