Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kerajaan Mamluk Mesir atau Bahri 648 - 792 H/1250 - 1389 M

Kerajaan Mamluk Mesir atau Bahri 648 - 792 H/1250 - 1389 M 

Kata Mamluk berarti budak atau hamba yang dibeli dan dididik dengan sengaja agar menjadi tentara dan pegawai pemerintah. Seorang Mamluk berasal dari ibu-bapak yang merdeka (bukan budak atau hamba). Ini berbeda dengan “abd yang berarti hamba sahaya yang dilahirkan oleh ibu-bapak yang juga berstatus sebagai hamba dan kemudian dijual. 

Perbedaan lain adalah Mamluk berkulit putih, sedangkan “abd berkulit hitam. Sebagian Mamluk berasal dari Mesir, dari golongan hamba yang dimiliki oleh para sultan dan amir pada masa Kesultanan Bani Ayub. Pada Mamluk Dinasti Ayubi'yah berasal dari Asia Kecil, Persia (Iran), Turkistan, dan Asia Tengah (Transoksiana). 

Mereka terdiri atas suku-suku bangsa Turki, Syracuse, Sum, Rusia, Kurdi, dan bagian kecil dari bangsa Eropa. Mamluk sultan yang berkuasa merupakan gabungan para Mamluk sultan-sultan sebelumnya, yakni Mamluk yang dibeli dengan harta sendiri atau dari uang baitulmal dari Mamluk para amir yang disingkirkan atau meninggal dunia”. 

Kerajaan Mamluk Mesir atau Bahri 648 - 792 H/1250 - 1389 M

Dinasti_Mamluk didirikan oleh para budak. Mereka pada mulanya adalah orang-orang yang ditawan oleh penguasa Dinasti Ayyubiyah sebagai budak, kemudian dididik dan dijadikan tentaranya. Mereka ditempatkan pada kelompok tersendiri yang terpisah dari masyarakat. 

Oleh penguasa Ayyubiyah yang terakhir, Al Malik Al-Saleh, mereka dijadikan pengawal untuk menjamin kelangsungan kekuasaannya. Pada masa penguasa; mereka mendapat hak-hak istimewa, baik dalam ketentaraan maupun dalam imbalan-imbalan materiil. 

Di Mesir, mereka ditempatkan dt pulau Raudhah di Sungai Nil untuk menjalani latihan militer dan keagamaan. Karena itulah, mereka dikenal dengan julukan Mamluk Bahri (laut). Saingan mereka dalam ketentaraan pada masa itu adalah tentara yang berasal dari suku Kurdi. 

Kerajaan Mamluk dibagi menjadi dua periode berdasarkan daerah asalnya. Golongan pertama dinamakan Mamluk Bahri/Bahriyah (648-792 H./1250-1389 M.), yakni yang berasal dari kawasan Kipchak (Rusia Selatan), Mongol, dan Kurdi. Golongan kedua dinamakan Mamluk Burji/ Barjiyah (792-923 H./1389-15l7 M.), yakni Mamluk yang berasal dari etnik Syracuse di wilayah Kaukasus. Golongan kedua inilah yang berhasil bertahan untuk berkuasa pada Dinasti Mamluk. 

Nama Mamluk Bahriyah dinisbatkan pada sebuah tempat yang disediakan oleh Sultan Malik Al-Saleh Najmudin Ayyub kepada para Mamluk. Tempat ini berada di pulau Raudhah di tepi Sungai Nil yang dilengkapi dengan senjata, pusat pendidikan dan latihan materi-materi sipil dan militer.

Sejak itu, para Mamluk dikenal dengan Al-Mamalik Al-Bahriyyah (para budak lautan). Sementara penamaan Burji/Barjiyah disandarkan kepada para budak yang ditempatkan di benteng yang mempunyai menara (buruj). Oleh karena itu, para Mamluk dinamakan “Al-Mamalik Al-Burujiyah (para budak benteng). 

Salah satu hal yang unik dari sejarah pemerintahan Dinasti Mamluk di Mesir adalah adanya ambisi untuk menjadi sultan dari seorang Mamluk wanita yang bernama Syajar Ad-Durr. Dia adalah isteri Sultan Bani Ayub, Al-Saleh Najmuddin Ayyub. 

Syajar Ad-Durr mengambil alih kekuasaan setelah suaminya meninggal dunia dalam suatu pertempuran melawan pasukan Louis IX di Dimyati, Mesir. Putra mahkota, Turansyah, ketika itu sedang berada Syam. Untuk menjaga agar semangat pasukan Islam tetap teguh, sang isteri menyembunyikan berita kematian suaminya. 

Setelah Turansyah tiba di Mesir untuk berkuasa, ia dibunuh oleh pengikut Syajar Ad-Durr. Atas dukungan pemuka-pemuka Mamluk, Syajar dapat berkuasa' penuh sebagai sultan selama 80 hari. Kekuasaannya berakhir dengan adanya teguran dari Khalifah Abbasiyah di Baghdad bahwa yang memerintah di Mesir seharusnya adalah seorang pria dan bukan wanita. 

Syajar tidak sanggup menolak perintah khalifah tersebut, dan akhirnya ia memutuskan untuk menikah dengan sultan pengganti dirinya agar dapat memerintah di balik layar. Suami Syajar yang baru adalah Sultan Izzudin Aybak, salah seorang Mamluk almarhum suaminya yang resmi menjadi sultan pertama Dinasti Mamluk Bahri”. 

Sultan-sultan Mamluk Bahri yang terkenal adalah Quruz, Baybars, Qalawun, dan Nasir Muhammad bin Qalawun adalah Sultan Qutuz (Qathaz) (657 H./ 1258 M.) denganbantuan panglima perangnya, Baybars berhasil mematahkan serbuan bangsa Mongol ke Palestina dalam peperangan Ain Jalur pada tanggal 3 September 1260 6). Kemenangan ini merupakan “balasan" terhadap bangsa Mongol yang sebelumnya menghancurkan Baghdad sebagai pusat khilafah Islam tahun 1258 H. 

Perang ini merupakan peristiwa besar dalam sejarah Islam dan merupakan kemenangan pertama yang berhasil dicapai oleh kaum muslimin terhadap orang-orang Mongolia. Mereka berhasil menghancurkan mitos yang mengatakan bahwa tentara Mongol tidak pernah terkalahkan”. 

Setelah kemenangan ini, nilai tambah terhadap Dinasti Mamluk adalah bersatunya kembali Mesir dan Syam di bawah naungan Sultan Mamluk setelah mengalami perpecahan pada masa sultan-sultan keturunan Salahuddin Al-Ayyubi. 

Pusat kekhalifahan Islam akhirnya berada di Kairo setelah Baghdad hancur total oleh tentara Mongol. Setelah Qutuz digulingkan oleh Baybars, Kerajaan Mamluk bertambah kuat. Bahkan. Baybars mampu berkuasa selama tujuh belas tahun (657 H./1260 M.676 H./l277 M.) karena mendapat dukungan militer dan tidak ada Mamluk yang senior lagi, selain Baybars”). 

Kejayaan yang diraih pada masa Baybars adalah memporakporandakan tentara Salib di sepanjang Laut Tengah, Assasin di Pegunungan Siria, Cyrenia (tempat berkuasanya orartg-nrang Armenia dan kapal-kapal Mongol di Anatolia. Terlebih lagi prestasi Baybars adalah menghidupkan kembali kekhalifahan Abbasiyah di Mesir setelah Baghdad dihancurkan oleh pasukan Mongol di bawah Hulagu Khan pada tahun 1258. 

Pemerintahan Mamluk selanjutnya dipimpin oleh Bani Bibarisiah. Diawali oleh Azh-Zhahir Bibaris mengundang Ahmad, anak Khalifah Bani Abbasiyah Al-Zhahir ke Kairo. Sebelumnya, Ahmad melarikan diri dari Baghdad setelah dihancurleburkan oleh orang-orang Mongolia; kemudian dia dibaiat sebagai khalifah dan diberi gelar Al-Mustanshir pada tahun 659 H./1260 M.

Tujuan dilakukannya hal itu oleh Babiris adalah untuk menguatkan pusat kekuasaan di Kairo dan menarik dukungan negeri-negeri Islam yang lain serta melindungi kursi kekuasaan Mamluk dengan legalitas syariah. Setelah itu, Bani Abbasiyah secara berturut-turut berkuasa dengan jumlah khalifah sebanyak 18 orang antara tahun 659-923 H./1260-1517 M. 

Tidak begitu banyak yang berarti Kerajaan Mamluk di bawah pimpinan Bani Babiris adalah Sultan Al-Mansur Qalawun (678 H./ 1280 M.-689 H./1290 M.) yang telah menyumbangkan jasanya dalam pengembangan administrasi pemerintah, perluasan hubungan luar negeri untuk mempen kuat posisi Mesir dan Syam di jalur perdagangan internasional. 

Sultan Qalawun berhasil mewariskan tahtanya kepada keturunannya. Hal ini terjadi berkat keberadaan 12.000 Mamluk Burji yang memang dipersiapkan untuk melindungi kepentingan pribadinya.

Sultan Mamluk yang memiliki kejayaan dan prestasi lainnya dari garis Bani Qalawun adalah putra pengganti Qalawun, yakni Nashir Muhammad (696 H./ 1296 M.). Sultan memegang tampuk pemerintahan selama tiga kali dan mengalami dua kali turun tahta. 

Pertama, digulingkan ketika ia masih berusia 9 tahun oleh panglimanya sendiri, yakni Katbuga Al-Mashur yang sultannya dipegang oleh Sultan Lajin. Lajin tidak memperoleh dukungan baik dari Mamluk ataupun masyarakat umum sehingga Nashir diangkat kembali menjadi Sultan Mamluk untuk kedua kalinya (709 H./1309 M. 

Kedua, Sultan Nashir kembali turun tahta ketika ambisi politik Bani Baybars berhasil mengambil alih dan menjadi sultan. Akan tetapi, atas dukungan para Mamluk di Syam dan masyarakat umum lainnya, Sultan Nashir diangkat kembali hingga akhir hayatnya setelah berkuasa selama 31 tahun (742 M./1341 M. 

Masa setelah Bani Qalawun, tampuk pemerintahan Mamluk dipimpin oleh Mamluk keturunan Muhammad hingga 9 sultan. Kesembilan sultan ini hanyalah simbol nama dan tidak berpengaruh terhadap masyarakat umum lainnya. Dalam analisis Ahmad Al-Usairym, “mereka tidak memiliki daya dan upaya, pandangan maupun kebijakan apapun”, sampai sultan terakhir dari Dinasti Mamluk yang berasal dari Bani Sya'baniyah, AlShalih Hajj Asyraf bin Sya'ban sekitar tahun 791 H./1388 M. digulingkan oleh Sultan Barquq yang menjadi cikal bakal sultan pertama pada pemerintahan Mamluk Burji. 

Namun demikian, di antara peristiwa penting pada masa ini (terutama pasca-Qalawun), sebagaimana tulisan Ahmad Al-Usairy adalah sebagai berikut :

a. pada tahun 667 H. /1268 M, AlZahir Babiris mampu meluaskan pengaruhnya di Hijaz; 
b. antara tahun 660-690 H. /1261-1291 M. orang-orang Mamluk menggempur kaum Salibis dan berhasil mengambil kembali beberapa kota di Syam yang masih berada di tangan pihak luar; 
c. pada tahun 680 H./1281 M., Manshur Qalawun berhasil menghancurkan pasukan Tartar dengan sangat telak; 
d. pada tahun 702 H./1312 M., An-Nashir Muhammad bin Qalawun berhasil menaklukkan kepulauan Arwad dan mengusir orang-orang Salibis dari sana; 
e. pada tahun yang sama pasukan Tartar juga dikalahkan dengan sangat telak pada perang Syaqhat di dekat Damaskus (ikut daiam perang Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)”. 

Secara turun-temurun, para Sultan Mamluk Bahri seperti terlihat pada tabel 14.1 burikut ini :




Berakhimya Mamluk Bahri disebabkan oleh Sultan Shalih Hajj bin Sya'ban (1381-1309) yang masih kecil dan hanya memerintah selama dua tahun. Setelah itu, diganti oleh sultan lain sampai akhirnya Sultan Barquq menguasai dan mengakhiri Dinasti Mamluk Bahri.

Baca juga di bawah ini :