Pengangkatan Umar ibn Al-Khaththab Sebagai Khalifah
Pengangkatan Umar ibn Al-Khaththab Sebagai Khalifah - Abu Bakar sebelum meninggal pada tahun 634 M./ 13 H. menunjuk Umar ibn Al-Khaththab sebagai penggantinya. Kendatipun hal ini merupakan perbuatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, tampaknya penunjukan ini bagi Abu Bakar merupakan hal yang wajar untuk dilakukan.
Ada beberapa faktor yang mendorong Abu Bakar untuk menunjuk Umar menjadi khalifah. Pertama, kekhawatiran peristiwa yang sangat menegangkan di Tsaqifah Bani Sa'idah yang nyaris menyeret umat Islam ke jurang perpecahan akan terulang kembali, bila ia tidak menunjuk seorang yang akan menggantikannya.
Kedua, kaum Anshar dan Muhajirin saling mengklaim sebagai golongan yang berhak menjadi khalifah. Ketiga, umat Islam pada saat itu baru saja selesai menumpas kaum murtad dan pembangkang. Sementara sebagian pasukan mujahidin sedang bertempur di luar kota Madinah melawan tentara Persia di satu pihak dan tentara Romawi di pihak lain.
Berangkat dari kondisi politik yang demikian, tampaknya tidak menguntungkan apabila pemilihan khalifah diserahkan sepenuhnya kepada umat secara langsung. Jika alternatif ini dipilih, besar kemungkinan akan timbul kontroversi berkepanjangan di kalangan umat Islam tentang siapa yang lebih proporsional menggantikan Abu Bakar.
Kondisi demikian jelas akan melahirkan instabilitas politik yang akan membahayakan umat dan negara, mengingat bukan hal mustahil akan terjadi perang saudara dan kevakuman pimpinan. Hal ini akibatnya lebih fatal daripada pemberontakan orang-orang murtad.
Penunjukan Abu Bakar terhadap Umar yang dilakukan di saat ia mendadak jatuh sakit pada masa jabatannya merupakan suatu yang baru, tetapi harus dicatat bahwa penunjukan itu dilakukan dalam bentuk rekomendasi atau saran yang diserahkan pada persetujuan umat.
Abu Bakar dalam menunjuk Umar sebagai pengganti tetap mengadakan musyawarah atau konsultasi terbatas dengan beberapa orang sahabat senior, antara lain Abdul Rahman bin Auf, Utsman bin Affan, dan Asid bin Hadhir, seorang tokoh Anshar. Konsultasi ini menghasilkan persetujuan atas pilihannya pada Umar secara objektif. Setelah itu, hasil konsultasi dengan beberapa orang sahabat senior itu masih ditawarkan kepada kaum ' muslimin yang sedang berkumpul di Masjid Nabawi.
Apakah rela menerima orang yang dicalonkan sebagai penggantinya? Dalam pertemuan tersebut, kaum muslimin menerima dan menyetujui orang yang telah dicalonkan Abu Bakar. Setelah Abu Bakar mendapat persetujuan kaum muslimin atas pilihannya, ia memanggil Utsman bin Affan untuk menuliskan teks pengangkatan Umar (bai'at Untar).
Penulis menilai bahwa apa yang dilakukan Abu Bakar dalam suksesi kepemimpinan di negara Madinah pada saat itu merupakan langkah yang tepat. Dan apa yang dilakukan itu merupakan implementasi yang optimal terhadap prinsip musyawarah.
Sebagaimana Abu Bakar. Umar bin Khaththab begitu dibai'at atau dilantik menjadi khalifah menyampaikan pidato penerimaan jabatannya di Masjid Nabi di hadapan kaum muslimin. Bagian dari pidatonya adalah :
“Aku telah dipilih menjadi khalifah. Kerendahan hati Abu Bakar selaras dengan jiwanya yang terbaik di antara kamu dan lebih kuat terhadap kamu dan juga lebih mampu untuk memikul urusan kamu yang penting-penting. Aku diangkat dalam jabatan ini tidaklah sama dengan beliau. Andaikata aku tahu bahwa ada orang yang lebih kuat daripadaku untuk memikul jabatan ini, maka memberikan leherku untuk dipotong lebih aku sukai daripada memikul jabatan ini. “Sesungguhnya Allah menguji kamu dengan aku dan mengujiku dengan kamu dan membiarkan aku memimpin kamu sesudah sahabatku. Maka demi Allah, bila ada suatu urusan dari urusan kamu dihadapkan kepadaku, maka janganlah urusan itu diurus oleh seseorang, selain aku dan janganlah seseorang menjauhkan'diri dari aku, sehingga aku tidak dapat memilih orang yang benar dan memegang amanah. Jika mereka berbuat baik, tentu aku akan berbuat baik kepada mereka dan jika mereka berbuat jahat, maka tentu aku akan menghukum mereka.''
Pidato tersebut menggambarkan pandangan Umar bahwa jabatan khalifah adalah tugas yang berat sebagai amanah dan ujian. Antara pemimpin dan yang dipimpin harus terjalin hubungan timbal balik yang seimbang dalam melaksanakan tanggung jawab itu. Setiap urusan harus diurus dan diselesaikan oleh khalifah dengan baik. Khalifah harus memilih orang-orang yang benar dan bisa memegang amanah 'untuk membantunya. Hukum harus ditegakkan terhadap pelaku tanpa memandang dari pihak manapun.
Ekspansi Islam masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Al-Khaththab
Selama sepuluh tahun pemerintahan Umar (13 H./634 M.23 H-I 644 M.), sebagian besar ditandai oleh penaklukan-penaklukan untuk melebarkan pengaruh Islam ke luar Arab. Sejarah mencatat, Umar telah berhasil membebaskan negeri-negeri jajahan Imperium Romawi dan Persia yang dimulai dari awal pemerintahannya, bahkan sejak pemerintahan sebelumnya. Segala tindakan yang dilakukan untuk menghadapi dua kekuatan itu, jelas bukan hanya menyangkut kepentingan keagamaan saja namun juga untuk kepentingan politik.
Faktor-faktor yang melatarbelakangi timbulnya konflik antara umat Islam dengan bangsa Romawi dan Persia yang pada akhirnya mendorong umat islam mengadakan penaklukan negeri Romawi dan Persia, serta negeri-negeri jajahannya karena : pertama, bangsa Romawi dan Persia tidak menaruh hormat terhadap maksud baik Islam; kedua, semenjak Islam masih lemah, Romawi dan Persia selalu berusaha menghancurkan Islam; ketiga, bangsa Romawi dan Persia sebagai negara yang subur dan terkenal kerna kmurannya, tidak berkenan menjalin hubungan perdagangan dengan negeri-negeri Arab; keempat, bangsa Romawi dan Persia bersikap ceroboh menghasut suku-suku Badui untuk menentang pemerintahan Islam dan mendukung musuh~musuh Islam; dan kelima, letak geografis kekuasaan Romawi dan Persia sangat strategis untuk kepentingan keamanan dan pertahanan Islam.
Tindakan pertama yang dilakukan Umar untuk menghadapi kekuatan Romawi-Persia adalah mengutus Saad bin Abi Waqqas untuk menaklukkan Persia dan menunjuk Abu Ubaidah bin Jarrah untuk menggantikan Khaiid bin Walid sebagai panglima tertinggi yang sedang menghadapi kekuatan Romawi di Siria. Saad bin Abi Waqqas berangkat dari Madinah memimpin pasukan militer menuju irak yang sedang dikuasai Persia.
Pasukan yang dipimpin Saad bin Abi Waqqas berhasil menerobos pintu gerbang kekuatan Persia. Pertempuran antara keduannya tak dapat dielakkan lagi maka terjadi pertempuran lain di Qadisiyah pada tahun 635 M./l4 H. Dalam pertempuran ini, pihak Persia berhasil dipukul mundur oleh kekuatan Islam-Arab yang dipimpin Saad bin Abi Waqqas.
Pada tahun 637 M./ 16 H., Persia bermaksud membalas kekalahannya, sehingga terjadi peperangan di Jakilah. Namun, maksud tersebut tidak dapat terwujud, bahkan pasukan Persia terdesak dan kota Hulwan dikuasai juga oleh pasukan Islam-Arab. Pertempuran terjadi di Nahawan pada tahun 642 M./21 H. Dalam pertempuran ini, pasukan Persia dapat ditundukkan secara mutlak. Dengan demikian, seluruh wilayah kekuasaan menjadi wilayah kekuasaan pemerintahan Islam. :
Kota Damaskus, salah satu pusat Siria yang paling penting jatuh di tangan pasukan Islam-Arab pada tahun 635 M./ 14 H. di bawah komando Abu Ubaidah. Ketika Romawi (Bizantium) memutuskan untuk melakukan serangan balasan secara besar-besaran terhadap para penyerang, pasukan Abu Ubaidah mampu menghadapinya dengan kekuatan penuh pada pertempuran Yarmuk pada tahun 16 H./ 631 M.
Baca juga di bawah ini
Mesir secara keseluruhan berada di bawah kekuasaan lslamArab setelah penyerahan Iskandariyah (Alexanderia), ibukota Mesir dan ibukota kedua bagi kekaisaran Romawi Timur pada tahun 642 M /21 H. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pada masa pemerintahan Umar ibn Al-Khaththab, kekuatan dua adikuasa dunia dapat diruntuhkan. Hal ini sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan sejarah Islam.