Silsilah Bangsa Arab Pra-Islam
Silsilah Bangsa Arab Pra-Islam - Bangsa Arab mempunyai akar' panjang dalam sejarah, mereka termasuk ras atau rumpun bangsa Caucasoid, dalam subras Mediterranean yang anggotanya meliputi wilayah sekitar Laut Tengah, Afrika Utara, Armenia, Arabia, dan Irania”.
Bangsa Arab hidup berpindah-pindah, nomad, karena tanahnya terdiri atas gurun pasir yang kering dan sangat sedikit turun hujan. Perpindahan mereka dari satu tempat ke tempat lain mengikuti tumbuhnya stepa atau padang rumput yang tumbuh secara sporadis di tanah Arab di sekitar oasis atau genangan air setelah turun hujan.
Padang rumput diperlukan oleh bangsa Arab yang disebut juga bangsa Badawi, Badawah, Badui, 'untuk menggembalakan ternak. mereka berupa domba, unta, dan kuda, sebagai binatang unggulannya. Mereka mendiami wilayah Jazirah Arabia yang dahulu merupakan sambungan dari wilayah gurun yang membentang dari barat Sahara di Afrika hingga ke timur melintasi Asia, Iran Tengah, dan Gurun Gobi di Cina.
Wilayah itu sangat kering dan panas karena uap air laut yang ada di sekitarnya (Laut Merah, Lautan Hindia, dan Laut Arab) tidak memenuhi kebutuhan untuk mendinginkan daratan luas yang berbatu. , Penduduk Arab tinggal di kemah-kemah dan hidup berburu untuk mencari nafkah, bukan bertani dan berdagang yang tidak diyakini sebagai kehormatan bagi mereka, memang negeri itu susah ditanami dan diolah”. Sekalipun demikian, wilayah ini Subur dalam menghasilkan bahan perminyakan.
Dalam analisis Philip K. Hitty, Semenanjung Arab dan orang-orang Arab sudah dikenal baik oleh orang Yunani dan Romawi. Sebab, negeri tersebut berada di jalur perjalanan mereka menuju India dan Cina. Negeri ini dikenal sebagai penghasil berbagai komoditas yang sangat bernilai di pasaran barat. Penduduknya adalah para pedagang perantara di laut-laut selatan, seperti halnya kerabat mereka, orang-orang Phoenisia sebelumnya merupakan orang-orang Mediterania”.
Para penulis klasik membagi negeri itu menjadi ArabFelix, Arab ”Petra, dan Arab Gurun, didasarkan atas pembagian wilayah itu ke dalam tiga kekuatan politik pada abad pertama Masehi, yaitu kawasan yang bebas, kawasan yang tunduk pada penguasa Romawi, dan kawasan yang secara nominal_berada dalam kendali Persia.
Arab Gurun meliputi gurun pasir Suriah-Mesopotamia (Badiyah). Wilayah Arab Petra (gunung batu) berpusat di dataran Sinai dan-Kerajaan Nabasia, dengan ibukota Petra. Wilayah Arab Felix mencakup bagian lainnya di Semenanjung Arab, yang kondisinya tidak banyak diketahui.
Pandangan yang membatasi wilayah itu hanya hingga Yaman, daerah yang paling dikenal oleh orang-orang Eropa, merupakan pandangan keliru yang muncul pada abad pertengahan. Kata Yaman sendiri, yang berarti bahagia, mungkin merupakan usaha untuk mengalihkan arti kata Yaman dalam' bahasa Arab (arah kanan) menjadi yumn yang berarti kebahagiaan.
Daerah itu disebut Yamwz karena berada, di sebelah kanan, sebelah selatan Hijaz, berseberangan dengan Syam atau Suriah, yang berada disebelah kiri atau utara. Marcian (sekitar 400 M.) dari Heraclea menggunakan istilah Saracem'. Sebelum Marcian, Ptolemius,
yang terkenal pada paruh pertama abad kedua, juga pernah menggunakan kata Saracen. Ammianus Marcellinus, seorang penduduk asli Antiokia yang menulis karyanya pada paruh terakhir abad keempat Masehi, menyamakan Saracen dengan orang-orang Arab Skenit“).
Ungkapan orang-orang Arab pertama kali digunakan dalam literatur Yunani oleh Aeschylus (525-456 S.M.), yang merujuk pada para perwira tinggi Arab dalam barisan angkatan perang Xerxes. Herodotus (sekitar 484-425 S.M.) juga menggunakannya untuk merujuk pada orang-orang Arab dalam angkatan perang Xerxes, yang berasal dari Mesir Timur. Bagi para penulis klasik, mulai Eratosthenes dari Yunani (meninggal sekitar 196 S.M.) -sumber Strabohingga Pliny dari Romawi (meninggal sekitar 79 M.), Semenanjung Arab adalah sebuah negeri yang sangat makmur dan mewah.
Arab merupakan negeri tempat tumbuhnya tanaman penghasil wewangian dan rempah-rempah lainnya; penduduknya mencintai dan menikmati kebebasan. Memang, ciribangsa Arab yang paling memikat para penulis Barat adalah ciri yang terakhir (terutama minyak, pen). Watak crang-orang Arab yang independen telah menjadi bahan pujian dan kekaguman para penulis Eropa sejak masa lalu hingga masa Gibbon saat ini”. Demikian, asal-usul bangsa Arab yang memiliki ciri karakteristik yang unik dan istimewa.
Begitu pula, dalam tulisan Ali Mufrodi bahwa dalam membicarakan wilayah geografis yang didiami bangsa Arab sebelum Islam, orang membatasi pembicaraan hanya pada Jazirah Arab, padahal bangsa Arab juga mendiami daerah-daerah di sekitar Jazirah.
Jazirah Arab memang merupakan_kediaman mayoritas bangsa Arab kala itu. Jazirah Arab terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu bagian tengah dan bagian pesisir. Di sana, tidak ada sungai yang mengalir tetap, yang ada hanya lembahlembah berair di musim hujan. Sebagian besar daerah Jazirah adalah padang pasir Sahara yang terletak di tengah dan memiliki keadaan dan sifat yang berbeda-beda, karena itu, ia bisa dibagi menjadi tiga bagian“), yaitu:
- Sahara Langit, memanjang 140 mil dari utara ke selatan dan 180 mil dari timur ke barat, disebut juga Sahara Nufud. Oase dan mata air sangat jarang, tiupa angin seringkali menimbulkan kabut debu yang mengakibatkan ditera: ini sukar ditempuh.
- Sahara Selatan, yang membentang menyambung Sahara Langit ke arah timur sampai selatan Persia. Hampir seluruhnya merupakan dataran keras, tandus, dan pasir bergelombang. Daerah ini juga disebut dengan Ar-Rub ' Al-Khali (bagian yang sepi).
- Sahara Harrat, suatu daerah yang terdiri atas tanah Hat yang berbatu hitam bagaikan terbakar. Gugusan batu-batu hitam itu menyebar di keluasan Sahara ini, seluruhnya mencapai 29 buah.
Penduduk Sahara minoritas terdiri atas suku-suku Badui yang mempunyai gaya hidup pedesaan dan nomadik, berpindah dari satu daerah ke daerah lain guna mencari air dan padang rumput untuk binatang gembalaan mereka, yaitu kambing dan unta. Adapun daerah pesisir, bila dibandingkan
dengan Sahara sangat kecil, bagaikan selembar pita yang mengelilingi Jazirah. Penduduk sudah hidup menetap dengan mata pencaharian bertani dan berniaga. Oleh karena itu, mereka sempat membina berbagai macam budaya, bahkan kerajaan.
Bila dilihat dari asal-usul keturunan, penduduk Jazirah Arab dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu Qahthaniyun (keturunan Qahthan) dan 'Adnaniyun (keturunan Ismail ibn Ibrahim). Pada mulanya, wilayah utara diduduki golongan 'Adnaniyun dan wilayah selatan didiami golongan Qahthaniyun. Akan tetapi, lama kelamaan kedua golongan itu membaur karena perpindahan-perpindahan dari utara ke selatan atau sebaliknya.
Lebih lanjut, Ahmad Hashari'” menjelaskan bahwa penduduk Arab Kuno adalah penduduk fakir miskin yang hidup di pinggiran desa terpencil; mereka senang berperang, membunuh, dan kehidupannya bergantung pada bercocok tanam dan turunnya hujan, mereka berpegang pada aturan qabilah atau suku dalam kehidupan sosial.
Sementara penduduk Arab Kota (madani) adalah orang-orang yang melakukan perdagangan dan sibuk dengan bepergian, dan mereka juga berpegang teguh pada aturan qabilah atau suku. Masyarakat, baik nomadik maupun yang menetap, hidup dalam budaya kesukuan Badui.
Organisasi dan identitas sosial berakar pada keanggotaan dalam suatu rentang komunitas yang luas. Kelompok beberapa keluarga membentuk kabilah (clan). Beberapa kelompok kabilah membentuk suku (trile) dan dipimpin oleh seorang syekh. Me eka sangat menekankan hubungan kesukuan, sehingga kesetiaan atau sol aritas kelompok menjadi sumber kekuatan bagi suatu kabilah atau suku. Mereka suka berperang.
Oleh karena itu, peperangan antarsuku sering terjadi. Sikap ini tampaknya telah menjadi tabiat yang mendarah daging dalam diri orang Arab. Dalam masyarakat yang suka berperang tersebut, nilai wanita menjadi sangat rendah. Situasi seperti ini terus berlangsung sampai datangnya agama Islam.
Dunia Arab ketika itu merupakan kancah peperangan terus-menerus. Pada sisi yang lain, meskipun masyarakat Badui mempunyai pemimpin, mereka hanya tunduk kepada syekh atau amir (ketua kabilah) itu dalam hal yang berkaitan dengan peperangan, pembagian harta rampasan, dan pertempuran tertentu. Di luar itu, syekhkatau amir tidak kuasa mengatur anggota kabilahnya.
Akibat peperangan yang terusmenerus, kebudayaan mereka tidak berkembang. Oleh karena itu, bahan-bahan sejarah Arab pra-Islam sangat langka didapatkan di dunia Arab dan dalam bahasa Arab. Ahmad Syalabi menyebutkan, sejarah mereka hanya dapat diketahui dari masa kirakira 150 tahun menjelang lahirnya agama Islam.
Pengetahuan itu diperoleh melalui syair-syair yang beredar di kalangan para perawi syair. Dengan begitulah, sejarah dan sifat masyarakat Badui Arab dapat diketahui, antara lain bersemangat tinggi dalam mencari nafkah, sabar menghadapi kekerasan alam, dan juga dikenal sebagai masyarakat yang cinta kebebasan.
Dengan kondisi alami yang seperti tidak pernah berubah itu, masyarakat Badui pada dasarnya tetap berada dalam fitrahnya. Kemurniannya terjaga, jauh lebih murni daripada bangsa-bangsa lain. Dasar-dasar kehidupan mereka mungkin dapat disejajarkan dengan bangsa-bangsa yang masih berada dalam taraf permulaan perkembangan budaya.
Bedanya dengan bangsa lain. hampir seluruh penduduk Badui adalah penyair”. Lain halnya dengan penduduk negeri yang telah berbudaya dan mendiami pesisir Jazirah Arab, sejarah mereka dapat diketahui lebih jelas. Mereka selalu mengalami perubahan sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi yang mengitarinya.
Mereka mampu membuat alat-alat dari besi, bahkan mendirikan kerajaan-kerajaan. Sampai kehadiran Nabi Muhammad SAW., kota-kota mereka masih merupakan kota-kota perniagaan dan memang Jazirah Arab ketika itu merupakan daerah yang. terletak pada jalur perdagangan yang menghubungkan antara Syam dan Samudra India.
Sebagaimana masyarakat Badai, penduduk negeri ini juga mahir menggubah syair. Biasanya, syair-syair itu dibacakan di pasar-pasar, mungkin semacam pergelaran pembacaan syair, seperti di pasar 'ukaz'. Bahasa mereka kaya dengan ungkapan, tata bahasa, dan kiasan.
Melihat bahasa dan hubungan dagang bangsa Arab, Leboun berkesimpulan, tidak mungkin bangsa Arab tidak pernah memiliki peradaban yang tinggi, apalagi hubungan dagang itu berlangsung selama 2000 tahun. Ia yakin, bangsa Arab ikut memberi saham dalam peradaban dunia, sebelum mereka bangkit kembali pada masa Islam. Golongan Qahthaniyin, misalnya pernah mendirikan Kerajaan Saba' dan Kerajaan Himyar di Yaman, bagian selatan Jazirah Arab.
Kerajaan Saba' inilah yang membangun bendungan Ma'arib, sebuah bendungan raksasa yang menjadi sumber air untuk seluruh wilayah kerajaan. Pada masa kejayaannya, kemajuan Kerajaan Saba' di bidang kebudayaan dan peradaban, dapat dibandingkan dengan kota-kota dunia lain saat itu. Bekas-bekas kerajaan ini sekarang masih terbenam dalam timbunan tanah”).
Pada masa pemerintahan Saba', bangsa Arab menjadi penghubung perdagangan antara Eropa dan dunia Timur Jauh. Setelah kerajaan mengalami kemunduran, muncul Kerajaan Himyar menggantikannya. Kerajaan baru ini terkenal dengan kekuatan armada niaga yang menjelajah mengarungi lndia, Cina, Somalia, dan Sumaterake pelabuhan-pelabuhan Yaman. Perniagaan ketika itu dapat dikatakan dimonopoli Himyar“).
Setelah bendungan Ma'arib runtuh, masa gemilang Kerajaan Himyar sedikit demi sedikit memudar. Banyak bangunan roboh dibawa air dan sebagian besar penduduk mengungsi ke bagian utara Jazirah. Meskipun demikian, karena daerahnya berada pada jalur perdagangan yang strategis dan tanahnya subur, daerah ini tetap menjadi incaran kerajaan besar Romawi dan Persia yang selalu bersaing untuk menguasainya.
Di sebelah utara Jazirah juga pernah berdiri kerajaan-kerajaan, tetapi kerajaan-kerajaan tersebut lebih merupakan kerajaan protektorat. Ini terjadi karena khafilah-khafrlah Romawi dan Persia selalu mendapat gangguan dari suku-suku Arab yang memeras dan merampoknya. Untuk melindungi khafilah-khaiilah itu, atas inisiatif kerajaan besar tersebut, didirikanlah Kerajaan Hirah di bawah perlindungan Persia dan Kerajaan Ghassan di bawah perlindungan Romawi.
Kedua kerajaan ini berkembang dalam waktu yang hampir bersamaan, yaitu kira-kira abad ketiga sampai abad kedatangan islam. Raja-raja yang berkuasa umumnya berasal dari keturunan Arab Yaman. Bagian lain dari daerah Arab yang sama sekali tidak pernah dijajah oleh bangsa lain, baik karena sulit dijangkau, tandus, dan miskin adalah Hijaz.
Kota terpenting di daerah ini adalah Mekah, kota suci tempat Kabah berdiri. Kabah pada masa itu bukan saja disucikan dan dikunjungi oleh penganut-penganut agama asli Mekah, tetapi juga oleh orang-orang Yahudi yang bermukim di sekitarnya.
Untuk mengamankan para peziarah yang datang ke kota itu, didirikanlah suatu pemerintahan yang pada mulanya berada di tangan dua suku yang berkuasa, yaitu Jurhum sebagai pemegang kekuasaan politik dan Ismail (keturunan Nabi Ibrahim), sebagai pemegang kekuasaan atas Kabah.
Kekuasaan politik kemudian berpindah ke suku Khuza'ah dan akhirnya ke suku Quraisy di bawah pimpinan Qushai. Suku terakhir inilah yang kemudian mengatur urusan-urusan politik dan urusan-urusan yang berhubungan dengan Kabah. Semenjak itu, suku Quraisy menjadi suku yang mendominasi masyarakat Arab.
Ada sepuluh jabatan tinggi yang dibagi-bagikan kepada kabilah-kabilah asal suku Quraisy, yaitu hijabah (penjaga kunci-kunci Kabah); siqayah (pengawas mata air zam-zam untuk dipergunakan oleh para peziarah); diyat (kekuasaan hakim sipil dan kriminal); sifarah (kuasa usaha negara atau duta); liwa' (jabatan ketentaraan); nfadah (pengurus pajak untuk orang miskin); nadwah (jabatan ketua dewan); khaimmah (pengurus balai musyawarah); khazinah (jabatan administrasi keuangan); danazlam (penjaga panah peramal untuk mengetahui pendapat dewa-dewa). Pada saat itu, sudah menjadi kebiasaan bahwa anggota yang tertua mempunyai pengaruh paling besar dan memakai gelar rais”).
Setelah Kerajaan Himyar jatuh, jalur-jalur perdagangan didominasi oleh Kerajaan Romawi dan Persia. Pusat perdagangan bangsa Arab serentak kemudian beralih ke daerah Hijaz. Mekah pun menjadi masyhur dan disegani. Begitu pula, suku Quraisy. Kondisi ini membawa dampak positif bagi mereka, yaitu perdagangan menjadi semakin maju.
Baca juga di bawah ini
Akan tetapi, kemajuan Mekah tidaklah sebanding dengan kemajuan yang pernah dicapai kerajaan-kerajaan Arab sebelumnya. Meskipun demikian, dengan Mekah menjadi pusat peradaban, bangsa Arab bagaikan memulai babak baru dalam hal kebudayaan dan peradaban.