BAB 14 Kekuasaan Islam Periode Tengah
A. Kerajaan Mamluk Mesir (648 H./1250 M-922 H./1517 M)
1. Mamluk Bahri (648-792 H./1250-1389 M)
Kata Mamluk berarti budak atau hamba yang dibeli dan dididik dengan sengaja agar menjadi tentara dan pegawai pemerintah. Seorang Mamluk berasal dari ibu-bapak yang merdeka (bukan budak atau hamba). ini berbeda dengan “abd yang berarti hamba sahaya yang dilahirkan oleh ibu-bapak yang juga berstatus sebagai hamba dan kemudian dijual.
Perbedaan lain adalah Mamluk berkulit putih, sedangkan 'abd berkulit hitam. Sebagian Mamluk berasal dari Mesir, dari golongan hamba yang dimiliki oleh para sultan dan amir pada masa Kesultanan Bani Ayub.
Pada Mamluk Dinasti Ayubi'yah berasal dari Asia Kecil, Persia (Iran), Turkistan, dan Asia Tengah (Transoksiana). Mereka terdiri atas suku-suku bangsa Turki, Syracuse, Sum, Rusia, Kurdi, dan bagian kecil dari bangsa Eropa.
Mamluk sultan yang berkuasa merupakan gabungan para Mamluk sultan-sultan sebelumnya, yakni Mamluk yang dibeli dengan harta sendiri atau dari uang baitulmal dari Mamluk para amir yang disingkirkan atau meninggal dunia”.
Dinasti,Mamluk didirikan oleh para budak. Mereka pada mulanya adalah orang-orang yang ditawan oleh penguasa Dinasti Ayyubiyah sebagai budak, kemudian dididik dan dijadikan tentaranya. Mereka ditempatkan pada kelompok tersendiri yang terpisah dari masyarakat. Oleh penguasa Ayyubiyah yang terakhir.
Al-Malik Al Saleh, mereka dijadikan pengawal untuk menjamin kelangsungan kekuasaannya. Pada masa penguasa, mereka mendapat hak-hak istimewa, baik dalam ketentaraan maupun dalam imbalan-imbalan materiil.
Di Mesir, mereka ditempatkan di pulau Raudhah di Sungai Nil untuk menjalani latihan militer dan keagamaan. Karena itulah, mereka dikenal dengan julukan Mamluk Bahri (laut) Saingan mereka dalam ketentaraan pada masa itu adalah tentara yang berasal dari suku Kurdi.
Kerajaan Mamluk dibagi menjadi dua periode berdasarkan daerah asalnya. Golongan pertama dinamakan Mamluk Bahri/Bahnyah (648-792 H./1250-1389 M.), yakni yang berasal dari kawasan Ktpchalt (Rusia Selatan), Mongol, dan Kurdi.
Golongan kedua dinamakan Mamluk Burjr/ Barjiyah (792-923 H./ 1389-1517 M.), yakni Mamluk yang berasal dan etnik Syracuse di wilayah Kaukasus. Golongan kedua inilah yang berhasil bertahan untuk berkuasa pada Dinasti Mamluk.
Nama Mamluk Bahriyah dinisbatkan pada sebuah tempat yang disediakan oleh Sultan Malik Al-Saleh Najmudin Ayyub kepada para Mamluk. Tempat ini berada di pulau Raudhah di tepi Sungai Nil yang dilengkapi dengan senjata, pusat pendidikan, dan latihan materimateri sipil dan militer.
Sejak itu, para Mamluk dikenal dengan Al-Mamalik Al-Bahriyyah (para budak lautan). Sementara penamaan Burji/Barjiyah disandarkan kepada para budak yang ditempatkan di benteng yang mempunyai menara (burly). Oleh karena itu, para Mamluk dinamakan “Al-Mamalik Al-Burujiyah (para budak benteng).
Salah satu hal yang unik dari sejarah pemerintahan Dinasti Mamluk di Mesir adalah adanya ambisi untuk menjadi sultan dari seorang Mamluk wanita yang bernama Syajar Ad-Durr. Dia adalah isteri Sultan Bani Ayub, Al-Saleh Najmuddin Ayyub.
Syajar Ad-Durr mengambil alih kekuasaan setelah suaminya meninggal dunia dalam suatu pertempuran melawan pasukan Louis IX di Dimyati, Mesir. Putra mahkota, Turansyah, ketika itu sedang berada Syam. Untuk menjaga agar semangat pasukan Islam tetap teguh, sang isteri menyembunyikan berita kematian suaminya.
Setelah Turansyah tiba di Mesir untuk berkuasa, ia dibunuh oleh pengikut Syajar Ad-Durr. Atas dukungan pemuka-pemuka Mamluk, Syajar dapat berkuasa penuh sebagai sultan selama 80 hari. Kekuasaannya berakhir dengan adanya teguran dari Khalifah Abbasiyah di Baghdad bahwa yang memerintah di Mesir seharusnya adalah seorang pria dan bukan wanita.
Syajar tidak sanggup menolak perintah khalifah tersebut, dan akhirnya ia memutuskan untuk menikah dengan sultan pengganti dirinya agar dapat immerintah di balik layar. Suami Syajar yang baru adalah Sultan lzzudin Aybak, salah seorang Mamluk almarhum suaminya yang resmi menjadi sultan pertama Dinasti Mamluk Bahri”.
Sultan-sultan Mamluk Bahri yang terkenal adalah Quruz, Baybars, Qalawun, dan Nasir Muhammad bin Qalawun adalah Sultan Qutuz (Qathaz) (657 H./1258 M.) dengan bantuan panglima perangnya. Baybars berhasil mematahkan serbuan bangsa Mongol ke Palestina dalam peperangan Ain Jalut pada tanggal 3 September 1260. Kemenangan ini merupakan “balasan” terhadap bangsa Mongol yang sebelumnya menghancurkan Baghdad sebagai pusat khilafah lslam tahun 1258 H.
Perang ini merupakan peristiwa besar dalam sejarah Islam dan mempakan kemenangan pertama yang berhasil dicapai oleh kaum muslimin terhadap orang-orang Mongolia. Mereka berhasil menghancurkan mitos yang mengatakan bahwa tentara Mongol tidak pernah terkalahkan”.
Setelah kemenangan ini, nilai tambah terhadap Dinasti Mamluk adalah bersatunya kembali Mesir dan Syam di bawah naungan Sultan Mamluk setelah mengalami perpecahan pada masa sultan-sultan keturunan Salahuddin Al-Ayyubis.
Pusat kekhalifahan Islam akhirnya berada di Kairo setelah Baghdad hancur total oleh tentara Mongol. Setelah Quruz digulingkan oleh Baybars. Kerajaan Mamluk bertambah kuat. Bahkan, Baybars mampu berkuasa selama tujuh belas tahun (657 H./l260 M.676 H./1277 M.) karena mendapat dukungan militer dan tidak ada Mamluk yang senior lagi, selain Baybars.
Kejayaan yang diraih pada masa Baybars adalah memporak-porandakan tentara Salib di sepanjang Laut Tengah, Assasin di Pegunungan Siria, Cyrenia (tempat berkuasanya orang-orang Armenia dan kapal-kaapal Mongol di Anatolia.
Terlebih lagi prestasi Baybars adalah menghidupkan kembali kekhalifahan Abbasiyah di Mesir setelah Baghdad dihancurkan oleh pasukan Mongol di bawah Hulagu Khan pada tahun 1258. Pemerintahan Mamluk selanjutnya dipimpin oleh Bani Bibarisiah.
Diawali oleh Azh-Zhahir Bibaris mengundang Ahmad, anak Khalifah Bani Abbasiyah Al-Zhahir ke Kairo. Sebelumnya, Ahmad melarikan diri dari Baghdad setelah dihancurleburkan oleh orang-orang Mongolia, kemudian dia dibaiat sebagai khalifah dan diberi gelar Al-Mustanshir pada tahun 659 H./l260 M.
Tujuan dilakukannya hal itu oleh Babiris adalah untuk menguatkan pusat kekuasaan di Kairo dan menarik dukungan negeri-negeri Islam yang lain serta melindungi kursi kekuasaan Mamluk dengan legalitas syariah. Setelah itu, Bani Abbasiyah secara berturut-turut berkuasa dengan jumlah khalifah sebanyak 18 orang antara tahun 659-923 H./1260-1517 M.
Tidak begitu banyak yang berarti Kerajaan Mamluk di bawah pimpinan Bani Babiris adalah Sultan Al-Mansur Qalawun (678 H./ 1280 M-689 H./ 1290 M.) yang telah menyumbangkan jasanya dalam pengembangan administrasi pemerintah, perluasan hubungan luar negeri untuk memperkuat posisi Mesir dan Syam di jalur perdagangan internasional.
Sultan Qalawun berhasil mewariskan tahtanya kepada keturunannya. Hal ini terjadi berkat keberadaan 12.000 Mamluk Burji yang memang dipersiapkan untuk melindungi kepentingan pribadinya.
Sultan Mamluk yang memiliki kejayaan dan prestasi lainnya dari garis Bani Qalawun adalah putra pengganti Qalawun, yakni Nashir Muhammad (696 H./l296 M.). Sultan memegang tampuk pemerintahan selama tiga kali dan mengalami dua kali turun tahta.
Pertama, digulingkan ketika ia masih berusia 9 tahun oleh panglimanya sendiri, yakni Katbuga Al-Mashur yang sultannya dipegang oleh Sultan Lajin. Lajin tidak memperoleh dukungan baik dari Mamluk ataupun masyarakat umum sehingga Nashir diangkat kembali menjadi Sultan Mamluk untuk kedua kalinya (709 H./1309 M.
Kedua, Sultan Nashir kembali turun tahta ketika ambisi politik Bani Baybars berhasil mengambil alih dan menjadi sultan. Akan tetapi, atas dukungan para Mamluk di Syam dan masyarakat umum lainnya, Sultan Nashir diangkat kembali hingga akhir hayatnya setelah berkuasa selama 31 tahun (742 M./134l M.).
Masa setelah Bani Qalawun, tampuk pemerintahan Mamluk dipimpin oleh Mamluk keturunan Muhammad hingga 9 sultan. Kesembilan sultan ini hanyalah simbol nama dan tidak berpengaruh terhadap masyarakat umum lainnya.
Dalam analisis Ahmad Al-Usairy, “mereka tidak memiliki daya dan upaya, pandangan maupun kebijakan apapun”, sampai sultan terakhir dari Dinasti Mamluk yang berasal dari Bani Sya'baniyah, AlShalih Hajj Asyraf bin Sya'ban sekitar tahun 791 H./ 1388 M. digulingkan oleh Sultan Barquq yang menjadi cikal bakal sultan pertama pada pemerintahan Mamluk Burji.
Namun demikian, di antara peristiwa penting pada masa ini (terutama pasca-Qalawun), sebagaimana tulisan Ahmad Al-Usairy adalah sebagai berikut :
a. pada tahun 667 H./1268 M., Al-Zahir Babiris mampu meluaskan Pengaruhnya di Hijaz;
b. antara tahun 660-690 H. /1261-1291 M. orang-orang Mamluk menggempur kaum Salibis dan berhasil mengambil kembali beberapa kota di Syam yang masih berada di tangan pihak luar;
c. pada tahun 680 H./ 1281 M., Manshur Qalawun berhasil menghancurkan pasukan Tartar dengan sangat telak;
d. pada tahun 702 H./1312 M., An-Nashir Muhammad bin Qalawun berhasil menaklukkan kepulauan Arwad dan mengusir urang-orang Salibis dari sana;
e. pada tahun yang sama pasukan Tartar juga dikalahkan dengan sangat telak pada perang Syaqhat di dekat Damaskus (ikut dalam perang Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah).
Berakhirnya Mamluk Bahri disebabkan oleh Sultan Shalih Hajj bin Sya'ban (1381-1309) yang masih kecil dan hanya memerintah selama dua tahun. Setelah itu diganti oleh sultan lain sampai akhirnya Sultan Barquq menguasai dan mengakhiri Dinasti Mamluk Bahri.
2. Mamluk Burji (792-923 H./1389-1517 M.)
Masa pemerintahan Mamluk Burji diawali dengan berkuasanya Sultan Barquq (784 H./ 1382 M.-80l H ./ 1399 M.) setelah berhasil menggulingkan sultan terakhir dari Mamluk Bahri, Shalih Haj bin Asyraf Sya'ban. Sesungguhnya tidak ada perbedaan pemerintahan Mamluk Bahri dan Burji, baik dari segi status para sultan yang dimerdekakan ataupun dari segi sistem pemeritahan yang oligarki.
Hal-hal yang membedakan kedua pemerintahan tersebut adalah suksesi pemerintahan Mamluk Bahri lebih banyak terjadi dengan turun-temurun, sedangkan pada masa Mamluk Burp suksesi lebih banyak terjadi karena perang saudara dan huru-hara. Pertentangan ini disebabkan sistem pendidikan bagi para Mamluk tidak ketat, dan mereka diperbolehkan untuk tinggal di luar pusat-pusat latihan bersama rakyat biasa.
Pemerintahan selanjutnya dipimpin oleh Sultan Al-Nashir Faraj (801 H./1399 M.-808 H./ 1405 M.), putra Sultan Barquq dan merupakan salah seorang cucu Jengis Khan yang telah masuk Islam dan berkuasa di wilayah Samarkand dan Khurasan, Timur Lenk (771 H./ 1370 M.-807 H./l405 M.), melakukan penyerangan ke wilayah Suriah.
Timur Lenk tampaknya mengulang kembali sejarah keberingasan pasukan Mongol pada zaman Hulagu Khan ketika menguasai wilayah-wilayah tetangganya yang muslim. Pasukan Mamluk pun menyiapkan diri untuk menghadang serangan Timur Lenk tersebut.
Pada tahun 1401, Aleppo dapat dikuasai oleh pasukan Timur Lenk dan disusul dengan Damaskus yang menyerah setelah tentara Mamluk dapat dikalahkan. Kota Damaskus dibumihanguskan, baik sekolah maupun masjid dibakar.
Ketika pasukan Mamluk disiagakan kembali untuk merebut Damaskus, Timur Lenk sudah meninggalkan kota itu dan akhirnya diadakanlah perjanjian perdamaian serta bertukar tawanan perang.
Sementara itu, dua Sultan Mamluk Burji, yakni Al-Asyraf Baribai (825 H./71422 M.-841 H./ 1437 M.) dan Al-Zahir Khusyqadam (865 H./1461 M.-872 H./ 1467 M.) masih harus terus mempertahankan wilayahnya dari serangan pasukan Salib di Kepulauan Cyprus dan Rhodes (Laut Aegea, sekarang milik Yunani).
Kedua ekspedisi militer ini berhasil menahan kekuatan kaum Nasrani dan dengan demikian, pasukan Mamluk kembali membuktikan keunggulannya untuk dapat menguasai jalur perdagangan di Laut Tengah.
Banyak dari sultan-sultan Mamluk Burji naik tahta pada usia muda. Hal ini menjadi salah satu faktor penyebab melemahnya Dinasti Mamluk. Para Mamluk selalu disibukkan dengan gejolak atau pertentangan yang terjadi.
Dana kesultanan lebih banyak dikeluarkan untuk aksi-aksi militer, sementara itu pemasukan semakin menipis. Rongrongan dari luar wilayah Mamluk pun datang beruntun karena para Mamluk tidak mengutamakan persatuan dan banyak yang meminta bantuan dari luar.
Sebagai contoh pada masa pemerintahan Sultan Asyraf Qaitbay (872 H./1468 M.-90l H./l496 M.), terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh para amir Mamluk di wilayah Syam dan Aleppo. dan gerakan pengacau keamanan dari orang Arab di selatan Mesir.
Pada masa pemerintahan ini. terjadi penyerangan pasukan Turki Utsmani terhadap wilayah Mamluk yang merupakan cikal-bakal permusuhan antara Dinasti Mamluk dan tentara Turki Utsmani.
Begitulah seterusnya para Sultan Mamluk dilanda krisis dan perang, baik dari dalam (Mamluk) maupun dari pihak luar seperti serangan tentara Turki Utsmani, orang Portugis yang melarang dan mengusik jalur perdangan Mamluk di Laut Tengah hingga tewasnya Sultan Qanshus Al-Guri ketika berperang melawan tentara Turki Utsmani pada tahun 922 H./ 1516 M. Sejak saat itu, Dinasti Mamluk di bawah bayang-bayang tentara Turki Utsmani.
Sultan terakhir Dinasi Mamluk Burji adalah Al-Asyraf Tumanbai. Ia adalah seorang pejuang yang gigih. Namun, pada saat itu ia tidak memperoleh dukungan dari golongan Mamluk sehingga ia harus menghadapi sendiri pasukan Turki Utsmani yang telah berhasil menguasai Khalifah Abbasiyah, Al-Mutawakkil (232 H./847 M.-247 H./861 M.).
Akhirnya, Tumanbai ditangkap oleh pasukan Turki Utsmani atas banman beberapa amir Mamluk dan kemudian digantung di salah satu gerbang kota Kairo, Bab Al-Zuwailah pada tahun 923 H./1517 M. Sejak saat itu, berakhirlah masa pemerintahan Dinasti Mamluk dan dimulainya masa penguasaan Turki Utsmani di Mesir dan Syam.
3. Peradaban pada Masa Dinasti Mamluk
Dalam bidang ekonomi, Dinasti Mamluk membuka hubungan dagang dengan Perancis dan Italia melalui perluasan jalur perdagangan yang dirilis oleh Dinasti Fatimiah di Mesir sebelumya. Jatuhnya Baghdad membuat Kairo sebagai jalur perdagangan antara Asia dan Eropa, menjadi lebih penting karena Kairo menghubungkan jalur perdagangan Laut Merah dan Laut Tengah dengan Eropa.
Di samping itu, hasil pertanian juga meningkat. Keberhasilan dalam bidang ekonomi ini didukung oleh pembangunan jaringan transportasi dan komunikasi antarkota baik laut maupun darat. Ketangguhan angkatan laut Mamluk sangat membantu pengembangan perekonomiannya. Dalam bidang ilmu pengetahuan, Mesir menjadi tempat pelarian ilmuwan-ilmuwan asal Baghdad dari serangan tentara Mongol.
Oleh karena itu, ilmu-ilmu banyak berkembang di Mesir, seperti sejarah, kedokteran, astronomi, matematika, dan ilmu agama. Dalam ilmu sejarah tercatat nama-nama besar, seperti Ibn Khalikan, Ibn Taghribardi. dan Ibn Khaldun.
Di bidang astronomi, dikenal nama Nashir Al-Din Al-Tusi, di bidang matematika, Abu Al-Faraj, Al-Ibry, di bidang kedokteran, Abu Al-Hasan Al-Nafis, penemu susunan dan peredaran darah dalam paru-paru manusia, Abd Al-Mun'im Al-Dimyati, seorang dokler hewan, dan Al-Razi, perintis psikoterapi.
Dalam bidang opthalmologi dikenal dengan nama Salah Al-Din Ibn Yusuf. Sedangkan dalam bidang ilmu keagaman tersohor nama Ibn Taimiyah, seorang pemikir reformis dalam Islam Al-Suyuthi yang menguasai banyak ilmu keagamaan.
Ibn Hajar Al-Asqalani dalam ilmu hadis, dan lain-lain. Di bidang arsitektur, banyak arsitek dikirim ke Mesir untuk membangun sekolah, masjid, rumah sakit, museum, perpustakaan, vila, kubah, dan menara masjid.
4. Berakhirnya Pemerintahan Mamluk (Burji)
Kehancuran pemerintahan Mamluk baik Bahri ataupun Burji pada dasarnya berasal dari internal istana sendiri. Meskipun faktor luar pun memberikan pengaruh terhadap kehancuran Mamluk sebagai faktor eksternal.
Gaya hidup yang tinggi diperlihatkan oleh Sultan Nashir selama ia memerintah. Hal itu dilakukan karena ia menjabat sultan sebanyak tiga kali (lihat tabel di atas). Misalnya, ketika Nashir mengadakan pesta perkawinan anaknya.
Ia menyajikan 18.000 irisan roti, menyembelih 20.000 ekor ternak, dan menyalakan 3.000 batang lilin untuk menerangi istananya. Selain itu, Nashir senang mengeluarkan uang untuk kesenangan pribadinya, yakni olah raga berkuda.
Tiga puluh ribu dinar, ia keluarkan demi seekor kuda yang disenangi. Gaya hidup yang tinggi pada masa Nashir dibebankan kepada rakyat untuk membayar pajak yang lebih tinggi dan menjadi salah satu sebab runtuhnya Dinasti Mamluk Bahri. Hingga penerus keturunan Nashir sampai dua belas keturunan berlaku sama, seperti Nashir pendaa hulunya.
Secara internal, sebagai temuan Ibn Al-Taghri Birdi yang dikutip K. Hitti, menjelaskan bahwa :
“Faktor kehancuran Mamluk Burji tampak terlihat dari para sultan atau pegawainya yang berperilaku buruk, seperti tipu daya, pembunuhan, dan pembantaian. Sebagian sultan melakukan tindakan kejam, curang, dan sebagian yang lain tidak efisien atau bahkan bermoral bejat dan kebanyakan dari mereka tidak beradab. Sultan Al-Mu'ayyan (1412-1421), seorang pemabuk yang dibeli oleh Barquq dari penjual budak Sirkasius, melakukan berbagai tindakan keji yang melebihi batas."
Begitu pula dalam tulisan Al-Suyuthi, bahwa:
“Hanya Sultan Barquq dari begitu banyak sultan yang mempunyai ayah seorang Muslim''.
Perilaku sultan yang tidak terpuji ini terlihat pula pada Sultan Barsibai (1422-1438) yang awalnya dipekerjakan bersama budak-budak Barquq, sama sekali tidak memahami bahasa Arab. Bahkan, ia pernah memenggal kepala dua-orang dokternya karena tidak bisa menyembuhkannya dari penyakit parah. Begitu pula Sultan Inal (1453-1460), budak Barquq yang tidak bisa membaca dan. menulis, bahkan tidak hafal surat pertama Al-Quran dengan baik.
Korupsi dan monopoli ekonomi dilakukan oleh para sultan dalam mengelola pembangunan. Misalnya, Sultan Barsibai melarang impor rempah-rempah dari India padahal ia termasuk importir lada yang sangat dibutuhkan.
Sebelum harga naik, ia memonopoli persediaan rempah yang ada, kemudian menjualnya kepada konsumen dengan laba yang sangat tinggi. Dia juga memonopoli produksi gula, dan melangkah lebih jauh dengan melarang tanaman tebu selama satu periode dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang sangat besar baginya.
Secara eksternal, kalangan Mamluk Burji lebih tidak peduli ketimbang mengurus persoalan domestik dalam negeri. Kondisi ini terbaca oleh para “musuh” lamanya, seperti tentara Mongol yang berkeinginan untuk merebut kembali, ditambah pasukan Utsmani dari Anatolia yang memperparah kehancuran Mamluk Burji.
Dalam tulisan Ahmad Al-Usairy dipaparkan detik-detik berakhirnya Mamluk Burji sebagai berikut:
Pasukan Utsmani di bawah pimpinan Sultan Salim, mengalahkan pemeritahan Al-Saffariah pada perang Jaladiran yang sangat terkenal pada tahun 920 H./ 1514 M. Mereka berhasil memasuki ibukotanya, Tibriz. Dengan demikian, Irak kini berhasil masuk di bawah kekuasaan Utsmani.
Setelah itu, mereka berhasil pula mengalahkan pemerintahan Mamluk di negeri Syam pada perang Marj Dabiq di Halb. Sultan Qanshuh Al-Ghawri dibunuh dalam perang ini pada tahun 922 H./1516 M. Kemudian Sultan Salim melanjutkan serangannya ke Mesir dan berhasil menang atas orang-orang Mamluk pada perang Raydam'yah di Kairq.
Pada perang ini, Sultan Thumanbai terbunuh. Dengan terbunuhnya sultan terakhir Mamluk Burji, maka berakhir pulalah pemerintahan Mamluk. Khalifah Abbasi terakhir, Al-Mutawakkil 'Ala Allah, turun tahta dan menyerahkan kekuasaan kepada Sultan Salim, terjadi pada tahun 923 H./ 1517 M.
Demikianlah, Syam tunduk dan berada di bawah pemerintahan Utsmani. Pada saat itu juga, pemimpin Hijaz datang ke Kairo dan menyatakan ketaatan merekakepada Khalifah Utsmani dan menyatakan bahwa Hijaz tunduk pada pemerintahan Utsmani.
Dengan demikian, berakhirlah pemerintahan Mamluk dan berpindahlah khilafah Islam pada pemerintahan Utsmani.
B. Kerajaan Utsmani
1. Pendahuluan
Sejarah Islam sekarang telah berjalan lebih dari empat belas abad lamanya. Sebagaimana halnya sejarah setiap umat, sejarah Islam pun mengalami pasang surut. Pada periode tertentu Islam mengalamr pertumbuhan dan perkembangan, pada periode selanjutnya Islam mengalami kemajuan dan kejayaan dan pada periode lain Islam mengalami kemunduran bahkan kehancuran.
Satu di antara beberapa sejarah peradaban Islam yang cukup menarik untuk bahan kajian ilmiah, yaitu masa pertengahan khususnya pada abad ke-I7, karena pada abad tersebut terdapat tiga kerajaan besar, yaitu Kerajaan Syafawi di Persia, Kerajaan Mughal di India, dan Kerajaan Utsmani di Turki.
2. Asal-Usul Utsmani
Nama Kerajaan Turki Utsmani diambil dan dibangsakan kepada nenek moyang mereka yang pertama, Sultan Utsmani Ibnu Sauji lbnu Orthogol lbnu Sulaiman Syah lbnu Kia Alp, kepala Kabilah Kab di Asia Tengah (Hamka, 1987: 205). Turki Utsmani berkuasa sejak abad ke-13 sampai abad ke-19. Raja pertama Turki Utsmani adalah Utsman dengan gelar Padisya Alu Utsman atau Raja dari keluarga Utsman (Syafiq A. Mugni, 1996: 53).
Setelah Ertoghrul meninggal dunia tahun 1289 M., kepemimpinan dilanjutkan oleh putranya, Utsman. Putra Ertoghrul inilah yang dianggap sebagai pendiri Kerajaan Utsmani (Yatim, 1997; 130). Wilayah kekuasaan Utsman cukup luas yang meliputi Semenanjung Balkan, Asia Kecil, Arab Timur Tengah, Mesir, dan Afrika Utara (Satiq A. Mugni, 1996: 91). Turki Utsmani berkuasa sekitar 7 abad dengan 37 sultan.
a. Kondisi politik dan sosial Turki Utsmani pada abab ke-17
Berbeda dengan kerajaan-kerajaan sebelumnya, Kerajaan Turki Utsmani pada abad ke-17, banyak mengalami 'kemunduran. Pada abad ke-17 hingga abad ke-l8, terdapat perubahan penting dalam sejarah Turki Utsmani.
Berakhirnya ekspansi Kerajaan Turki Utsmani, lembagalembaga pemerintahan seringkali kehilangan kemampuan militer dan administrasinya, dan kerajaan dalam posisi tertekan dengan regresi ekonomi, pemberontakan rakyat, dan beberapa kekalahan militer.
Perseturuan antara pemerintahan pusat dengan elit lokal untuk mengontrol pendapatan pajak dari rakyat muncul ke permukaan dan kekuasan dialihkan dari pemerintah pusat kepada kelompok .lanissari, ulama, dan keluarga Utsmani yang telah mapan dalam pemerintahan pusat (Syafiq A. Mugni, 1996: 91).
Munculnya kemunduran Turki di awali dari kekacauan pemerintahan yang dipimpin oleh Sultan Muhammad III pengganti Murod III. Dalam situasi seperti itu dimanfaatkan oleh Australia sehingga mampu memukul mundur Kerajaan Utsmani (Badri Yatim, 1997: 164).
Keadaan semacam ini terus berlangsung sampai pada masa pemerintahan Ibrahim (1640-1648) dan puncak kehancuran pemerintahan Turki Utsmani pada abad ke17 terjadi masa Mustofa (1617-1618 M.).
Di masa Sultan Ahmad I, Persia mengadakan perlawanan terhadap Turki Utsmani, dan pada tahun 1612 M. suatu perjanjian damai ditanda tangani, yang sangat menguntungkan Persia. Pada tahun 1616 M., ketika bangsa Turki datang lagi dengan tentara yang kuat dan mengepung Erivan, bangsa Persia melawan dan memukul mundur para penyerang (Syed Mahmudunnasir, t.th.: 420).
Melihat kenyataan itu para negarawan Turki mulai memikirkan langkah-langkah perbaikan dalam segala bidang demi kestabilan dan kekuatan kerajaan. Langkah-langkah perbaikan kerajaan Turki Utsmani mulai diusahakan oleh Sultan Murod IV dan memperoleh kemajuan. Namun, situasi politik yang sudah membaik itu kembali merosot pada masa pemerintahan lbrahim (1640-1648), karena ia termasuk orang yang lemah (Yatim, 1997: 164).
Pada masa tersebut orang-orang Venesia melakukan peperangan laut untuk melawan dan berhasil mengusir orang-orang Turki Utsmaru' dari Cyprus dan Creta tahun 1645 M. Kekalahan itu membawa Muhammad Kopru ke kedudukan sebagai wazir atau Shadr Al-Azham (perdana menteri) yang diberi kekuasaan absolut (Hasan Ibrahim Hasan, 1989: 339).Ia berhasil mengembalikan peraturan dan mengonsolidasikan stabilitas keuangan negara (Yatim, 1997: 165).
Setelah Kopru meninggal dunia (1661 M.) jabatannya dipegang oleh anaknya, lbrahim menyangka bahwa kekuatan militernya sudah kuat kembali, karena itu ia menyerbu Hongaria dan mengancam Viena. namun perhitungan lbrahim meleset, ia kalah dalam pertempuran itu secara berturut-turut. .
Pada tahun 1683, Turki Utsmani mengadakan penyerangan ke Benteng Wina, tetapi mereka mengalami kegagalan. Hal ini meyakinkan bangsa Barat dan Eropa bahwa Turki Utsmani telah lemah, untuk itu mereka mengadakan banyak serangan ke wilayah kekuasaan Turki Utsmani (L. Stodard, 1996: 26).
Sejak Sultan Turki gagal dalam merebut kota Wina pada tahun 1683, peranan Kerajaan Osmaniah pun di medan peperangan berubah. Sejak tahun 1683, tentara Turki kebanyakan hanya berusaha sekadar menangkis pukulan-pukulan musuh dan tidak berdaya untuk melancarkan seranganserangan (Philip K. Hitti, t.th.: 240).
Pada masa selanjutnya, wilayah Turki Utsmani yang luas itu sedikit demi sedikit terlepas dari kekuasaanya, direbut oleh negara-negara Eropa yang baru mulai bangun (Badri Yatim, 1997: 165). Pada tahun 1699 M.. terjadi perjanjian Karlowith yang memaksa sultan untuk menyerahkan seluruh Hongaria, sebagian besar Slovenia dan Kroasia kepada Hamburg; dan Heminietz, Pedolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmetia kepada orang-orang Venesia (Hasan ibrahim Hasan, i989: 340).
b. Kondisi sosial dan perekonomian Turki Utsmani pada abad ke-17
Ketidakstabilan politik Kerajaan Turki Utsmani pada abad ke 17 memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan ekonomi negara Akibat perang yang tak pernah berhenti, perekonomian negara merosot pendapatan berkurang, sementara belanja negara sangat besar, termasuk biaya perang (Yatim, 1997: 168).
Pada abad tersebut, jumlah penduduk Turki semakin banyak, sementara pada saat yang sama, kerajaan menghadapi problem intern sebagai dampak pertumbuhan perdagangan dan ekonomi internasional, mereka lebih maju jika dibandingkan dengan negara Turki Utsmani (Syafiq A. Mugni, 1996: 104).
Di Eropa, pada waktu itu telah muncul kapitalisme“. Sebagai akibat dari munculnya kapitalisme bangsa Eropa dan dominasi mereka di bidang perdagangan adalah terus menurunnya produksi industri kerajinan masyarakat Turki.
Ekspansi bangsa Eropa di bidang perdagangan dan meningkamya perputaran modal di antara mereka, telah memunculkan sejumlah industri baru di sektor industri logam dan tekstil. Industri baru itu telah memaksa mereka untuk mencari secara terus-menerus pasar baru bagi ekspor produksi mereka.
Para pengusaha kapitalis mengembangkan pasar dan industri mereka dengan menciptakan teknik dan kebutuhan baru dalam upaya bersaing dengan industri tradisional masyarakat Turki. Para pedagang Eropa membeli bahan mentah dari Turki kemudian mereka olah di Eropa.
Setelah itu, dibawa dan dipasarkan di Turki dengan diskon tinggi dan kualitas lebih bagus. Dengan cara ini, menyebabkan sektor industri kerajinan Turki banyak yang gulung tikar.
Selanjutnya, nilai tukar mata uang Turki terhadap mata uang asing menurun drastis, meskipun pemerintah telah berupaya untuk mengendalikan harga, tingkat inflasi dan nilai tukar mata uangnya. Harga makanan ikut merangkak naik secara bertahap dan konsekuensinya mempengaruhi jumlah pendapatan dan gaji para pegawai kerajaan.
Situasi perekonomian yang serba sulit ini memaksa kerajaan untuk mengevaluasi nilai mata uangnya kembali sehingga mengakibatkan dislokasi baru dan krisis keuangan berkelanjutan hingga perkembangan sejarah Kerajaan Turki pada masa berikutnya (Syafiq A. Mugni, 1996: 107).
c. Kondisi Seni Budaya, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi Kerajaan Turki Utsmani pada abad ke-17
Walaupun di bidang politik dan ekonomi banyak kemunduran, namun pada abad ke-l7. Kerajaan Turki Utsmani masih mengalami kemajuan dalam bidang budaya dan .seni. Di bidang syair yang menonjol pada abad ke-17 adalah Nefi' dan Syekh Al-lslam Zekeria Zade Yahyat Efend.
Dalam bidang sastra, prosa Kerajaan Utsmani pada masa tersebut melahirkan dua tokoh, yaitu Katip Celebi dan Evia Celebi. Katip Celebi mengarang buku Kasf al-Zunun fi Asmaailkutub wal Punun. Sementara Evia Celebi mengarang buku Seyahatname (Syafiq A. Mugni, 1997: 87-8).
Pada abad ke-l7, subur dengan karya populer yang berbentuk puisi dan cerita. Dalam kaitannya dengan masalah ilmu pengetahuan dan teknologi Kerajaan Turki Utsmani mengalami banyak kemandegan. Pada masa ini, filsafat, ilmu sejarah, astronomi, kedokteran, mekanik, dan lain-lain tidak berkembang, sementara di Eropa pada saat itu mengalami kemajuan.
Kerajaan Utsmani kurang berhasil dalam IPTEK disebabkan hanya mengutamakan kekuatan militer. Kekuatan militer tidak diimbangi oleh kemajuan ilmu dan teknologi, tidak sanggup menghadapi persenjataan musuh dari Eropa yang lebih maju dan canggih (Yatim, 1997: 168).
Kemandegan ilmu pengetahuan dan teknologi Kerajaan Utsmani ada kaitannya dengan perkembangan metode berpikir yang kolot dan tradisional, di kalangan ulama mereka cenderung menutup diri dari pengaruh kemajuan Eropa dan ini juga diakibatkan dengan menurunnya semangat berpikir bebas akibat pemahaman tasauf.
Demikianlah keadaan IPTEK Turki Utsmani, pada akhirnya Turki Utsmani runtuh karena banyak diserang oleh Eropa yang didukung dengan kecanggihan yang terus-menerus berkembang di tengah-tengah mereka.
Uraian di atas disimpulkan bahwa karakteristik dunia Islam pada abad ke-17 tertumpu pada tiga kerajaan besar, yaitu Kerajaan Syafawi di Persia, Mughal di India, dan Turki Utsmani di Turki dengan dua periode.
Periode 1500-1700 merupakan fase kemajuan Islam tiga kerajaan besar. Di masa itu, kemajuan Konstantinopel jatuh ke tangan Turki dan kemajuan ekspansi Islam ke Eropa Timur berjalan lancar sehingga kota Mina beberapa kali terancam jatuh pada tahun 1529 dan 1530.
Kerajaan Syafawi di Persia menjadikan aliran Syi'ah sebagai madzhab resmi dari kerajaan, dan semenjak itu sampai kini Iran adalah pusat aliran Syi'ah. Kerajaan Utsmani mengambil bentuk Sunni, dan pertentangan antara Sunni dan Syi'ah merupakan gangguan dalam politik internasional Islam yang dieksploitasi oleh Eropa yang pada masa itu telah mulai bangkit, untuk memperlemah serangan-serangan di Eropa Timur. Kerajaan Mughal di India berusaha memperkecil pertentangan antara Sunni dan Syi'ah.
Masing-masing dari ketiga kerajaan tersebut mempunyai masa kejayaan sendiri terutama dalam bentuk literatur dan arsitek. Masjid-masjid dan gedung-gedung indah masih dapat dilihat di Istambul, Turki, Hibris. Asfahan, dan kota-kota lain di Iran dan New Delhi di India.
Perhatian pada ilmu pengetahuan kurang sekali dan ilmu pengetahuan di seluruh dunia Islam memang merosot, tarekat terus-menerus mempunyai pengaruh besar dalam hidup umat Islam, dengan timbulnya Turki dan India sebagai kerajaan besar, di samping bahasa Arab dan Persi, bahasa Turki dan bahasa Urdu mulai muncul sebagai bahasa penting dalam Islam. Kedudukan bahasa Arab untuk menjadi bahasa persatuan bertambah menurun.
Kemajuan Islam II hanya merupakan kemajuan dalam lapangan politik dan jauh lebih kecil dari kemajuan Islam I. Namun demikian, perkembangan politik cukup signifikan pada masa itu. Seperti diketahui, Islam sebagai kekuatan politik internasional, cepat meluas daerah kekuasaannya keluar Semenanjung Arabia sehingga mencakup Suria, Palestina, Mesir, Afrika Utara, Spanyol, dan pulau-pulau Laut Tengah, seperti Sisilia, di barat, Mesopotamia (Irak), Persia, Asia Tengah, dan India di timur.
Pada saat itu, barat mulai bangkit, terutama dengan terbukanya jalan ke pusat rempah-rempah dan bahan mentah di Timur Jauh melalui Afrika Selatan dan dijumpainya Amerika oleh Colombus pada tahun 1492.
Periode 1700-1800 merupakan fase kemunduran dan merupakan kemunduran Islam II pada masa itu, Kerajaan Utsmani terpukul di Eropa, Kerajaan Syafawi dihancurkan oleh serangan-serangan suku bangsa Afgan, daerah kekuasaan Mughal di India terpencil oleh serangan rajaraja India, kekuatan militer dan politik, dagang, dan ekonomi umat Islam menurun.
Karakteristik yang terjadi pada masing-masing tiga kerajaan besar itu berbeda-beda. Di dua kerajaan besar, yaitu Syafawi dan Mughal pada abad ke-17 banyak mengalami kemajuan di bidang politik, sosial, ekonomi, seni budaya maupun di bidang ilmu pengetahuan.
Namun, di Kerajaan Turki Utsmani yang terjadi sebaliknya. Kerajaan ini pada abad ke-17 mengalami banyak kemunduran khususnya di bidang politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Secara spesifik, karakteristik Islam pada abad ke-17 ditandai dengan ketertutupan (psikologi orang bangkrut) yang sebelumnya jaya. Islam lebih bersifat reaksioner terhadap kemajuan Barat, perpecahan internal masih tetap kental antarumat Islam.
C. KERAJAAN SYAFAWI
Kerajaan Syafawi berdiri sejak tahun 1503-1722 M., (Marshal G.S. Hodson, t.th.: 16). Kerajaan ini berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini diberi nama tarekat .ryafawiyah, yang diambil dari nama pendirinya, Sati Al-Din dan nama Syafawi terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan, nama itu terus dilestarikan setelah gerakan ini berhasil mendirikan kerajaan (Yatim, 1997: 138).
Sementara itu, di Persia muncul suatu dinasti yang kemudian merupakan suatu kerajaan besar di dunia Islam. Dinasti ini berasal dari seorang sufi Syekh Ishak Safiuddin dari Ardabil di Azerbaijan (Nasution, op. cit., 1985: 84).
Safiuddin berasal dari keturunan yang berbeda dan memilih sufi sebagai jalan hidupnya. Ia keturunan dari Imam Syi'ah yang enam, Musa Al-Kazim. Oleh karena itu, untuk tahap selanjutnya Kerajaan Syafawi menyatakan Syi'ah sebagai madzhab negara. Karena itu, kerajaan ini dapat dianggap sebagai peletak pertama dasar terbentuknya negara Iran dewasa ini (Yatim, 1997: 138).
Suatu hal yang sangat spektakuler dari Kerajaan Syafawi bahwa kerajaan tersebut beraliran Syi'ah dan menjadikannya sebagai dasar keyakinan negara (Marshal, G.S. Hodson, t.th.: 16). Syekh Safiuddin beraliran Syi'ah dan mempunyai pengaruh besar di daerah Persia (Nasution, op. cit., hlm. 84).
Uraian di atas dapat dipahami bahwa penggagas awal berdirinya Kerajaan Syafawi adalah Syekh Ishak Safiuddin yang semula hanya sebagai mursyid tarekat dengan tugas dakwah agar umat Islam secara murni berpegang teguh pada ajaran agama.
Namun, pada tahun selanjutnya setelah memperoleh banyak pengikut fanatik akhirnya aliran tarekat ini berubah menjadi gerakan politik dan awal memperoleh kekuasaan secara konkret pada masa Junaid. Kerajaan Safiuddin beraliran Syi'ah dan menjadikannya sebagai dasar keyakinan negara.
1. Kondisi Politik dan Sosial Kerajaan Syafawi
Keadaan politik pada masa Syafawi mulai bangkit kembali setelah Abbas naik tahta dari tahun 1587-1629 dan dia menata administrasi negara dengan cara yang lebih baik (Marshal C.S. Hodson, Mb.: 38). Kondisi memprihatinkan Kerajaan Syafawi bisa diatasi setelah Raja Syafawi kelima, Abbas I naik tahta. ia memerintah dari tahun 1587-1629 M. (Yatim, 1997: 142) . Langkah-langkah yang ditempuh Abbas I dalam rangka memulihkan politik Kerajaan Syafawi adalah:
a. mengadakan pembenahan administrasi dengan cara pengaturan dan pengontrolan dari pusat;
b. pemindahan ibukota ke Isfahan, (Marshal G.S. Hodson, t.th.: 40);
c. berusaha menghilangkan dominasi pasukan Qiziblash atas Kerajaan Syafawi dengan cara membentuk pasukan baru yang anggotanya terdiri atas budakbudak yang berasal dari tawanan perang bangsa Georgia, Armenia, dan Sircassia yang telah ada sejak Raja Tamh l;
d. mengadakan perjanjian damai dengan Turki Utsmani;
e. berjanji tidak akan menghina tiga khalifah pada khotbah Jumat (Yatim, 1997: 142).
Reformasi politik yang dilakukan oleh Abbas I tersebut berhasil membuat Kerajaan Syafawi kuat kembali. Setelah itu, Abbas I mulai memusatkan perhatiannya merebuf kembali wilayah-wilayah kekuasaannya yang hilang (Yatim, 1997: 143).
Selanjutnya. perlu diketahui bahwa Kerajaan Syafawi dan Turki Utsmani sebelum abad ke-17 sudah saling bermusuhan dan Syafawi mengalami banyak kekalahan, namun setelah Abbas I naik tahta Kerajaan Syafawi dalam merebut wilayah kekuasaan Turki Utsmani banyak mengalami kemenangan.
Menurut Badri Yatim. rasa permusuhan antara dua kerajaan aliran agama yang berbeda ini tidak pernah padam sama sekali. Abbas I mengarahkan serangan-serangannya ke wilayah Kerajaan Turki Utsmani pada tahun 1602 M. Di saat Turki Utsmani berada di bawah Sultan Muhammad III.
Pasukan Abbas I menyerang dan berhasil menguasai Tabriz, Sirwan, dan Baghdad. Sedangkan Nakh Chivan, Erivan, Ganja, dan Tiflis dapat dikuasai tahun 1605-2906 M. Selanjutnya, pada tahun 1622 M., pasukan Abbas I berhasil merebut Kepulauan Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gumrun menjadi pelabuhan Bandar Abbas (Yatim, 1997: 143).
Pada tahun 1902 M., pecahlah perang Turki dengan Austria dan tentara Turki yang lain terpaksa pergi memadamkan pemberontakan kaum tarekat Jalaliah (Maulawiyah) di Asia Kecil. Kesempatan ini diambil oleh Syekh Abbas dan berhasil merebut kembali Tibriz dari tangan Turki. Setelah itu, dirampas juga Sirwan dan akhirnya diambilnya Baghdad kembali yang sudah berkali-kali jatuh ke tangan Turki (Hamka. 1981: 69).
Kemudian, ia sanggup menaklukkan negeri Kaukasus dan diperkuatnya batas-batas kekuasaan sampai ke Balakh dan Merv. Pada bulan Maret 1622 M. ia dapat pula merampas pulau Hurmuz yang telah sekian lama menjadi pangkalan kekuatan bangsa Portugis (Hamka, 1981: 69). Sesudah Syah Abbas I, tidak ada lagi Raja Syafawi yang kuat dan akhirnya kerajaan ini dapat dijatuhkan oleh Nadhir Syah (Nasution, 1985: 85).
2. Kondisi Keagamaan
Pada masa Abbas, kebijakan keagamaan tidak lagi seperti masa khalifah-khalifah sebelumnya yang senantiasa memaksakan agar Syi'ah menjadi agama negara, tetapi ia menanamkan sikap toleransi. Menurut Hamka, terhadap politik keagamaan beliau tanamkan paham toleransi atau lapang dada yang amat besar.
Paham Syi'ah tidak lagi menjadi paksaan, bahkan orang Sunni dapat hidup bebas mengerjakan ibadahnya. Bukan hanya itu saja, pendeta-pendeta Nasrani diperbolehkan mengembangkan ajaran agamanya dengan leluasa sebab sudah banyak bangsa Armenia yang telah menjadi penduduk setia di kota Isfahan (Hamka, 1981: 70).
3. Kondisi Ekonomi
Stabilitas politik Kerajaan Syafawi pada masa Abbas I ternyata telah memacu perkembangan perekonomian Syafawi, terlebih setelah kepulauan Hurmuz dikuasai dan pelabuhan Gumrun diubah, menjadi Bandar Abbas.
Dengan dikuasainya bandar ini, salah satu jalur dagang laut antara' timur dan barat yang biasa diperebutkan oleh Belanda, Inggris, dan Perancis sepenuhnya menjadi milik Kerajaan Syafawi (Yatim, 1997: 144).
Di samping sektor perdagangan, Kerajaan Syafawi juga mengalami kemajuan di sektor pertanian terutama di daerah bulan sabit subur (fortile crescent) (Yatim, 1997: 144). Namun, setelah Abbas I mangkat perekonomian, Syafawi lambat laun mengalami kemunduran dan puncak kemundurannya terjadi pada masa kekuasaan Syafi Mirza.
Pada masa itu. rakyat cenderung masa bodoh karena mereka sudah banyak memperoleh penindasan dari Syafi Mirza, tetapi saudagar-saudagar bangsa asing banyak berdiam di Iran dan mengendalikan kegiatan ekonomi (Hamka, 1981: 72).
4. Kondisi Bidang Ilmu Pengetahuan
Dalam sejarah Islam, bangsa Persia dikenal sebagai bangsa yang berperadaban tinggi dan berjasa dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila pada masa Kerajaan Syafawi, khususnya ketika Abbas I berkuasa, tradisi keilmuan terus berkembang.
Berkembangnya ilmu pengetahuan masa Kerajaan Syafawi tidak lepas dari suatu doktrin mendasar bahwa kaum Syi'ah tidak boleh taqlid dan pintu ijtihad selamanya terbuka. Kaum Syi'ah tidak seperti kaum Sunni yang mengatakan bahwa ijtihad telah terhenti dan orang mesti taqlid saja. Kaum Syi'ah tetap berpendirian bahwasanya mujtahid tidak terputus selamanya (Hamka, 1987: 70).
Ilmuan yang melestarikan pemikiran-pemikiran Aristoteles, Al-Farabi, dan Suhrowardi pada sekitar abad ke-17 di Kerajaan Syafawi adalah Mullah Sadr dan Mir Damad, (Marshal C.S. Hodson, t.th.; 44). Dalam keterangan lain disebutkan, ada beberapa ilmuan yang selalu hadir di majelis istana, yaitu Baha Al-Din Al-Syaerazi, filosof dan Muhammad Bagir Ibn Muhammad Damad, filosof ahli sejarah, teolog, dan ia adalah seorang yang pernah mengadakan observasi mengenai kehidupan lebah (Yatim, 1997: 144) Zende, Rud, dan istana Chihil Sutun.
Kota Isfahan juga diperindah dengan taman-taman yang ditata secara baik dan ketika Abbas wafat, beliau meninggalkan 162 masjid, 48 akademi, 1.802 penginapan, dan 273 pemandian yang ada di Isfahan (Marshal 6.5. Hodson, t.th.: 40).
Di bidang seni, kemajuan tampak begitu jelas gaya arsitektur bangunannya, seperti terlihat pada Masjid Syah yang dibangun tahun 1603 M. Unsur seni lainnya terlihat dalam bentuk kerajinan tangan, kerajinan karpet, permadani, pakaian, tenunan, mode, embikar, dan benda seni lainnya.
Seni lukis mulai dirintis sejak zaman Tamasp I, Raja Ismail pada tahun 1522 M. membawa seorang pelukis Timur ke Tabriz, pelukis itu bernama Bizhard (Marshal G.S. Hodson, Lt.: 40). Menurut Hamka (1987: 70) pada zaman Abbas I berkembanglah kebudayaan, kemajuan, dan keagungan pikiran mengenai seni lukis, pahat, syair, dan sebagainya.
Di antara pujangga yang gemerlapan bintangnya, ialah Muhammad Bagir ibn Muhammad Damad, ahli filsafat dan ilmu pasti. Abbas sendiri asyik dengan ilmu tersebut, bahkan tidak segan Abbas mengadakan penyelidikan sendiri.
Beliau tidak lengah menggerakkan kemajuan pengetahuan-pengetahuan khusus mengenai agama, terutama ilmu fiqh. Di antara ulama besar yang sangat ternama pada waktu itu ialah Baharudin Al-Amili, selain dari seorang ahli agama beliau pun ahli kebudayaan yang mengetahui soal-soal dari berbagai segi.
Pada waktu itu, hidup juga filosof Shadaruddm Asyaerozi, ahli filsafat ketuhanan yang banyak mempengaruhi timbulnya paham bahai yang sekarang mengakui diri mereka agama baru. Demikian puncak kemajuan yang dicapai oleh Kerajaan Syafawi pada masa Abbas I abad ke-17 dan setelah.Abbas I wafat, kondisi ilmu pengetahun dan seni mengalami banyak kemunduran.
D. Kesultanana Delhi (1192-1525 M)
Periode ini dipimpin oleh Quthbuddin Aybak setelah hancur Gaznawi (1186 M.) dan Dinasti Ghuri (1192 M. ). Dua dinasti di atas, tampaknya tidak mampu mengembangkan kekuasaannya Sementara Aybak lebih pandai karena ia memiliki kemampuan manajemen politik dan keterampilan yang sangat hebat.
Hingga akhirnya, Aybak secara independen. membentuk dinasti yang berpusat di Delhi dengan nama Kesultanan Delhi (1206-1526). Kesultanan yang berisi para budak militer, menandai adanya periode tunggal dalam sejarah muslim India.
Ini terjadi karena adanya kesinambungan kepemimpinan pemerintahannya, baik dalam suksesi kepemimpinan atas dasar warisan kepercayaan militer yang cukup panjang maupun dari segi keberlanjutan kepemimpinan para budak dan panglima yang tangguh berasal dari Turki dan Afganistan serta Asia Tengah, sebagai “penerus” tradisi Dinasti Mamluk.
Dalam tulisan Daniel Pipes yang dikutip Ajid dan Ading. menguraikan bahwa, realitas pemerintahan Aybak (Delhi) lebih mirip dengan pola militerisme Tartar Mongol. Dalam setiap kebijakan suksesi kepemimpinan militerisrne Tartar Mongol, para pengganti biasanya tidak selalu berasal dari sanak keluarga tetapi bisa saja dari orang yang dianggap mampu memimpin dan mengembangkan kekuatan militer kelompoknya.
Inilah periode kekuasaan para budak militer (the slave soldiers) yang mewarnai wilayah timur Islam pasca-Abbasiyah. Di sebelah barat,“ terutama Mesir dan Siria, kekuatan seperti ini ditunjukkan pula oleh para budak-budak militer Turki yang terorganisasi dalam Mulut Al-Burjr' dan Muluk Al-Bahri. Mereka pada umumnya mencari legitimasi kekuasaan yang bernaung di bawah legitimasi para pewaris keluarga Khalifah Dinasti Abbasiyah.
Hal itu dilakukan dalam rangka mendapat proteksi dan kharismatik dari masyarakat Islam secara luas bahwa pemerintahannya diakur oleh tradisi Abbasiyah. Tradisi seperti ini banyak dilakukan pada periode sebelumya oleh para daulat-daulat kecil (al-duwailat), di hampir seluruh provinsi kekuasaan Abbasiyah Baghdad untuk hidup secara mandiri dan setengah independen dalam berpolitik.
Kemandiriannya, secara teologi politik, belum sepenuhnya mereka tunjukkan. Pada umumnya, mereka masih bernaung dalam kewibawaan otoritas kekhalifahan pusat yang berdasarkan konsep klasik bahwa seorang khalifah harus berasal dari turunan Quraisy, Al-Aimmat min Quraisy, Sikap seperti ini terus mereka pelihara, baik melalui pencantuman nama para khalifah pusat dalam koin mata uang, mendoakannya dalam setiap kesempatan khotbah Jumat, bahkan melalui pemberian upeti kepada penguasa pusat yang masih dianggap sakral dalam politik.
Oleh karena itu. para panglima militer yang secara de facto dan de jure berkuasa penuh saat itu. secara politik di wilayah barat Baghdad, tetapi tidak berani menyebut dirinya sebagai khalifah. Mereka lebih senang untuk menyebut dirinya sebagai sultan.
Mereka sangat berjasa, terutama dalam menangkis berbagai serangan pasukan Salib dari Eropa yang hendak menjarah kmbali wilayah-wilayah Islam yang sebelumnya telah dikuasai oleh bangsa lain. Atas dasar itu, mereka terus berupaya untuk membuat garis genealogis yang menunjukkan bahwa ia berasal dari keluarga mulia, yakni dari silsilah keluarga raja-raja pra-Islam, seperti Raja Sasanid dari Persia.
Mereka pada umumnya tidak mungkin menyambungkannya dengan tokohtokoh keluarga besar Arab. Bahkan, tidak sedikit dari mereka (para panglima), mengungkapkan konsep dan strategi militer yang ditunjukkan dalam hal-hal yang berhubungan dengan kekuatan fisiknya.
Ini dilakukan untuk menunjukkan kekuatannya. Peran utama mereka adalah memperluas kekuatan Islam. Bahkan, mereka berkeinginan kuat untuk menunjukkan dan meyakinkan kepada raja dan masyarakat Hindu bahwa kekuasaannya sangat besar dan selalu menempati posisi yang hebat di mata rakyat India umumnya.
Peran utama ini, tampaknya didukung bukan hanya oleh kehebatannya dalam menata kekuatan militer, melainkan juga layalna. para budak militer yang selalu dibinanya agar terus membantu mereka dalam menjaga dan mengontrol kewibawaannya di mata rakyat India.
Keberhasilan dan kesuksesan sultan-sultan budak sebagai tradisi Mamluk terdahulu yang diterapkan dalam memerintah wilayah sekitar India, bukan hanya menghasilkan kontrol politik, melainkan juga sangat mewarnai proses Islamisasi.
Salah satu cara yang dilakukan para penguasa untuk mengenalkan Islam kepada mereka adalah menerjemahkan teksteks keislaman dengan jumlah kurang lebih 1.500 buah dari bahasa Arab dan Persia ke dalam berbagai bahasa lokal India.
Dengan cara demikian, pemikiran tentang keislaman masuk ke dalam masyarakat India, kecuali di pusat-pusat Hindu yang ekstrem seperti di Vijayanagar sebagaimana temuan Sayyidina Alvi sebagaimana dikutip Ajid dan Ading.
Lambat laun, posisi India sebagai simbol dari masyarakat rrmslim di Asia Selatan, secara keseluruhan berhasil mengembangkan warisan “kano-Turkish” dalam membangun peradaban di wilayah ini. Dalam hal tradisi militer, mereka membawa dasar-dasar karakter Turki, sedangkan dalam administrasi politik dan bahasa komunikasi pemerintahan (the language of high culture), bahasa Persia menjadi bahasa pengantar, sekaligus menjadi bahasa resmi di seluruh wilayah yang berada di bawah pemerintahan mereka.
Peran India, pada akhirnya menjadi solusi atau sebagai simbol dari arus pemikiran Islam yang membeku di Timur Tengah saat itu akibat suasana yang mencekam oleh situasi Mongolisme kembali menjadi cair oleh bangkitnya keislaman di Asia Selatan, terutama setelah Hijaz menjadi wilayah persimpangan antara India dan Mekah.
Contoh spesifik dalam hal ini adalah hubungan Sultan Muhammad Tughluq (1325-1351 M.) yang begitu dalam dengan pemikiran Ibnu Taymiyah (1263-1327 M.), seorang pemikir pasca-Mongol. Bahkan, ia terinspirasi oleh berbagai pemikiran ulama yang satu ini hingga ia banyak menggagas kembali penegakan sistem kekhalifahan untuk diterapkan di wilayah India.
Hubungan baik ia jalin melalui bahasa hubungan diplomatik dengan penguasa Mamluk di Mesir. Ternyata, mereka melindungi turunan para Khalifah Abbasiyah sebagai penguasa antarwaktu. Tughluq meminta legitimasi Spiritual sebagai penguasa yang sah kepada para Khalifah Abbasiyah di Mesir untuk memimpin umat Islam di India.
Kesadaran sejarah politik Sunni pada periode pertengahan ternyata terus tumbuh dan dipelihara oleh proses dan tradisi seperti ini. Kejayaan ini mulai menghilang ketika imperialisme Barat mulai berdatangan yang memandang bahwa pendirian wilayah kekuasaan tidak perlu meminta izin dan legitimasi dari siapa pun, kecuali dari rakyat yang mendukungnya.
Setelah periode Khalji (1290-1320 M.) dan Tughluq (1320-1413 M.) mulai menurun. Periode ini dipegang oleh keluarga budak Sayyid (1414-1451 M.), turunan keluarga Rasulullah SAW., dan keluarga Lodi (1451-1526 M.). Hingga Lodi digulingkan kepemimpinannya ketika kalah pertempuran dengan Zahiruddin Babut yang didukung oleh Timur Lenk (1526 M.). Sejak saat itu, Kesultanan Delhi hancur dan diganti dengan Kesultanan Mughal.
E. Kerajaan Munghal (India)
Kerajaan Mughal berdiri seperempat abad sesudah berdirinya Kerajaan Syafawi. Jadi, di antara tiga kerajaan besar Islam tersebut kerajaan inilah yang termuda. Kerajaan Mughal bukanlah kerajaan Islam pertama di anak Benua India.
Awal kekuasaan Islam di wilayah India terjadi pada masa Khalifah Al-Walid, dari Dinasti Bani Umayah. Penaklukan wilayah ini dilakukan oleh tentara Bani Umayah di bawah pimpinan Muhammad ibn Qosim (Syed Muhammad Natsir, t.th.: 163).
Kerajaan Mughal didirikan oleh Zahiruddin Babur, salah satu dari . cucu Timur Lenk, (Syed Muhammad Natsir, t.th.: 262). Kerajaan Mughal mulai berkuasa sejak tahun 1526 sampai tahun 1707, (Marshal S.S. Hodson, t.th.: 59).
Kerajaan ini memiliki sultan-sultan yang besar dan terkenal pada abad ke-l7, yaitu Akbar (1556-1606), Jengahir (1605-1627) dengan permaisurinya Nurjannah, Syah Jehan (1628-1658), dan Aurangzeb (1659-1707) (lihat Syed Muhammad Natsir, cm.-. 226, 272, 274, 277). Masing-masing dari ketiga kerajaan ini mempunyai masa kejayaan sendiri baik di bidang ekonomi, budaya. maupun arsitektur.
1. Kondisi Politik dan Sosial Kerajaan Mughal Abab ke-17
Di masa Akbar kerajaan tidak dijalankan dengan kekerasan, ia banyak menyatu dengan rakyat dari berbagai agama tidak dipandangnya sebagai orang lain dan dirinya pun dibuatnya menjadi orang Hindustan sejati.
Dalam urusan pemerintahan, dia menyusun pentadbiran secara teratur yang jarang taranya, sehingga Inggris satu setengah abad kemudian setelah menaklukkan India, tidak dapat memilih jalan lain, hanya meneruskan administrasi Sultan Akbar (Hamka, 1987: 50, 150).
Amir-amir dan sultan-sultan Islam yang selama ini berkuasa di daerahnya sendiri dengan cara kesewenang-wenangan bersama dengan para maharaja beragama Brahmana, berkat Akbar semuanya telah menjadi tiang-tiang bagi sebuah imperium Islam yang besar di Benua India.
Di samping itu, pemerintahan tidak dipegangnya sendiri, tetapi diadakannya menteri-menteri. Kepada pemungut pajak diperintahkan dengan keras agar tidak memungut pajak dengan memaksa dan memeras. Di dalam persoalan agama, beliau sangat toleran dan bagi orang yang beragama Hindu dihormati oleh Akbar dan tidak dipaksa untuk memeluk agama Islam (Hamka, 1987: 150-1).
Dengan demikian, Akbar adalah seorang reforman Kerajaan Mughal yang telah menata pemerintahan dengan sistem yang lebih baik dibanding dengan kerajaan-kerajaan sebelumnya. Di bidang agama, ia adalah sebagai tokoh moderat yang memberikan kebebasan kepada pemeluknya untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinannya masing-masing.
Dengan adanya kebijakan seperti di atas, rakyat India sangat simpati kepadanya dan kehidupan sosial masyarakat saling hormat-menghomiati serta senantiasa menjunjung tinggi toleransi. Setelah Akbar wafat, Kerajaan Mughal digantikan oleh Salim dengan gelar Nuruddin Muhammad Jangahir Padshah Ghazi, (Syed Mahmudunnasir, t.th.: 272).
Jangahir dalam memerintah kerajaan tidak sehebat ayahnya Akbar, ia terlalu baik hati dan lemah terutama karena pengaruh permaisuri yang suka mencampuri pemerintahan di belakang layar. Jangahir beraliran Sunni, bahasa resmi yang dipakai adalah bahasa Persia, (Hamka, 1987: 155).
2. Kondisi Pengetahuan dan Seni Kerajaan Mughal Abad ke-17
Bersamaan dengan majunya bidang ekonomi Kerajaan Mughal pada abad ke-17, mengalami kemajuan dalam bidang pengetahuan, seni, dan budaya. Di bidang pengetahuan kebahasaan Akbar telah menjadikan tiga bahasa sebagai bahasa nasional, yaitu bahasa Arab sebagai bahasa agama, bahasa Turki sebagai bangsawan dan bahasa Persia sebagai bahasa istana dan kesusastraan (Hamka, 1987: l52).
Selain itu, Akbar telah memodiiikasi tiga bahasa tersebut ditambah dengan bahasa Hindu dan menjadi bahasa Urdu (Hamka, 1987: 152). Di bidang filsafat cukup maju dan satu di antara tokohnya adalah Akbar sendiri, sementara ahli tasawuf yang terkenal pada masa itu adalah Mubarok, Abul Faidhl, dan Abul Fadl, (Hamka, 1987: 152).
Sementara karya seni yang paling menonjol adalah karya sastra gubahan penyair istana, baik yang berbahasa Persia maupun bahasa India. Penyair India yang terkenal adalah Malik Muhammad Jayadi seorang sastrawan sufi yang menghasilkan karya besar yang berjudul Padmavat, sebuah karya alegoris yang mengandung pesan kebajikan jiwa manusia, (Yatim, 1997: 151).
Karya seni yang dapat dinikmati sekarang merupakan karya seni terbesar yang dicapai Kerajaan Mughal adalah karya-karya arsitektur yang indah dan mengagumkan. Pada masa Akbar, dibangun Istana Fatpur di Sikri, vila, dan masjid yang indah. Pada zaman Syah Jehan, dibangun masjid berlapiskan mutiara dan Tajmahal di Aqra, Masjid Raya Delhi di Istana Indah, Lahore, (Yatim, 1997: 151).
Gedung-gedung sejarah yang ditinggalkan periode ini (abad ke-17) adalah Tajmahal di Aqra, Benteng Merah, lama Masjid, istana-istana, dan gedung-gedung pemerintahan di Delhi. Sultan-sultan Mughal juga mendirikan makam-makam yang indah, (Nasution, 1985: 86). Berdasarkan uraian di atas maka ilmu pengetahuan, seni, dan budaya pada masa Kerajaan Mughal cukup pesat, khususnya pada masa Akbar dan Aurangzeb.