Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

BAB 6 Peradaban Islam Pada Masa Muawiyah Timur (661 - 680 M) dan Andalusia (661 - 680)

A. Masa Umayah di Timur ( 661 - 680 )

Hampir semua sejarawan membagi Dinasti Umayah (Umawiyah) mnjadi dua, yaitu pertama, Dinasti Umayah yang dirintis dan didirikan oleh Muawiyah Ibn Abi Sufyan yang berpusat di Damaskus (Siria). Fase ini berlangsung sekitar satu abad dan mengubah sistem pemerintahan dari sistem khilafah pada sistem mamlakat (kerajaan atau monarki)” dan kedua.

Dinasti Umayah di Andalusia (Siberia) yang pada awalnya merupakan wilayah taklukan Umayah di bawah pimpinan seorang gubernur pada zaman Walid Ibn Abd Al-Malik; kemudian diubah menjadi kerajaan yang terpisah dari kekuasaan Dinasti Bani Abbas setelah berhasil menaklukkan Dinasti Umayah di Damaskus.

BAB 6 Peradaban Islam Pada Masa Muawiyah Timur (661 - 680 M) dan Andalusia (661 - 680)

Perintisan Dinasti Umayah dilakukan oleh Muawiyah dengan cara menolak membai'at Ali, berperang melawan Ali, dan melakukan perdamaian (tahkim) dengan pihak Ali yang secara politik sangat menguntungkan Muawiyah.

Keberuntungan Muawiyah berikutnya adalah keberhasilan pihak Khawarij membunuh Khalifah Ali r.a. Jabatan khalifah setelah Ali r.a. wafat, dipegang oleh putranya, Hasan Ibn Ali selama beberapa bulan. Akan tetapi, karena tidak didukung oleh pasukan yang kuat, sedangkan pihak Muawiyah semakin kuat, akhirnya Muawiyah melakukan perjanjian dengan Hasan lbn Ali.

Isi perjanjian itu adalah bahwa penggantian pemimpin akan diserahkan kepada umat Islam setelah masa Muawiyah berakhir. Perjanjian ini dibuat pada tahun 661 M. (41 H.) dan tahun tersebut disebut am jama 'ah karena perjanjian ini mempersatukan umat Islam kembali menjadi satu kepemimpinan politik. yaitu Muawiyah dan Muawiyah mengubah sistem khilafah menjadi kerajaan.

Pada masa itu, Umat Islam telah bersentuhan dengan peradaban Persm dan Bizantium. Oleh karena itu, Muawiyah juga bermaksud meniru cara suksesi kepemimpinan yang ada di Persia dan Bizantium, yaitu monarki (kerajaan). Akan tetapi, gelar pemimpin pusat tidak disebut raja (malik).

Muawiyah tetap menggunakan gelar khalifah dengan makna konotatif yang diperbaharui. Jika pada zaman khalifah empat, khalifah (pengganti) yang dimaksudkan adalah Khalifah Rasul SAW. (Khalifat Al-Rasul) adalah pemimpin masyarakat; sedangkan pada zaman Bani Umayah, yang dimaksud dengan khalifah adalah Khalifah Allah (Khalifa: Allah) adalah pemimpin atau penguasa yang diangkat oleh Allah. Langkah awal dalam rangka memperlancar pengangkatan Yazid sebagai penggantinya adalah menjadikan Yazid Ibn Muawiyah sebagai putra mahkota (tahun 53 H.) 2).

Pemerintahan Bani Umawiyah dinisbatkan kepada Umayah bin Abd Syams bin Abdi Manaf. Dia adalah salah seorang tokoh penting di tengah Quraisy pada masa Jahiliyah. Dia dan pamannya Hasyim bin Abdu Manaf selalu bertarung dalam memperebutkan kekuasaan dan kedudukan.

Setelah Islam datang, pertarungan menduduki kekuasaan ini menjelma menjadi sebuah permusuhan yang transparan dan terbuka. Bani Umayah melakukan perlawanan terhadap Rasulullah dan dakwahnya, sedangkan, Bani Hasyim mendukung Rasulullah dan mengikutinya. Bani Umayah tidak masuk Islam, kecuali ketika tidak ada jalan lain, yang mengharuskan mereka masuk Islam. Ini terjadi setelah penaklukan kota Mekah.

1. Pola Administratif Pemerintahan Umayah

Khalifah Muawiyah mendirikan suatu pemerintahan yang terorganisasi dengan baik. “Ketika Muawiyah menjadi penguasa terjadi banyak kesulitan. Pemerintahan imperium yang didesentralisasikan itu tampak kacau.

Munculnya berbagai anarkisme dan ketidakdisiplinan kaum nomad yang tidak lagi dikendalikan oleh ikatan agama dan moral menyebabkan ketidakstabilan di mana-mana dan hilangnya kesatuan. Ikatan teokraat yang telah mempersatukan kekhalifahan yang lebih dulu, tanpa dapat dihindari telah dihancurkan oleh pembunuhan Utsman, oleh perang saudara sebagai akibatnya, dan oleh pemindahan ibukota dari Madinah.

Oligarki di Mekah dikalahkan dan dicemarkan. Muawiyah mencoba untuk mencari suatu dasar baru bagi kepaduan imperium. Oleh karena itulah, dia mengubah kedaulatan agama menjadi negara sekuler. Sekalipun demikian, unsur agama di dalam pemerintah dan pemerintahan tidak hilang sama sekali. Muawiyah tetap mematuhi formalitas agama dan kadang-kadang menunjukkan dirinya sebagai pejuang Islam.

Muawiyah melaksanakan perubahan-perubahan besar dan menonjol di dalam pemerintahan negeri itu. Angkatan daramya kuat dan efisien. Dia dapat mengandalkan pasukan orang-orang Siria yang taat dan setia. yang tetap berdiri di sampingnya dalam keadaan yang paling berbahaya sekalipun.

Dengan bantuan orang-orang Siria yang setia, Muawiyah berusaha mendirikan pemerintahan yang stabil menurut garis-garis pemerintahan Bizantium. Dia bekerja keras bagi kelancaran sistem yang untuk pertama kali digunakannya.

Muawiyah merupakan orang pertama di dalam Islam yang mendirikan suatu departemen pencatatan (diwanulkahatam). Setiap peraturan yang dikeluarkan oleh khalifah harus disalin di dalam suatu register, kemudian yang asli harus disegel dan dikirimkan ke alamat yang dituju.

Sebelumnya, yang dikirimkan adalah perintah-perintah yang terbuka. Pernah terjadi khalifah memberikan 1.000 dirham kepada seseorang dari perbendaharaan provinsi. Surat yang berisi perintah itu dicegat di tengah jalan, dan jumlahnya diubah dengan angka yang lebih tinggi.

Pelayanan pas (diwanulbarid) kabarnya telah diperkenalkan oleh Muawiyah. Barid (kepala pas) memberi tahu pemerintah pusat tentang apa yang sedang terjadi di dalam pemerintahan provinsi. Dengan cara ini, Muawiyah melaksanakan kekuasaan pemerintah pusat.

Dia membentuk dua sekretariat imperium (pusat) yang medianya bahasa Arab, dan sekretariat provinsi yang menggunakan bahasa Yunani dan bahasa Persia. Sebagai seorang administrator yang berpandangan jauh, Muawiyah memisahkan urusan keuangan dari urusan pemerintahan. Dia mengangkat seorang gubernur di setiap provinsi untuk melaksanakan pemerintahan.

Akan tetapi, untuk memungut pajak, di masing-masing provinsi, dia mengangkat seorang pejabat khusus dengan gelar sahibulkharaj. Pejabat ini tidak terikat dengan gubernur, dan dia diangkat oleh khalifah. Dalam masalah keuangan, gubernur harus menggantungkan dirinya pada sahibulkharaj, dan hal ini membatasi kekuasaannya. Demikianlah Muawiyah mengembangkan suatu keadaan yang teratur dari kekacauan. 

Muawiyah meninggal dunia pada bulan April 680 M. Secara keseluruhan, setelah memerintah imperium Islam selama kira-kira 20 tahun, masa pemerintahannya merupakan masa kemakmuran dan perdamaian di dalam negeri serta keberhasilan di luar negeri. 

Tidak sedikit keberhasilan Khalifah Muawiyah berkat jasa para pengikut yang ditempatkan di sekelilingnya, terutama Amar bin Aas, wali Mesir yang subur, Al-Mughirah, gubernur Al-Kufa yang bergolak, dan Ziad bin Abih, penguasa Al-Bashrah.

2. Ekspansi pada Masa Umayah

Secara umum, penaklukan pemerintahan Bani Umawiyah, meliputi tiga wilayah. Pertama, melawan pasukan Romawi di Asia Kecil. Penaklukan ini sampai dengan pengepungan Konstantinopel dan beberapa kepulauan di Laut Tengah. 

Kedua, wilayah Afrika Utara. Penaklukan ini sampai ke Samudra Atlantik dan menyeberang ke Gunung Thariq hingga ke Spanyol. Ketiga, wilayah timur. Penaklukan ini sampai ke sebelah timur Irak. Kemudian, meluas ke wilayah Turkistan di utara, serta ke wilayah Sindh di bagian selatan. 

Ekspansi Bani Umayah dalam rangka memperluas wilayah kekuasaan merupakan lanjutan dari ekspansi yang dilakukan oleh para pemimpin Islam sebelumnya. Muawiyah berhasil menaklukkan Tunis, Khurasan sampai ke sungai Oxus serta Afganistan sampai Kabul; dan angkatan laut Muawiyah menyerang Konstantinopel (ibukota Bizantium). 

Ekspansi ini kemudian dilanjutkan oleh Khalifah Abd Al-Malik. Ia berhasil menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Fergana, Samarkand, dan bahkan sampai ke India dengan menguasai Balukhistan, Sind, dan daerah Punjab sampai ke Mahan.

Selain itu, Walid Ibn Abd Al-Malik adalah khalifah yang berhasil menundukkan Maroko dan Al-lazair. Dari kota ini, serangan kemudian dilanjutkan ke Eropa atas pimpinan Thariq Ibn Ziyad. Tentara Spanyol dapat dikalahkan oleh pasukan Thariq. 

Oleh karena itu, ibukota Spanyol, Kordova, dapat dikuasai. Setelah itu, dikuasai pula kota Seville, Elvira, clan Toledo. Pada zaman Umar Ibn Abd Al-Aziz, serangan dilakukan ke Perancis yang dipimpin oleh Abd Ar-Rahman Ibn Abdullah Al-Gafiqi. 

Di Perancis, umat Islam berhasil menundukkan Bordeau dan Poitiers, kemudian serangan dilanjutkan untuk menundukkan kota Tours. Namun, Al-Gaftqi mati terbunuh, akhirnya tentara Islam mundur dan kembali ke Spanyol. 

Secara operasional, Ahmad Al-Usairy menjelaskan lekak-likuk penaklukan tersebut bahwa ke wilayah Romawi (Turki) ketika itu selalu dilakukan pengintaian dan ekspedisi ke sana. Tujuannya adalah menaklukkan Konstantinopel. 

Kota itu dikepung pada tahun 50 H./670 M. dan tahun 53-61 H./672-68O M., namun tidak berhasil ditaklukkan. Muawiyah membentuk pasukan laut yang besar yang siaga di Laut Tengah dengan kekuatan 1.700 kapal. Dengan kekuatan itu, dia berhasil memetik berbagai kemenangan. 

Dia berhasil menaklukkan pulau Jarba di Tunisia pada tahun 49 H./669 M., kepulauan Rhodesia pada tahun 53 H./673 M., kepulauan Kreta pada tahun 55 H./624 M., kepulauan Ijih dekat Konstantinopel pada tahun 57 H./680 M.

Di Afrika, Benzarat berhasil ditaklukkan pada tahun 41 H./661 M., Qamuniyah (dekat Qayrawan) ditaklukkan pada tahun 45 H./665 M., Susat juga ditaklukkan pada tahun yang sama. Uqbah bin Nafi berhasil menaklukkan Sirt dan Mogadishu, Tharablis, dan menaklukkan Wadan kembali. 

Kota Qayrawan dibangun pada tahun 50 H./ 670 M. Kur sebuah wilayah di Sudan berhasil pula ditaklukkan. Akhirnya, penaklukan ini sampai ke wilayah Maghrib Tengah (Aljazair). Uqbah bin Nafi adalah komandan yang paling terkenal di kawasan ini. 

Selain itu,'penaklukan meluas ke kawasan timur (negeri Asia Tengah dan Sindh). Negeri-negeri Asia Tengah, meliputi kawasan yang berada di antara sungai Sayhun dan Jayhun. Di antara kerajaan yang paling penting adalah Thakharistan dengan ibukotanya Balkh, Shafaniyan dengan ibukota Syawman, Shaghad dengan ibukota Samarkand dan Bukhari, Farghanah dengan ibukota Jahandah, Khawarizm dengan ibukota Jurjaniyah, Asyrusanah dengan ibukota Banjakat, Syasy dengan ibukota Bankats. 

Mayoritas penduduk di kawasan itu adalah kaum paganis. Pasukan islam menyerang wilayah Asia Tengah pada tahun 41 H. /66l M. Pada tahun 43 H./663 M.. mereka mampu menaklukkan Sajistan dan sebagian wilayah Thakharistan pada tahun 44 H./665 MMereka sampai ke wilayah Quhistan. 

Pada tahun 44 H./664 M., Abdullah bi“ Ziyad tiba di pegunungan Bukhari. Pada tahun 44 H./664 M.. kaum muslimin menyerang wilayah Sindh dan India. Penduduk di tempat itu, selalu melakukan pemberontakan sehingga membuat kawasan itu tidak iramanya stabil, kecuali pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik.

3. Peradaban pada Masa Umayah Timur

a. Penyempurnaan Tulisan Al-Quran

Al-Quran yang telah dikodiflkasi pada zaman Abu Bakar dan Utsman Ibn Affan ditulis tanpa titik (sehingga tidak dapat dibedakan antara huruf fa dengan huruf qaf atau antara huruf ba dengan huruf ta, dan huruf tsa, serta tidak menggunakan baris sehingga tidak dapat dibedakan antara dhammah yang berbunyi u, fathah yang berbunyi a, dan kasrah yang berbunyi i. 

Menurut salah satu riwayat, ulama pertama yang memberikan baris dan titik pada huruf-huruf Al-Quran adalah Hasan Al-Bashri (642-728 M.) atas perintah Abd Al-Malik Ibn Marwan (yang menjadi khalifah antara 685-705 M.). 

Abd Al-Malik Ibn Marwan menginstruksikan kepada Al-Hajjaj untuk menyempurnakan tulisan Quran; Al-Hajjaj meminta Hasan Al-Bashri untuk menyempumakannya; dan Hasan Al-Bashri dibantu oleh Yahya Ibn Ya'mura (murid Abu Al-Aswad Ad-Duwali). Dalam riwayat lain dikatakan bahwa yang pertama membuat baris dan titik pada hurufhuruf Al-Quran adalah Abu Al-Aswad Ad-Duwali.

b. Penulisan Hadis 

Umar Ibn Abd Al-Aziz adalah khalifah yang memelopori penulisan (tadwin) hadis. Beliau memerintahkan kepada Abu Bakar Ibn Muhammad Ibn Amr Ibn Hajm (120 H.), gubernur Madinah, untuk menuliskan hadis yang ada dalam hafalan-hafalan penghafal hadis. Umar Ibn Abd Al-Aziz menulis surat sebagai berikut : 

“Periksalah hadis Nabi Muhammad SAW., dan tuliskanlah karena aku khawatir bahwa ilmu (hadis) akan lenyap dengan meninggalnya ulama dan tolaklah hadis, selain dari Nabi Muhammad SAW. hendaklah hadis disebarkan dan diajarkan dalam majelis-majelis sehingga orang-orang yang tidak mengetahui menjadi mengetahuinya; sesungguhnya hadis itu tidak akan rusak sehingga disembunyikan (oleh ahlinya).” 

Atas perintah khalifah, pengumpulan hadis dilakukan oleh ulama. Di antaranya adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Muslim Ibn Ubaidillah Ibn Syihab Az-Zuhri (guru Imam Malik). Akan tetapi, buku hadis yang dikumpulkan oleh Imam Az-Zuhri tidak diketahui dan tidak sampai kepada kita. Dalam sejarah tercatat bahwa ulama yang pertama membuktikan hadis adalah Imam Az-Zuhrim.

4. Aliran-aliran Keagamaan pada Masa Umayah

a. Khawarij adalah kaum yang mendesak Ali untuk menghentikan peperangan pada Perang Shiffin dan menjalakan proses hukum melalui Al-Quran. Namun, kemudian menolak hasil perundingan antara pihak Ali dan Muawiyah. 

Setelah itu, mereka melakukan pemberontakan di Harura dan melakukan kerusakan di muka bumi. Mereka dibinasakan oleh Ali bin Abi Thalib dalam perang Nahrawand, namun masih banyak yang tersisa di kalangan pasukannya. Salah seorang di antara mereka berhasil membunuh Ali. 

Pada masa pemerintahan Muawiyah, mereka melakukan beberapa kali pemberontakan di Kufah dan Bashrah, hingga kembali mereka dihancurkan oleh gubernur Bashrah saat itu, yaitu Ziyad Ibnu Abihi dan anaknya Abdullah bin Ziyad. Mereka adalah dua orang yang sangat keras terhadap mereka. 

Orang-orang Khawarij adalah manusia-manusia kampungan yang kaku, keras kepala, dan menginginkan manusia hanya ada dalam dua kubu, yaitu kafir dan mukmin. Barang siapa yang sesuai dengan pandangan-pandangannya, ia dianggap sebagai orang mukmin; dan barang siapa yang dianggap tidak sesuai dengan pandangannya, ia akan dianggap sebagai orang kafir.

Mereka menuduh Utsman. Ali. dan Muawiyah sebagai orang kafir. Mereka selalu memerangi siapa saja yang tidak berada di dalam jamaah mereka dan menghalalkan darah kaum muslimin. Mereka adalah manusia manusia yang sering menimbulkan bencana. 

Jika ditilik secara umum kemenangan paling menonjol yang mereka capai adalah masa pemerintahan Bani Umawiyah. Sekte mereka yang paling menonjol adalah Azariqah, Najdat, ibadhiyah, Ajaridah, dan Saffariahm. 

Dalam tulisan Jaih Mubarok, dijelaskan bahwa awal pendirian Umayah ditandai dengan munculnya kelompok yang kontra terhadap Ali dan Muawiyah, yaitu Khawarij. Di samping berperan sebagai gerakan politik. Khawarij juga berperan sebagai aliran teologi Islam. 

Gagasan Khawarij yang merupakan perpaduan antara pemikiran teologi dan politik terletak pada gagasannya tentang kewajiban menggunakan hukum Allah dengan adagium LE Hukma ila Ulah. Akan tetapi, Khawarij kemudian terpecah-pecah menjadi kelompok kecil yang akibatnya adalah terjadi perbedaan gagasan antara aliran yang satu dan aliran yang lain. 

Bagi Khawarij, menyelesaikan sengketa bukan dengan hukum Allah adalah pengingkaran; dan dalam pandangan mereka, tahkim antara pihak Ali r.a. dengan Muawiyah dilakukan tanpa hukum Allah. Oleh karena itu, Ali Ibn Abi Thalib dan Muawiyah dianggap telah melakukan dosa besar. 

Khawarij mengafirkan pihak-pihak yang melakukan dosa besar; dan mereka berpendapat bahwa hukum membelot dari pemimpin yang menyalahi Sunnah Nabi Muhammad ' SAW. adalah wajib. Lebih dari itu, Khawarij berpendapat bahwa pelaku dosa besar, termasuk para sahabat Nabi Muhammad SAW., seperti Ali r.a., Muawiyah, Amr Ibn Al-Ash, dan Abu Musa Al-Asy'ari akan ditempatkan di neraka selamanya. 

Keyakinan Khattiarij tentang Ali r.a., Muawiyah, Amr Ibn AlAsh, dan Abu Musa Al-Asy’ari sebagai pelaku dosa besar dan akan ditempatkan di neraka selamanya pada hari akhirat nanti, menimbulkan keraguan di kalangan masyarakat Islam. 

Bagaimana mungkin sahabat Ali r.a. yang telah banyak berkorban dalam membela kehidupan Nabi Muhammad SAW. dianggap ingkar dan akan ditempatkan di neraka selamanya, padahal beliau termasuk as-s abiqun al-awwalun yang memperoleh jaminan dari Nabi Muhammad SAW. untuk dimasukkan ke surga.

b. Murji'ah, secara bahasa, murjiat berasal dari kata al-irja (mengakhirkan, al-ta'khir atau memberikan harapan (i ':ha al'aja '). Arti pertama relevan dengan Khawarij karena adagium yang mereka gunakan, yaitu maksiat tidak akan merusak iman, dan taat tidak akan bermanfaat bagi kekafiran. 

Makna kedua relevan dengan Khawarij karena mereka tidak mau menentukan hukum bagi yang melakukan dosa besar di dunia ini apakah ia akan ditempatkan di surga atau di neraka dan sebagai antitesis dari Syi'ah yang menempatkan Ali sebagai sahabat Nabi Muhammad SAW. pada derajat paling tinggi atau nomor satu, Murji'ah juga berarti kelompok yang menempatkan Ali r.a. pada urutan keempat. Di antara gagasannya yang terpenting adalah bahwa mukmin yang melakukan maksiat akan disiksa oleh Allah di akhirat nanti; dan setelah disiksa, mereka akan ditempatkan di surga.

c. Aliran fiqh, dalam (analisis Nurcholish Madjid), di bawah pimpinan Khalifah Muawiyah. Masa kekhalifahannya disebut ibu Taymiyyah sebagai permulaan masa “kerajaan dengan rahmat” (at-mull: bi alrahmah). 

Pada saat itu. kaum muslim dapat dikatakan kembali pada keadaan, seperti zaman Abu Bakar dan Umar (zaman (Asy-Syaykhani, “Dua Tokoh”) yang amat dirindukan banyak orang, termasuk para “aktivis militan” yang membunuh Utsman (ran yang kemudian (ikut) mensponsori pengangkatan Ali, namun akhiri ya berpisah dan menjadi golongan Khawarij). 

Apapun kualitas kekhalifahan Muawiyah, dalam hal masalah penegakan hukum, mereka tetap sedapat mungkin berpegang dan meneruskan tradisi para khalifah di Madinah dahulu, khususnya tradisi Umar. Oleh karena itu, ada semacam “koalisi” antara Damaskus dan Madinah (tetapi suatu koalisi yang tak pernah sepenuh hati, akibat masalah keabsahan kekuasaan Bani Umayah itu). 

“Koalisi” itu mempunyai akibat cukup penting dalam bidang fiqh, yaitu tumbuhnya orientasi kehukuman (lslam) pada Hadis atau Tradisi (dengan “T” besar) yang berpusat di Madinah dan Mekah serta mendapat dukungan langsung atau tak langsung dari rezim Damaskus. 

Sementara banyak tokoh Madinah sendiri tetap mempertanyakan keabsahan rezim Umayah. lrak dengan kota-kota Kufah dan Bashrah adalah kawasan yang selalu petensial menentang Damaskus secara efektif. Ini kemudian berdampak tumbuhnya dua orientasi dengan perbedaan yang cukup penting: Hijaz (Mekah-Madinah) dengan orientasi Hadisnya, dan Irak (Kufah-Bashrah) dengan orientasi penalaran pribadi (ra ”y)-nya. Penjelasan menarik tentang hal ini diberikan oleh Syaykh Ali Al-Khafif. 

“Pada zaman itu (zaman tabiin, dalam ifta’ (pemberian fatwa) ada dua aliran, yaitu aliran yang cenderung pada kelonggaran dan bersandar atas penalaran, kias, penelitian tentang tujuan-tujuan hukum dan alasan-alasannya, sebagai dasar ijtihad. Tempatnya ialah lrak. 

Dan aliran yang cenderung tidak pada kelonggaran dalam hal tersebut, dan hanya bersandar pada bukti-bukti atsar (peninggalan atau “petilasan”, yakni tradisi atau sunnah) dan nash-nash. Tempatnya ialah Hijaz. Adanya dua aliran itu merupakan akibat yang wajar dari situasi masing-masing Hijaz dan irak.

Hijaz adalah tempat tinggal kenabian. Di situlah Rasul menetap, menyampaikan seruannya, kemudian para sahabat beliau menyambut, mendengarkan, memelihara sabda-sabda beliau, dan menerapkannya. Dan (Hijaz) tetap menjadi tempat tinggal banyak dari mereka (para sahabat) yang datang kemudian sampai beliau wafat. Kemudian mereka ini mewariskan apa saja yang mereka ketahui kepada penduduk (berikut)-nya, yaitu kaum tabiin yang bersemangat untuk tinggal di sana ...., 

Adapun Irak telah mempunyai peradaban sendiri, sistem pemerintahannya, kompleksitas kehidupannya, dan tidak mendapatkan bagian dari sunnah, kecuali melalui para sahabat dan tabiin yang pindah ke sana. Dan yang dibawa pindah oleh mereka itu pun masih lebih sedikit daripada yang ada di Hijaz. 

Padahal, peristiwa-peristiwa (hukum) di Irak itu, disebabkan masa lampaunya adalah lebih banyak daripada yang ada di Hijaz; begitu pula kebudayaan penduduknya dan terlatihnya mereka pada penalaran adalah iebih luas dan lebih banyak. Oleh karena itulah, keperluan mereka pada penalaran lebih kuat terasa, dan penggunaannya juga lebih banyak. 

Penyandaran diri kepadanya juga tampak lebih jelas, mengingat sedikitnya sunnah pada mereka yang tidak memadai untuk semua tuntutan mereka, Ini masih ditambah dengan kecenderungan mereka untuk banyak membuat asumsiasumsi dan perincian karena keinginan mendapatkan tambahan pengetahuan, penalaran mendalam, dan pelaksanaan yang banyak.

Jika dikatakan bahwa orang-orang Hijaz adalah Ahli Ar-Riwayah (kelompok Riwayat, karena mereka banyak berpegang pada penuturan masa lampau, seperti hadis sebagai pedoman) dan orang-orang Irak adalah Ahl Ar-Ra'y (kelompok penalaran, dengan isyarat tidak banyak mementingkan “riwayat”), sesungguhnya itu hanya karakteristik gaya intelektual masing-masing daerah itu. 

Adapun pada peringkat 'mdividu, cukup banyak dari masing-masing daerah yang tidak mengikuti karakteristik umum. Di kalangan orang-orang Hijaz terdapat seorang sarjana bernama Rab'ah yang tergolong “Kelompok Penalaran”, dan di kalangan para sarjana Irak kelak tampil seorang penganut dan pembela “Kelompok Riwayat” yang sangat tegar, yaitu Ahmad ibn Hanbal. 

Di samping itu, membuat generalisasi bahwa sesuatu kelompok hanya melakukan satu metode penetapan hukum atau tasry ', apakah itu penalaran atau penuturan riwayat, adalah tidak tepat. Terdapat persilangan antara keduanya, meskipun masing-masing tetap dapat dikenali ciri utamanya dari kedua kategori tersebut. Ini semakin memperkaya pemikiran hukum zaman tabiin.

B. PENDIRIAN UMAYAH DI ANDALUSIA (705 - 1031 M)

Andalusia adalah nama bagi Semenanjung Iberia pada zaman kejayaan Umayah. Andalusia berasal dari Vandal, yang berarti negeri bangsa Vandal; karena Semenanjung Iberia pernah dikuasai oleh bangsa Vandal sebelum terusir oleh bangsa Ghotia Barat (abad ke-5 M.).'Umat Islam mulai menaklukkan Semenanjung Iberia pada zaman Khalifah Al-Walid Ibn Abd Al-Malik (86-96 H.I705-715 M.).

Ekspansi pasukan muslim ke Semenanjung Iberia (Andalusia), gerbang barat daya Eropa, seperti yang telah dikemukakan di depan, merupakan serangan terakhir dan paling dramatis dari seluruh operasi militer penting yang dijalankan oleh orang-orang Arab. Serangan itu memadai puncak ekspansi muslim ke wilayah Afrika-Eropa, seperti halnya penaklukan Turkistan yang menandai titik terjauh ekspansi ke kawasan Mesir-Asia.

Dari sisi operasional, pengintaian pertama dilakukan pada bulan Juli 710 M. ketika Tharif, orang kepercayaan Musa bin Nushair, gubernur terkemuka di Afrika Utara pada periode Umayyah, mendarat di Semenanjung Kecil membawa balatentara berkekuatan seratus pasukan kavaleri dan empat ratus pasukan infanteriyang terletak hampir di ujung paling selatan benua Eropa. 

Semenanjung ini, sekarang disebut Tarifa, sejak saat itu, menyandang nama Jazirah (kepulauan) Tharif. Musa, yang telah menguasai kegubernuran kira-kira sejak tahun 700 M., berhasil memukul mundur pasukan Bizantium selamanya dari wilayah barat Kartago dan perlahan-lahan meluaskan penaklukannya sampai ke Atlantik, sehingga memberikan batu loncatan (point d ' appui) kepada Islam untuk menyerang Eropa. 

Terdorong oleh keberhasilan Tharif dan melihat adanya konflik penguasa di Kerajaan Spanyol Gotik Barat, juga didorong oleh hasrat untuk memperoleh barang rampasan, bukan hasrat untuk menaklukkan, Musa mengutus seorang budak Barbar yang sudah dibebaskan, Thariq bin Ziyad, pada tahun 711 M., ke Spanyol memimpin 7.000 pasukan, yang sebagian besar terdiri atas orang-orang Barbar. 

Thariq mendarat dekat gunung batu besar yang kelak mengabadikan namanya, Jabal (gunung) Thariq (Gibraltar). Kapal-kapal mereka, menurut sejumlah riwayat, disediakan oleh Julian, pangeran Ceuta, yang namanya cukup melegenda, meskipun lebar selat itu hanya sekitar tiga belas mil.

Dengan kekuatan tambahan, Thariq yang mengepalai 12.000 pasukan, pada 19 Juli 711 M., berhadapan dengan pasukan Raja Roderick dl mulut Sungai Barbate di pesisir Laguna Janda. Roderick berhasil naik tahta setelah menggulingkan pendahulunya, putra Witiza. 

Kendati berjumlah 25.000 orang, tentara Gotik Barat bisa dikalath karena adanya pengkhianat?“ dari tentaranya. Akhirnya, Thariq bin Ziyad berhasil menguasai hampir seluruh kota yang ada di Semenanjung Iberia atas bantuan Musa bin Nusyairzo). 

Penaklukan tersebut dipimpin langsung oleh panglima kaum muslimin, Musa bin Nusyair, yang bertekad untuk menyeberangi selat yang memisahkan benua Afrika dan Eropa. Tujuannya untuk menyebarkan Islam di Eropa dan memasukkannya menjadi bagian dari pemerintahan Islam. Lalu, dia memberangkatkan panglima Islam asal Barbar yang bernama Thariq bin Ziyad ke Andalusia melalui laut. 

Dikisahkan bahwa Musa membakar kapal-kapal perangnya dengan mjuan untuk memupus semua harapan pasukannya untuk balik kembali ke Afrika atau melarikan diri.'Dia menyampaikan satu pidatonya yang sangat terkenal dengan mengatakan, “Wahai manusia, ke mana lagi kita akan melarikan diri? Lautan berada di belakang kalian, sedangkan musuh telah menghadang di depan kalian. 

Tidak ada pilihan bagi kalian, kecuali jujur pada diri sendiri dan sabar.” Setelah itu, dia terjun dalam sebuah peperangan yang sangat sengit. Di antara perang yang paling terkenal adalah perang Lembah Lakah dan dia berhasil mengalahkan Goth dan membunuh raja mereka, Ludzrig. Andalusia berhasil ditaklukkan pada tahun 92 H./710 M. Kemudian, Thariq dan Musa sampai ke pegunungan Baranes dan berhasil menaklukkan semua Wilayah itu, kecuali Jaliqiyah.

Akhirnya. Musa lbn Nusyair mendeklarasikan Semenanjung Iberia sebagai bagian dari kekuasaan Umayah yang berpusat di Damaskus. Ketika Daulah Umayah di Damaskus dihancurkan oleh Bani Abbas, Abd Ar Rahman Ibn Muawiyah berhasil meloloskan diri dan menginjakkan kakinya di Andalusia pada tahun 132 H./750 M. 

Ia diberi gelar Ad-Dakht'l, karena ia adalah pangeran Dinasti Umayah pertama yang menginjakkan kakinya di Semenanjung Iberia. Ia berhasil menyingkirkan Yusuf Ibn Abd Ar-Rahman Al-Fihri yang menyatakan diri tunduk kepada Dinasti Bani Abbas pada tahun 138 H./756 M. 

Abd Ar-Rahman Ad-Dakhil memproklamasikan bahwa Andalusia lepas dari kekuasaan Dinasti Bani Abbas dan ia memakai gelar amir (bukan khalifah)”. Meskipun dalam tulisan'Philip K. Hitty, Abd Ar-Rahman Ad-Dakhil (pendatang baru) bergelar khalifah. 

Dinasti yang didirikan oleh Abd Ar-Rahman I, yang dijuluki Ad-Dakhil (pendatang baru) oleh para penulis kronik Arab, bertahan selama dua tiga per empat abad (756-1031). Dinasti ini mencapai puncaknya di bawah pemerintahan amir kedelapan, Abd Ar-Rahman 111 (912-961), yang terkuat dan menjadi orang pertama yang menyandang gelar khalifah (929). 

Kenyataannya, kekuasaan Khalifah Abd Ar-Rahman menandai puncak epos Arab di semenanjung itu. Selama periode Umayah, Kordova di Spanyol tetap menjadi ibukota dan menikmati periode kemegahan yang tiada taranya, seperti pesaingnya di Irak, Baghdad.

Abd Ar-Rahman memilih sendiri gelarnya, yaitu Al-Khalifah AnNEshir li Din All a: (khalifah penolong agama Allah)“). Karena ia telah membawa Spanyol muslim ke kedudukan lebih tinggi daripada yang pernah dinikmati sebelumnya, dialah yang paling cocok menyandang gelar amir al muminin, terutama di mata kalangan bawah yang tidak lagi memercayai kekhalifahan Timur.

Baca juga selanjutnya di bawah ini :