Perkembangan Peradilan dan Perundang-undangan Islam di Mesir (Peta Mesir)
Perkembangan Peradilan dan Perundang-undangan Islam di Mesir (Peta Mesir) - Di dalam catatan sejarah, Mesir pernah diduduki oleh beberapa kerajaan, yaitu dimulai dari masa Firaun, Yunani, dan Romawi, Khulafa ArRasyidin, Umayah, Abbasyiah, Mamlukiyah, dan Utsmaniyah. Menurut A.) . Butler, pendudukan negara atau kerajaan tersebut telah menyebabkan Mesir jatuh dalam situasi yang tidak menguntungkan bahkan seluruh organisasi pemerintahan di Mesir diarahkan dengan tujuan memeras keuntungan bangsa terjajah untuk kepentingan penguasanya.
Di satu sisi, banyaknya negara yang menguasai Mesir membawa nilai-nilai positif, tetapi di pihak lain, mau tidak mau di situ telah terjadi asimilasi budaya dan politik. Lebih dahsyat lagi, asimilasi itu terjadi dalam aspek perundang-undangannya.
Seperti yang dituturkan oleh Thaha Husain, mereka yang berada dalam roda pemerintahan Mesir modem lebih cenderung mengikuti pola raja Louis di Perancis daripada mengikuti pola Abdul Hamid di Turki. Mereka membentuk pengadilan-pengadilan negeri dan memberlakukan hukum barat daripada hukum Islam.
Perkembangan peradilan dan perundang-undangan di Mesir melalui tiga fase, yaitu :
Fase Qanun AI-Mukhtalitah dan Ahliyah. Dalam fase ini terdapat beberapa peraturan dan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Muhammad Ali dan penguasa sebelumnya, di antaranya: Qanun Al-Fallah (berkaitan dengan masalah-masalan pertanian), Qanun xii-Siyasah Nammah (mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan administrasi umum termasuk yang menyangkut hak-hak dan kewajiban pegawai serta sanksi hukum bagi yang melakukan pelanggaran), Qanun Amaiiyat AI-Jusur (mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pembuatan jembatan dan pengairan), Qanun Al-Siyasah Laihah, Qanun Al-Lailah Al-Sa'diyah (mengatur tanah-tanah kharaj).
Berbagai undang-undang di atas, tidak sepenuhnya berdasarkan syariat Islam, tetapi banyak diwarnai oleh intervensi kebijakan penguasa dan undang-undang Perancis. Dengan demikian, dapat dilihat betapa lemahnya kekuasaan peradilan pada fase ini, yaitu banyak ditentukan oleh penguasa, sehingga dalam pelaksanaannya banyak kesimpangsiuran. Misalnya, dalam menjatuhkan putusannya hakim akan melihat status dan kedudukan sosial seseorang.
Fase Pembaharuan Qadha. Sistem peradilan yang berlaku pada fase pertama banyak menimbulkan rasa ketidakpuasan di kalangan masyarakat bahkan di lingkungan pemerintahan sendiri. Pada masa Ismail dibentuk panitia untuk melakukan pembaharuan sistem peradilan yang pada akhirnya terbentuklah Mahkamah Al-Ahliyah pada tahun 1875. Selanjutnya. pada tahun 1883, KhadeWi Taufiq meresmikan pembentukan.
Pada fase ini melahirkan lembaga-lembaga hukum yang menangani beberapa kasus hukum, yaitu :
l. Mahkamah Mukhalitah, menangani kasus-kasus yang terjadi antarsesama orang asing yang mendapat hak-hak istimewa atau antarorang Mesir. Mahkamah ini menangani kasus perdata dan pidana. Secara struktural terdiri atas Mahkamah Ibtidaiyah, Mahkamah Juziyah. dan Mahkamah Istinaf. Sidang-sidang yang dilakukan mahkamah ini tetap dipimpin oleh hakim asing, sekalipun sebenarnya tidak dijumpai diktum yang melarang hakim-hakim Mesir untuk menjadi pemimpin.
2. Mahkamah Ahliyah, menangani kasus-kasus hukum perdata dan pidana yang terjadi di kalangan orang Mesir atau orang asing yang mendapat hak istimewa. Mahkamah ini terdiri atas Mahkamah Ibtidaiyah, Mahkamah Juziyah dan Mahkamah Naqd.
3. Mahkamah Syariyah, hanya menangani kasus hulmm yang menyangkut Al-Ahwal Al-Syakhsiyah seperti nafkah, thalak, waris, dan sebagainya. Itupun terbatas bagi orang-orang Mesir beragama Islam, sedang bagi non-muslim ditangani oleh Majelis Milyyah.
Arah pembaharuan qadha dan qanun pada fase ini tampaknya berusaha untuk mewujudkan suatu hukum nasional bagi rakyat Mesir dan melakukan peninjauan terhadap hak istimewa orang asing. Sekalipun belum berhasil, namun pembentukan lembaga ini merupakan langkah penting bagi perkembangan berikutnya.
Fase setelah penghapusan hak-hak istimewa. Pada tahun 1937, Mesir dan Inggris mengadakan persetujuan tentang penghapusan hak istimewa yang sebelumnya diberikan kepada orang asing. Lima bulan setelah persetujuan ini, Mahkamah Qonsuliyah dihapuskan dan tugasnya dialihkan kepada Mahkamah Mukhalitah.
Pelimpahan ini hanya sementara, karena Mahkamah Mukhalitah juga pada perkembangan berikutnya dihapuskan pada tahun 1949. Dengan dihapuskannya dua lembaga ini, Mesir mengalami transisi perundang-undangan. Paling tidak mengalami perubahan yang mendasar dalam sistem peradilan dan perundang-undangannya.
Akhirnya. pada tahun 19-48 diciptakanlah perundang-undangan Mesir yang menjadikan syariat Islam sebagai sumber resmi. Kemudian pada tahun 1950 ditetapkan undang-malang hukum pidana.
Sementara yang dijadikan sebagai sumber-sumber qanun dan kedudukan syariat Islam di Mesir sebagaimana yang ditetapkan pada tahun l948 adalah :
1. Undangundang Al-Mukhalitah dan Al-Ahli' yang pada hakikatnya berasal dariundang-undang Perancis.
2. Undang-undang perdata modern.
3. Hukum Mcsir sesuai kebutuhan negara.
4. Syariat Islam sebagai sumber resmi.
Jika dilihat di atas, tampaklah bahwa hukum Islam merupakan salah satu sumber saja dalam pembentukan perundang-undangan perdata Mesir. Masing-masing sumber berada dalam status yang sama, dengan kata lain, syariat Islam tidaklah lebih utama dari undang-undang yang laimya.
Namun, keadaanya berbeda setelah tahun 1980, yaitu prinsip-prinsip syariat Islam dijadikan sumber utama bagi pemalang-undangan perdata Mesir. Masing-masing sumber berada dalam status yang sama. artinya syariat Islam tidaklah lebih utama dari undang-undang yang lainnya.
Ilustrasi menarik tentang pemberlakuan hukum Islam dalam nnsyarakat Islam, terutama untuk kasus Mesir dapat pula dikaji tulisan Muhammad Daud Ali sebagai berikut :
Menurutnya dalam masyarakat Islam. pemberlakuan hukum keluarga di berbagai kawasan mengalami beberapa fase. Fase pertama terjadi pada tahun l911-l950. Fase kedua barjadi pada tahun l951-l970. di mana negara muslim banyak yang telah merdeka dan mulai menata sistem perundang-undangannya.
Pada tahun tersebin Mesir selain menghawskan wakaf keluarga juga menghapuskan peradilan agama pada tahun 1955-1956 dan memberi wewenang pada peradilan umum untuk menyelesaikan sengketa keluarga. Dan fase ketiga terjadi dari tahun 1971-1986. pada fase ini hukum keluarga mulai dikembangkan.
Isi hukum keluarga di Mesir, antara lain disebutkan dalam hal poligami istri pertama dapat meminta cerai dari suaminya kalau perkawinan suaminya menyebabkan ia menderita. Istri kedua dapat meminta cerai dari suaminya jika si istri merasa tertipu.
Dalam hal perceraian di Mesir disebutkan alasannya adalah menderita penyakit menular, gila, dan dipenjara lima tahun atau lebih. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan pengadilan. Sedangkan dalam hukum pidana di Mesir diakui bahwa masih terdapat adanya kesenjangan, misalnya dalam kasus pembunuhan disengaja, dihukum kerja paksa seumur hidup atau terbatas.
Hukum kerja paksa itu berkisar antara 3-5 tahun. Menurut undang-undang, hukum kerja paksa terbatas dapat diganti dengan penjara minimal 6 bulan. Adapun orang yang dipenjara kurang dari l tahun dapat dibebaskan. Akhirnya, terlihat bahwa seseorang yang melakukan pembunuhan dengan sengaja bisa bebas dari ancaman hukuman.
Menurut hukum Islam, sanksi hukuman pembunuhan dengan sengaja adalah qishas (Al-Baqarah, 178-179). Namun, jika terdapat sesuatu sebab, syariat yang dapat mengalihkan hukum qishas, maka dikenakan diyat atau takzir. Dalam hal ini, meskipun terjadi perubahan hukuman, namun pelaku pembunuhan dengan sengaja tidak ada yang bebas dari sanksi hukum.
Kondisi Mesir, tidak terlepas dari faktor sejarah bahwa Mesir adalah boneka Inggris.Konsekuensinya, hampir semua aturan Mesir diadopsr dari hukum Inggris.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa pendudukan Mesir oleh Napoleon Bonaparte pada tahun 1798 dapat dipandang sebagai permulaan ekspansi barat ke Timur Tengah di zaman modern. Memang, Napoleon sendiri hanya kurang dari dua bulan berada di Kairo dan tiga tahun kemudian tentara yang ditinggalkan di Mesir terpaksa mengundurkan diri.
Sejak itu, Mesir secara perlahan diperintah, sepenuhnya atau hanya secara formal, oleh Muhammad Ali (w. 1848) dan keturunannya sampai 1952. Mesir mengalami pembaruan besar-besaran pada abad ke-19. Pembaruan ini telah memperkenalkan Mesir pada kemajuan barat dan juga sistem ekonominya. Bidang pendidikan mendapat perhatian utama dengan dikirimkannya pelajar Mesir ke Eropa dan diterjemahkannya literatur modern ke dalam bahasa Arab.
Ekonomi Mesir juga menjadi semakin terkait dengan sistem ekonomi Eropa karena orientasi ekspor dan pembiayaan pembangunan. Dibukanya Terusan Suez pada tahun 1869 lebih memperjelas lagi keterkaitan ini. Namun, Mesir harus menanggung beban keuangan berat, sehingga pada tahun 1875 ia terpaksa menerima nasihat otoritas moneter asing dalam pengelolaan ekonomi demi mememhi kewajibannya membayar utang luar negeri yang membengkak.
Campur tangan asing dalam ekonomi Mesir dan bidang-bidang lain akhirnya menimbulkan keresahan luas. Sebagai bukti dengan timbulnya unjuk rasa besar-besaran pada tahun 1879 dan pemberontakan tahun 1881 yang dilakukan oleh para perwira tentara di bawah pimpinan Ahmad Urabi.
Akibatnya, Mesir justru diduduki Inggris sejak talmn 1882, dan secara resmi Mesir dijadikan protektorat Inggris pada tahun 1914. Sebenarnya pengaruh Inggris dan Perancis sampai batas tertentu, telah begitu terasa sejak pertengahan abad ke-19.
Kemudian pada Februari 1922 Mesir telah dinyatakan merdeka, walau Inggris masih tetap memainkan peranan penting dalam beberapa bidang, terutama pertahanan sampai dengan keberhasilan “Kelompok Perwira” pada Proklamasi tahun 1952 yang mengubah Mesir menjadi sebuah Republik. Negara yang sangat erat hubungannya dengan Mesir adalah Sudan. Saat Muhammad Ali berkuasa di Mesir, Sudan telah dijadikan bagian dari wilayah kekuasaannya.
Dengan semakin kuatnya pengaruh Inggris di Mesir sejak pertengahan abad ke-l9, Sudan juga mengalami hal yang identik. Keberhasilan gerakan Mahdi di Sudan selama hampir 25 tahun terakhir abad ke-19 sebenarnya menunjukkan upaya melawan pengaruh luar.
Narmm, kekalahm gerakan Mahdi pada 1899 telah mendorong Inggris untuk menjadikan Sudan sebagai wilaya: jajahan (Anglo-Egyptian Condominium) dengan menggunakan topeng penguasa Mesir (khidiwz). Dengan beberapa perubahan, hubungan ini bertahan sampai dengan diproklamasikannya Sudan sebagai negara merdeka pada 1 Januari 1956.
Baca juga di bawah ini
Secara sekilas sejarah Mesir sampai periode modern dapat diuraikan sebagai berikut :
- 1879 : Demonstrasi besar di Kairo.
- 1881 : Ahmad Urabi merebut Kantor Kementerian Peperangan.
- 1882 : Inggris de facto menguasai Mesir, walau institusi khidiwi tetap.
- 1899 : Mesir disatukan dengan Sudan.
- 1906 : Masyarakat Mesir bersatu mengutuk tentara Inggris.
- 1907 : Mustafa Kamil membentuk Hizrj Al-Watan.
- 1914 : Mesir menjadi protektorat Inggris tahun 1918, Sa'd Zaaghlul mendirikan Partai Wafd 1920, Nasionalis Mesir menuntut otonomi.
- 1922 : Mesir merdeka.
- 1923 : Konstitusi diumumkan.
- 1928 : Hasan Al-Banna mendirikan Ikhwanul Muslimin.