Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Turki Menjadi Negara Islam Era Modern dan Juga Peta Turki

Turki Menjadi Negara Islam Era Modern dan Juga Peta Turki - Sebagai dijelaskan di atas bahwa kondisi Kerajaan Utsmani pascakegagalan melumpuhkan Wina dan Eropa mencaplok beberapa wailayah Utsmani, maka terjadilah pembaharuan di Turki. Perkembangan selanjutnya, Turki Utsmani terdapat tiga aliran pembaharuan, yaitu aliran Barat, aliran Islarn, dan aliran Nasionalis. 

Menurut aliran Barat, Turki mundur karena bodoh; dan kebodohan itu disebabkan oleh syariat yang menguasai seluruh segi kehidupan bangsa Turki. Oleh karena itu, Turki akan maju apabila menjadikan barat sebagai guru. 

Pendapat tersebut ditentang oleh aliran Islam. Menurutnya, agama (syariat Islam) tidak pernah menjadi penghalang kemajuan; Turki justru mundur karena tidak menjalankan syariat Islam. Oleh karena itu, syariat mesti diberlakukan di Turki agar Turki bisa maju. 

Turki Menjadi Negara Islam Era Modern dan Juga Peta Turki

Adapun aliran nasionalis berpendapat bahwa Turki mundur disebabkan oleh keengganan umat Islam yang tidak mengakomodir perubahan-perubahan. Di antara tokoh aliran Barat adalah Tewtik Fikret (1867-1951); di antara tokoh aliran Islam adalah Mehmed Akif (1870-1936); dari di antara tokoh aliran Nasionalis adalah Ziya Gokalp (1875-1924).

Setelah Perang Dunia I, Mustafa Kemal diangkat menjadi panglima militer di Turki selatan. Tugasnya adalah merebut Izmir daritangan tentara sekutu. Mustafa Kemal berhasil memukul mundur tentara sekutu dan berhasil menyelamatkan Turki dari penjajahan barat. 

Bersama teman. temannya, Mustafa Kemal mulai menentang sultan di Istanbul karena perintahnya dianggap banyak tidak sejalan dengan kepentingan nasional Turki; karena sultan di Istanbul berada di bawah kekuasaan sekutu dan harus menyesuaikan diri dengan kehendak mereka. 

Oleh karena itu, ia mendirikan pemerintahan tandingan di Anatolia dengan mendeklarasikan pemyataan-pemyataan berikut :
  •  Kemerdekaan tanah air dalam keadaan bahaya. 
  •  Sultan tidak dapat menjalankan pemerintahan karena berada di bawah kekuasaan sekutu. 
  •  Rakyat Turki harus berusaha sendiri untuk membebaskan tanah air dari kekuasaan asing. 
  •  Gerakan pembela tanah air harus dikoordinasi oleh panitia nasional. 
  •  Untuk merealisasikan hal-hal tersebut, perlu diadakan kongres”.

Karena pernyataan tersebut, Mustafa Kemal diperintahkan untuk datang ke Istanbul; tetapi ia menolaknya. Karena penolakan itu, ia dipecat dari jabatannya sebagai panglima. Mustafa keluar dari militer, kemudian ia terpilih sebagai ketua Perkumpulan Pembela Hak-hak Rakyat cabang Emirum. 

Kongres pertama diadakan di Erzurum yang merekomendasikan untuk membela, mempertahankan keutuhan tanah air, dan perlu diadakan rapat Majelis Nasional (MN) dalam waktu yang secepatnya. Kongres kedua diadakan di Sivas. 

Dalam kongres ini diputuskan bahwa Turki harus merdeka (bebas dari kungkungan asing) dan untuk itu dibentuk Komite Perwakilan Rakyat, dan Mustafa Kemal terpilih sebagai ketua. Golongan Nasional menjadi pemenang dalam pemilu; dan Majelis Nasional Agung (MNA) berhasil dibentuk (1920). Dalam sidang Majelis Nasional Agung di Ankara, Mustafa Kemal terpilih sebagai ketua. 
  •  Kekuasaan (kedaulatan) tertinggi berada di tangan rakyat Turki. 
  •  MNA adalah perwakilan rakyat tertinggi. 
  •  MNA bertugas sebagai badan legislatif dan eksekutif. 
  •  MNA bertugas memilih di antara sesama anggota untuk njadi anggota Majelis Negara (MN) yang bertugas menjalankan rintahan. 
  •  Kema MNA merangkap sebagai ketua MN.

Mustafa Kemal memimpin Turki dengan jargon: westernisme, sekularisme, dan nasionalisme. Pembaharuan-pembaharuan yang dilakukannya adalah: 

  • Pemisahan antara pemerintahan dengan agama (sekularisasi). Ide ini diterima oleh MNA (1920).
  • Kedaulatan fhirki bukan di tangan sultan, tapi di tangan rakyat. 
  • Jabatan khalifah dipertahankan, tapi hanya memiliki kewenangan spiritual; sedangkan kewenangan duniawinya (sebagai sultan) ditiadakan (1922). 
  • Khalifah Wahid Al-Din melarikan diri di bawah perlindungan Inggris, karena tidak setuju dengan keputusan MNA yang dipimpin Mustafa Kemal. Khalifah Wahid Al-Din dipecat dari jabatannya karena dianggap sebagai pengkhianat, dan Abdul Madjid diangkat sebagai penggantinya. 
  • Merubah bentuk negara dari bentuk khilafah menjadi Republik, dan Islam menjadi agama negara (1923). 
  • Karena khalifah dianggap membangkang karena melakukan kegiatankegiatan politik, seperti menerima tamu dari negara lain, mengirim duta ke luar negeri, dan mengadakan upacara kebesaran pada hari Jumat, dan tetap tinggal di istana di Istanbul, MNA memutuskan bahwa jabatan khalifah dihapus karena dianggap melahirkan dualisme kepemimpinan (3 Maret 1924) Khalifah Abdul Madjid beserta keluarganya minta suaka di Swiss.
  • Turki mendeklarasikan sebagai negara sekuler dengan menghapus Islam sebagai agama negara (1937). Sebelum menjadi negara sekuler. Mustafa Kemal telah meniadakan institusi-institusi keagamaan dalam pemerintahan :a. penghapusan Biro Syaykh Al-Islam (1924); b. penghapusan Kementerian Syariat; c. penghapusan Mahkamah Syariat. 

Sebagai bagian dari proses sekularisasi, Mustafa Kemal kemudian memutuskan untuk : 

1. meniadakan pelajaran bahasa Arab dan Persia di sekolah-sekolah (1928); 

2. meniadakan pendidikan agama di sekolah-sekolah (1933); 

3. penerjemahan Al-Quran ke dalam bahasa Turki agar dipahami oleh masyarakat;

4. khotbah Jumat harus dilakukan dengan menggunakan bahasa Turki; 

5. azan haram menggunakan bahasa Turki (1933). Mustafa Kemal meninggal tahun 1938. Usaha pembaharuan yang telah dilakukannya, diteruskan oleh para pengikutnya. 

Sebagaimana diungkapkan oleh Charles Ernest Dawn bahwa: “Identitas nasional Turki yang memiliki latar sejarah dan kebudayaan yang eksklusif dengan bangsa lain dan ditetapkannya bahasa Turki sebagai bahasa resmi pemerintahan di seluruh wilayah kekhalifahan Utsmani pada tahun 1876, memicu tumbuhnya Turkisme (nasionalisme). Di samping itu, dalam analisis Wilfred, “masyarakat Turki meyakini bahwa mereka adalah masyarakat terdepan dalam dunia Islam sedangkan bangsa Arab dan lainnya adalah masyarakat terbelakang“? 

Pemikiran Turkisme atau Nasionalisme tidak terlepas dari tokoh Ziya Gokalp (1876-1924). Ia adalah seorang pendukung dan perumus utama Turkisme (Nasionalisme). Dalam buku Foundations of Turkish Nationalism.The Life and Teachings of Ziya Go'kalp, dijelaskan bahwa nama aslinya, Mehmed Diya (Ziya), lahir di Diyarbakr sekitar tahun 1875, mulai dikenal dengan nama Ziya Gokalp pada tahun 1911. Buku yang ditulis Ziya berjudul Turki Medeniyeeti Ta ’rikhi (Sejarah Peradaban Turki).

Ide pemikiran Nasionalisme atau Turkisme, dalam pandangan Gokalp bersumber dari budaya atau menggunakan pendekatan sosiologis. Bagi Gokalp, suatu perubahan politik tidak akan berarti apa-apa, kecuali jika diikuti revolusi sosiokultural. 

Tujuan akhir Turkisme Gokalp adalah menumbuhkan suatu kebudayaan nasional yang bukan bertitik tolak dari syariah, bukan kebudayaan pra-Islam, dan bukan pula kebudayaan barat. Tanpa menumbuhkan kebudayaan, Turki sendiri tidak akan terjadi reformasi dan modernisasi yang sejati. 

Dengan demikian, nasionalisme dalam pandangan Gokalp bisa disebut ''Turkisme Kultural ", yang bukan merupakan sebuah partai politik, melainkan gerakan ilmiah, filosofis, estetis, dan moral”. Hal itu dapat dilihat dari pengertian kebangsaan yang diuraikan oleh Gokalp bahwa :

''Suatu bangsa adalah sebuah kelompok atau kolektivitas sosial yang terdiri atas para individu yang menerima pendidikan yang sama, memiliki bahasa, emosi, ideal-ideal, agama, moralitas, dan rasa estetika yang sama”." 

Bagi Gokalp. tidak terdapat kontradiksi inheren antara satu bangsa dengan bangsa lain, antara Turkisme, komunitas religius (umat), dan komunitas internasional (modernisme atau wertemisme). Karena masingmasing kebudayaan memberikan jawaban yang berbeda terhadap masalah, sehingga Turkisme secara sinergis merujuk pada kebudayaan Turki Islam, sambil melengkapi diri dengan piranti nalar, ilmu pengetahuan, dan telmologi peradaban modern. 

Dalam pandangan Gokalp; faktor religius tidak lagi mutlak menjadi kriteria nasionalisme Turki, agama menjadi sebuah moralitas dan solidaritas sosial. Oleh karena itu, pikiran-pikiran teokrasi harus dibersihkan dari persoalan politik. 

Sehingga pada akhirnya, ia merekomendasikan mufti tertinggi di Turki dihapuskan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Turkisme buatan Gokalp memisahkan agama dari negara dengan tujuan untuk mengakhiri dominasi islam dalam persoalan sosial-politik Turki dan lebih jauh lagi, memisahkan agama dari peradaban timur sehingga memberi peluang besar terhadap peradaban barat serta kehidayaan nasional Turki. 

Karakteristik Turki melahirkan pandangan negatif bahkan curiga dari bangsa-bangsa Arab lainnya. Sebab bagaimanapun, konsep nasionalisme Turki murni berakar dari pandangan bebas agama. Konsep nasionalisme seperti ini dalam pandangan Al-Maududi, mengarah pada harus mendahulukan kebangsaannya sendiri sebelum kebangsaan lainnya. 

Namun, nasionalisme menuntut agar setidaknya ia mampu membedakan secara kultural, ekonomis, politik. dan yuridis antara yang nasional dan yang bukan nasional; mau berbuat untuk kebaikan bangsanya sampai batas maksimal; mengembangkan usaha-usaha ekonomis untuk keuntungan nasional; melindungi tradisi-tradisi sejarah dan adat-istiadat dengan gigih karena keduanya telah mendorong kebangkitan msionalnya; serta dienanamkan perasaan bangsa atas kebangsaannya. Tujuan akhirnya adalah terbentuknya negara nasional (national-state) bukan negara dunia (world-state). 

Baca juga di bawah ini


Profil Turki, dalam perkembangan selanjutnya memberikan pengaruh besar terhadap negara-negara di wilayah Jazirah Arab. Dalam analisa penulis, pengaruh Turki tampak terlihat dari program Tanzimar dalam berbagai aspeknya. Meskipun demikian, usaha Turkisme ditentang pula dengan paham Pan-Islamisme yang menjamur setelah Turki berdiri sendiri sebagai negara mandiri.