Manajemen Khas Indonesia Masa Suharto (Catatan Seorang Wartawan)
Manajemen Khas Indonesia Masa Suharto (Catatan Seorang Wartawan)
Waktu Pak Dharmono menjabat Menteri Sekretaris Negara, Saya pernah rasan-rasaan ingin menulis buku tentang Pak Harto, mengenai filsafat dan pandangan hidupnya yang menurut saya sangat berwarna Jawa. Kemudian Pak Oyong meninggal, dan saya mengambil oper semua pekerjaan. Keinginan itu lalu terbelengkai. Tapi keinginan itu tetap ada karena saya memang cukup mengamati juga cara Pak Harto dalam mengelola bangsa dan negara ini.
Yang mengesankan saya. Pak Harto mempunyai visi yang berakar pada pandangan hidup kenegaraan kita, dan pada penghayatan nilai-nilai Jawa. Tetapi, selain memiliki visi, beliau juga bisa mentransfomir menjabarkannya sehingga menjadi program nyata. Getthings done. Ada istilah latin omnis comparatio claudat: segala perbandingan itu timpang, tidak persis pas.
Gambar Suharto
Dengan catatan itu dapatlah dikatakan: Bung Kamo lebih menonjolkan visi dan retorik. Memang ada tindakan. tapi lebih ke politik Sementara Pak Hano memiliki visi. sekaligus bisa mentransformasikannya menjadi tindakan perbuatan nyata. Oleh karena itu, berlangsunglah pembangunan ekonomi di negara kita.
Kesan saya yang lain terhadap beliau dan ini sudah berlangsung sejak dulu adalah "akal". Beliau banyak akal. Justru karena orientasinya bukan pada visi, tapi pada tindakan, bagaimana "getthings done". Beliau "akalnya" banyak, dalam pengertian waktu dihadapkan pada kesulitan, ibaratnya bukan kembali ke textbook, justru mencari jalan bagaimana cara pemecah yang praktis. Kalau jalan ini tidak bisa, akan mencari jalan lain, bukan lantas menyerah.
Kesan saya yang lain adalah, Pak Harto kalau sudah punya pendirian dan dianggap benar, beliau gigih dan teguh, tidak terombang-ambing dan tidak goyah. Pada tahun 1965-1966, ekonomi pasar, kapitalisme, modal, sangat tabu untuk masyarakat kita, baik karena pengaruh ajaran sosialisme negara maupun oleh gerakan komunis Indonesia.
Untuk merubah pandangan dan sikap itu perlu suatu daya persuasi dan kepemimpinan yang efektif. Sebab kalau pemimpin tidak teguh, akan mudah terombang-ambing, apalagi masyarakat kita pikirannya majemuk sekali.
Hal lain yang saya lihat adalah beliau tahu betul watak bangsa Indonesia. Karenanya beliau setiap kali bisa menyelesaikan persoalan-persoalan yang sensitif dan cukup prinsipil. Misalnya, dalam bidang ekonomi. Paham sosialisme negara, paham etatisme dalam ekonomi berubah beralih menjadi paham ekonomi pasar.
Memang kerangka referensinya sama, Pancasila dan Pasal 33 UUD 45. Tapi penjabarannya berkembang, sehingga modal asing masuk dan diterima. Itu tidak dilakukan dengan paksaan, tapi dengan persuasi. Misalnya, kita sangat memerlukan pangan dan sebagian besar masyarakat kita adalah petani, dan sumber daya pertanian kita memang cukup besar potensinya.
Maka dengan sikap total tantangan itu digarap dan berhasil. Masalah lain ekonomi tumbuh, taruhlah 7% tapi kalau penduduknya meningkat 2,5%, sia-sia saja. Keluarga Berencana digerakkan. Keluarga Berencana sangat sensitif dari segi agama, kepercayaan dan dari segi budaya.
Tetapi Pak Harto bisa memecahkan tanpa mengundang oposisi dan demonstrasi seperti di negara lain. Lewat persuasi, informasi dan pendekatan yang tepat, yang tidak melukai perasaan agama dan perasaan budaya. Dan karena beliau habis-habisan perhatiannya, maka Keluarga Berencana pun berhasil.
Kembali pikiran beliau itu praktis. Kalau kita mau ekonomi pasar, berarti melibatkan swasta. Nah swasta Indonesia ini siapa? Tidak semua pengusaha bisa, maka kita ambil yang praktis saja, yang sudah bisa saja dulu kita ajak serta. Sambil jalan, kita koreksi. Sebab kelompok keturunan itu, ya memang dari dulu disuruh begitu.
Sekadar mengingat, dalam sistem kolonial Belanda golongan keturunan menjadi perantara dalam bidang ekonomi, sementara golongan pribumi menjadi pangreh praja, perantara dalam bidang politik. Belanda tidak memerintah langsung, tapi memakai perantara dalam bidang ekonomi dan dalam bidang politik. Orangorang keturunan memang terlatih sejak dulu.
Lihat saja, di setiap kota pasti ada pecinan. Jadi, mereka lebih dulu siap dari kelompok-kelompok yang lain. Kelompok lain memang ada, tapi relatif golongan keturunan yang paling siap. Pendekatan beliau yang praktis, mengapa tidak mengajak mereka, toh mereka juga orang Indonesia. Dalam pandangan beliau, tidak mengapa mengajak terlebih dahulu golongan keturunan, toh bisa dikontrol dan bisa di koreksi. Hasilnya, ekonomi bisa berjalan.
Memang ada ekses, sekarang masyarakat mengeluh, kenapa mereka-mereka saja yang berhasil. Point saya adalah pandangan beliau dengan pendekatan yang praktis. Soalnya kalau membangun dulu entrepreneurship, perlu waktu. Ambil yang sudah ada saja, sambil yang ada ini menularkan untuk mengajak pengusaha yang lain.
Dahulu, waktu saya tahu bahwa pembangunan ekonomi diprioritaskan dan pelakunya orang keturunan, maka saya berpikir ini harus disertai nation building. Melalui nation building, maka sekaligus kesadaran politik dan kesadaran kewarganegaraan mereka diperkokoh tidak hanya menurut hukum tapi juga dalam rasa. Yang saya maksud adalah supaya integrasi dengan masyarakat pribumi bisa lebih lancar dan mengurangi ekses, kesenjangan dan iri hati. Tetapi kembali ke pokok persoalan, beliau itu pendekatannya pragmatis.
Dalam pemecahan masalah ada dua orientasi: target dan proses. Latar belakang Pak Harto sebagai mtlrter ikut berpengaruh. Beliau tamprl di tengah knsrs politik dan ekonomi. Maka masuk akal kalau orientasinya lebih ke hasil daripada proses (termasuk prosedur, cara, sistem yang harus dilalui). Ini juga masalah.
Dalam proses memang lalu dilibatkan aturan main dan hukum. Sehingga orang yang orientasinya ke hasil dan sasaran, bisa saja agak mendesak ke belakang "proses" ini. Orang kira menilai kita terlalu proses, bertele-tele, berundrng tenis, rapat terus tidak ada hasilnya Pak Harto justru kuat orientasinya kepada sasaran. Beliau lebih berorientasi ke hasil.
Kelebihan Pak Harto yang lain, walaupun saat ini berusia 74 tahun, ingatannya masih kuat, hafal angka-angka. Beliau segera dapat menangkap esensi persoalan. Orang cerdas biasanya begitu, bukan hanya menangkap bunga-bunganya, tapi segera menangkap esensi persoalan. Esensi persoalan ekonomi beliau tangkap betul. Sehingga ada humor: "dulu ia murid, sekarang ia guru." Kalau dulu beliau murid dari para ekonomi kita, maka dalam waktu singkat beliau berganti peran menjadi guru.
Kemudian perihal kepemimpinan dan manajemen. Kepemimpinan dalam manajemen agak berbeda, tapi juga memiliki unsur yang sama. Leadership memberi kesan lebih visioner, lebih besar, lebih mencakup, menggerakkan, memberi semangat, dan memotivasi.
Manajemen adalah penjabaran dari leadership sehingga bisa dilaksanakan. Lebih praktis, lebih kecakapan, lebih kepada tata organisasi. Beliau leadershipnya kuat dan manajemennya juga Cukup handal. Manajemen itu begini: persoalan yang dihadapi banyak, mana mungkin bisa dilakukan sekaligus.
Ia mesti memilih, apa prioritasnya. Sekarang ini pilihan beliau yang sangat kuat, yakni mengangkat 25 juta (15%) yang termiskin dan dilakukan secara habis-habisan (all out), dan menurut saya gerakan ini akan berhasil. Jadi, leader itu menyeluruh, kalau manajemen itu harus memilih. Bagi Pak Harto pilihan itu adalah Trilogi Pembangunan.
Trilogi Pembangunan ialah pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas. Kemudian, diubah menjadi: pemerataan, pertumbuhan, stabilitas dan diberi prioritas. Tapi kalau diamati, yang tetap kuat sekarang ini adalah pertumbuhan. Sebab memang demikian tabiat ekonomi pasar. Pertumbuhan kita memang tinggi, tapi belum cukup tinggi untuk mendukung pemerataan.
Ini yang menjadi persoalan kita, bagaimana menemukan keseimbangan yang pas antara pertumbuhan dan pemerataan. Hal itu tidak mudah itu. Kita masih mencoba. Anjuran beliau, jangan konfrontasi tapi galanglah kemitraan.
Manajemen dengan prioritas itu ada negatifnya, yaitu bisa saja bidang-bidang lain agak tertinggalkan. Ini kritik juga dari masyarakat, di mana terjadi ketertinggalan di bidang-bidang politik, kebebasan, keadilan, dan pemerataan. Masyarakat mengharapkan koreksi, dan hasrat itu ditanggapi positif. Ada dimensi lain yang saya tangkap.
Dalam perkembangan selanjutnya, kecuali leader dan manager, Pak Harto tumbuh menjadi figur Bapak. Profil bapak itu kuat. Ini faktor penting. Masyarakat menganggap beliau sebagai bapak. Coba lihat: manager, leader, bapak. Bapak ini bersifat encompassing, memeluk semuanya. Bapak itu merengkuh semuanya.
Karena orang yang sepadan beliau sudah lewat. Menteri, Pangab, sudah generasi ke berapa. Mungkin lebih cocok jika disebut ada unsur patemalisme dalam manajemen Pak Harto. Kita menghormati bapak tidak ada peraturannya, tidak ada paksaan. Ini ada baiknya atau buruknya.
Di Asia Timur dan Asia Tenggara polanya demikian. Kalau patronnya bagus, akan berhasil dan maju. Orientasi father memang juga sesuai dengan kultur orang Indonesia. Jadi ini suatu hal yang wajar pada bangsa kita. Tentu (ada baiknya, ada buruknya.
Sebagai bapak keluarga besar bangsa Indonesia, yang dipikirkan Pak Harto bukan bagaimana prosedur, bagaimana hukum, tapi bagaimana menyelamatkan dan bagaimana membuat sejahtera. Kebetulan dalam pandangan pembangunan memang ada hipotesa: "hukum itu nanti, yang penting pembangunan ekonomi.
Setelah mencapai pertumbuhan tingkat tertentu, barulah kesadaran hukum bisa ditegakkan." Tapi tesis ini tahun 80-an yang sekarang sudah mulai ditinggalkan. Yang berlaku sekarang dalam pembangunan adalah keserentakan, ya ekonomi, ya hukum. Inilah yang kita hadapi. Masyarakat menuntut demikian.
Dari teori sekuensi: ekonomi dulu, baru hukum dan politik. Sekarang ini kita dihadapkan pada kesadaran masyarakat dan aliran dalam pembangunan yang menghendaki keserentakan sekaligus semua. Sekarang kita rasakan mulai ada kritik. Aspirasi masyarakat tumbuh.
Sekalipun beliau presiden, beliau tahu betul bahwa orang Indonesia itu menganggap penting hubungan pribadi. Tapi beliau adalah presiden dengan waktu yang terbatas. Dengan penduduk yang begitu banyak, komunikasi pribadi diganti dengan sistem, lembaga, institusi. Tidak bisa lain, tapi cara itu tetap tidak memadai. Padahal presiden kita sangat kuat pendekatan pribadinya.
Itu bisa dilihat pada saat beliau mengadakan temu wicara, sangat spontan, praktis. Kritik saya bukan pada beliau, tetapi pada pengatur pertemuan, yang membuat pertemuan itu terlihat terlalu diatur. Agaknya mereka terlalu kuatir, sehingga ada kesan agak "rekayasa". Kalau itu bersifat spontan, pasti sangat bagus.
Pas rasanya kalau Pak Harto sedang melakukan tatap muka. Tidak di forum atau mimbar dengan masa yang banyak, lalu bicara berapi-api. Beliau sangat pas berbicara dalam forum yang kecil, istilahnya small group communication. Di situ beliau kuat, dan cocok betul dengan masyarakat kita. Di-uwongke itu antara lain pengejawantahannya. Dan itu sangat efektif. Krena itu beliau cocok benar dengan klompencapir.
Saya menemukan, barangkali itulah ciri khas manajemen Indonesia, personal communication. Ada tempat khusus untuk menegur, memuji, atau mengecam. Dalam perusahaan, manajemen semacam ini akan membuat karyawan semakin bersemangat, karena merasa diperhatikan dan dimanusiakan. Dalam konteks Pak Harto, sebagai presiden beliau memiliki waktu yang terbatas.
Hanya saja, saya sering bertanya, kenapa menteri-menteri lain tidak melakukan small group communications seperti yang dicontohkan Pak Harto. Tentu dengan gaya masing-masing menteri. Ini akan lebih efektif dalam mendekatkan celah-celah atau perbedaan pendapat.
Namun betapapun hebat dan efektifnya personal communication, sekarang ini tidak memadai lagi. Makanya Marshall McLuhan, sosiolog dari Kanada berkata; media massa itu extention of man ((kepanjangan dari manusia). Meski media hakekatnya berbeda dengan manusia, karena dia berteknologi, dia tidak personal lagi. McLuhan ada benarnya.
Jadi, meski small group communications diperlukan, tetapi juga diperlukan media komunikasi berteknologi yang bisa menjangkau keserentakan dan potensial tanpa batas. Tapi terkadang hasilnya juga sangat berbeda, apalagi media elektronik seperti televisi.
Dalam personal communications jika komunikan ataupun komunikator marah, tersinggung dan tidak mengerti, maka bisa langsung dilakukan permintaan maaf dan sebagainya. Tapi dalam media massa tidak bisa secepat dalam personal communication.
Tidak ada peluang bagi sebuah proses talk-back, istilah dalam televisi di mana khalayak itu harus diberi kesempatan berbicara dan berdialog. Di media cetak memang ada surat pembaca, tapi bagaimanapun tidak seefektif personal communication, karena masih ada pemisah waktu (menunggu keesokan harinya).
Dalam masyarakat kita, idiom media massa belum terbangun. Kalau idiom wayang sudah terbangun, di mana kritik lewat wayang tidak membuat orang sakit hati, karena ia sudah built-in dalam budaya kita. Ketika kritik dituangkan dalam koran, film dan televisi hasilnya ternyata menjadi lain. Karena idiom-idiomnya belum akrab dengan kultur kita, karena ini adalah "barang baru". Budaya membaca, budaya menonton TV adalah idiom baru kita.
Ini yang terjadi juga dalam penyelenggaraan kekuasaan. Yang tidak mau dikritik bukan hanya pemerintah, tapi juga para pemimpin masyarakat. Ini masalah yang kita hadapi, ialah bagaimana menumbuhkan idiom media massa, sehingga kritik lewat media itu bisa diterima dalam perasaan dan dalam pandangan.
Seperti kalau kita berbicara pada personal communication atau dalam idiom wayang. Idiom yang namanya kebebasan pers ini yang harus kita tumbuhkan. Kebebasan pers itu seperti apa? Di samping memang idiom itu bukan hanya persoalan budaya, tapi cara melihat persoalan dan kepentingan yang berbeda. Menurut saya bagaimanapun juga budaya kritik harus dikembangkan.
Sejauh saya bisa mengikuti Pak Harto, kritik diterima. Tapi kalau sudah dijelaskan, ternyata masm mengkritik, maka beliau kurang berkenan. "Wong“ sudah dijelaskan, masih mengkritik". Beliau pernah berkata, bahwa ada dua kelompok, yaitu: yang tidak ngerti, dan yang pura-pura tidak ngerti, karena memang berpolitik.
Itu berkali-kali dikemukakan dalam berbagai kesempatan yang saya ikuti. Padahal kalau saya boleh jujur, kadang-kadang duduknya perkara itu beda, sudut pandangnya beda. Ini yang harus kita temukan bagaimana caranya sehingga kritik bukan dalam idiom personal communications pun tidak menimbulkan salah paham.
Baca juga selanjutnya di bawah ini :
Baca juga selanjutnya di bawah ini :
Post a Comment for "Manajemen Khas Indonesia Masa Suharto (Catatan Seorang Wartawan)"