Kerajaan Majapahit di Jawa Terbesar Dalam Sejarah Indonesia
Kerajaan Majapahit di Jawa Terbesar Dalam Sejarah Indonesia
Kerajaan Majapahit ialah kerajaan Hindu-Buddha yang terakhir menguasai Nusantara ini dan juga telah dianggap sebagai kerajaan terbesar dalam sejarah Indonesia. Menurut Negarakertagama, kekuasaannya dari Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, hingga sampai Indonesia timur, walaupun wilayah kekuasaannya masih selalu diperdebatkan.
Tetapi hanya terdapat sedikit bukti fisik dari sisa peninggalan Kerajaan Majapahit, dan sejarahnya juga tidak jelas. Sumber utama yang telah dipakai oleh para sejarawan ialah Pararaton ('Kitab Raja-raja') dalam bahasa Kawi dan Nagarakretagama dalam bahasa Jawa Kuno.
Pararaton yang paling utama menceritakan Ken Arok (pendiri Kerajaan Singhasari) tetapi juga telah mengulas beberapa bagian pendek mengenai berdirinya Kerajaan Majapahit. Sementara itu, Nagarakertagama merupakan suatu puisi Jawa Kuno yang telah ditulis pada masa kejayaan Majapahit di bawah kepemimpinan Hayam Wuruk.
Kakawin Nagarakretagama pada tahun 2008 telah diakui sebagai bagian dalam Daftar Ingatan Dunia (Memory of the World Programme) oleh UNESCO. Setelah masa itu, hal yang telah terjadi juga tidaklah jelas. Karena juga terdapat beberapa prasasti dalam bahasa Jawa Kuno maupun catatan sejarah dari Tiongkok dan negara-negara lain.
Keakuratan semua naskah berbahasa Jawa itu telah dipertentangkan. Juga tidak bisa disangkal bahwa sumber-sumber ini memuat unsur non-historis dan mitos. Dari beberapa sarjana seperti C.C. Berg telah menganggap semua naskah itu bukan catatan masa lalu, tetapi mempunyai arti supernatural dalam hal bisa mengetahui masa depan.
Tetapi, banyak pula sarjana yang juga beranggapan bahwa garis besar sumber-sumber tersebut bisa diterima karena sejalan dengan catatan sejarah dari Tiongkok, pada umumnya daftar penguasa dan keadaan kerajaan yang bisa tampak cukup pasti.
Tahun 2010 sekelompok pengusaha Jepang yang dipimpin Takajo Yoshiaki telah membiayai pembuatan kapal Majapahit atau Spirit of Majapahit yang akan berlayar ke Asia. Menurut Takajo, hal itu dilaksanakan untuk mengenang kerjasama Majapahit dan Kerajaan Jepang melawan Kerajaan China (Mongol) dalam pertempuran di Samudera Pasifik.
Menurut Guru Besar Arkeologi Asia Tenggara National University of Singapore John N. Miksic jangkauan kekuasaan Majapahit menguasai Sumatra dan Singapura bahkan Thailand yang bisa dibuktikan dengan pengaruh kebudayaan, corak bangunan, candi, patung dan seni.
Bahkan ada juga perguruan silat bernama Kali Majapahit yang berasal dari Filipina dengan anggotanya dari Asia dan Amerika. Silat Kali Majapahit itu mengklaim berakar dari Kerajaan Majapahit kuno yang disebut menguasai Filipina, Singapura, Malaysia dan Selatan Thailand.
Berdirinya Majapahit
Arca Harihara (paduan Siwa dan Wisnu) perwujudan Kertarajasa dari Candi Simping, Blitar, kini koleksi Museum Nasional. Sebelum berdirinya Kerajaan Majapahit, Singhasari telah menjadi kerajaan paling kuat di Jawa. Hal ini juga menjadi perhatian Kubilai Khan, penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok.
Dia telah mengirim utusan yang bernama Meng Chi ke Singhasari untuk menuntut upeti. Kertanagara, penguasa kerajaan Singhasari yang terakhir telah menolak untuk membayar upeti dan mempermalukan utusan itu dengan merusak wajahnya dan memotong telinganya. Kubilai Khan akhirnya marah dan memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa tahun 1293 untuk perang.
Pada waktu itu, Jayakatwang, adipati Kediri, sudah mengalahkan dan membunuh Kertanegara. Atas saran Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengampunan kepada Raden Wijaya, menantu Kertanegara, yang datang menyerahkan diri.
Lalu kemudian, Wiraraja mengirim duta ke Daha, yang membawa sepucuk surat yang berisi pernyataan, Raden Wijaya telah menyerah dan ingin mengabdi kepada Jayakatwang. Jawaban dari surat di atas telah disambut dengan senang hati.
Raden Wijaya lalu kemudian telah diberi hutan Tarik. Dia telah membuka hutan itu dan membangun desa baru. Desa itu dinamai Majapahit, yang namanya diambil dari buah maja, dan rasa "pahit" dari buah tersebut. Ketika pasukan Mongol datang, Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongol untuk bertempur melawan Jayakatwang.
Sesudah berhasil mengalahkan Jayakatwang, Raden Wijaya telah berbalik menyerang sekutu Mongolnya sampai memaksa mereka menarik pulang kembali pasukannya secara kalang-kabut karena mereka berada di negeri asing. Pada saat itu juga merupakan kesempatan terakhir mereka untuk menangkap angin muson agar bisa pulang, atau mereka terpaksa harus menunggu enam bulan lagi di pulau yang asing.
Tanggal yang dipakai sebagai tanggal kelahiran kerajaan Majapahit ialah hari penobatan Raden Wijaya sebagai raja, yaitu tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 saka yang bertepatan dengan tanggal 10 November 1293. Dia dinobatkan dengan nama resmi Kertarajasa Jayawardhana.
Kerajaan itu telah mendapatkan masalah. Beberapa orang tepercaya Kertarajasa, termasuk Ranggalawe, Sora, dan Nambi akhirnya memberontak melawannya, walaupunpun pemberontakan itu tidak berhasil. Pemberontakan Ranggalawe ini telah didukung oleh Panji Mahajaya, Ra Arya Sidi, Ra Jaran Waha, Ra Lintang, Ra Tosan, Ra Gelatik, dan Ra Tati.
Semua ini disebutkan dalam Pararaton. Slamet Muljana juga menduga bahwa mahapatih Halayudha lah yang telah melaksanakan konspirasi untuk menjatuhkan semua orang tepercaya raja, agar dia bisa mencapai posisi tertinggi dalam pemerintahan. Tetapi setelah kematian pemberontak terakhir (Kuti), Halayudha akhirnya ditangkap dan dipenjara, dan lalu dihukum mati. Raden Wijaya wafat dunia pada tahun 1309.
Putra dan penerus Wijaya ialah Jayanegara. Pararaton juga menyebutnya Kala Gemet, yang berarti "penjahat lemah". Kira-kira pada waktu dalam kurun pemerintahan Jayanegara, seorang pendeta Italia, Odorico da Pordenone telah mengunjungi keraton Majapahit di Jawa.
Pada waktu sekitar tahun 1328, Jayanegara telah dibunuh oleh tabibnya, Tanca. Ibu tirinya yaitu Gayatri Rajapatni yang seharusnya menggantikannya, tetapi Rajapatni telah memilih mengundurkan diri dari istana dan menjadi bhiksuni.
Rajapatni telah menunjuk anak perempuannya Tribhuwana Wijayatunggadewi untuk menjadi ratu Majapahit. Pada tahun 1336, Tribhuwana juga telah menunjuk Gajah Mada sebagai Mahapatih, pada saat pelantikannya Gajah Mada telah mengucapkan Sumpah Palapa yang menunjukkan rencananya untuk meluaskan kekuasaan Majapahit dan membangun sebuah kemaharajaan.
Selama kekuasaan Tribhuwana, kerajaan Majapahit telah berkembang pesat menjadi lebih besar dan terkenal di kepulauan Nusantara. Tribhuwana berkuasa di Majapahit sampai kematian ibunya pada tahun 1350. Akhirnya dia dilanjutkan oleh putranya, Hayam Wuruk.
Kejayaan Majapahit
Perkembangan Kemaharajaan Majapahit, berawal di Trowulan, Majapahit, Jawa Timur, pada abad ke-13, lalu kemudian mengembangkan pengaruhnya atas kepulauan Nusantara, sehingga surut dan runtuh pada awal abad ke-16. Hayam Wuruk, disebut juga Rajasanagara, yang telah memerintah Majapahit dari tahun 1350 hingga 1389. Pada waktu masanya Majapahit telah mencapai puncak keemasannya dengan bantuan mahapatihnya, Gajah Mada. Di bawah perintah Gajah Mada (1313-1364), Majapahit telah menguasai banyak wilayah.
Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, diwilayah kekuasaan Majapahit telah meliputi Sumatra, semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik (Singapura) dan sebagian kepulauan Filipina.
Tetapi, batasan alam dan ekonomi telah menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan itu tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit, namun terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang kemungkinan berupa monopoli oleh raja. Majapahit juga mempunyai hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma dibagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke Tiongkok.
Selain itu telah meluncurkan serangan dan ekspedisi militer, Majapahit juga menempuh jalan diplomasi dan menjalin persekutuan. Kemungkinan karena telah didorong alasan politik, Hayam Wuruk berhasrat memperistri Citraresmi (Pitaloka), putri Kerajaan Sunda sebagai permaisurinya.
Pihak Sunda telah menganggap lamaran itu sebagai perjanjian persekutuan. Pada 1357 rombongan raja Sunda beserta keluarga dan pengawalnya bertolak ke Majapahit untuk mengantarkan sang putri untuk dinikahkan dengan Hayam Wuruk.
Tetapi Gajah Mada telah melihat hal itu sebagai peluang untuk memaksa kerajaan Sunda tunduk di bawah Majapahit. Pertarungan antara keluarga kerajaan Sunda dengan tentara Majapahit di lapangan Bubat tidak terhindarkan. Meskipun dengan gagah berani telah memberikan perlawanan, keluarga kerajaan Sunda akhirnya kewalahan dan akhirnya menyerah.
Hampir semua seluruh rombongan keluarga kerajaan Sunda mampu dibinasakan secara kejam. Tradisi menyebutkan bahwa sang putri yang kecewa, dengan hati remuk redam telah melakukan "bela pati", bunuh diri untuk membela kehormatan negaranya.
Kisah Pasunda Bubat telah menjadi tema utama dalam naskah Kidung Sunda yang disusun pada zaman kemudian di Bali dan juga naskah Carita Parahiyangan. Kisah ini disinggung dalam Pararaton tetapi sama sekali tidak disebutkan dalam Nagarakretagama.
Kakawin Nagarakretagama yang telah disusun pada tahun 1365 juga menyebutkan budaya keraton yang adiluhung, anggun, dan canggih, dengan cita rasa seni dan sastra yang halus dan tinggi, serta sistem ritual keagamaan yang sangat rumit.
Sang pujangga telah menggambarkan Majapahit sebagai pusat mandala raksasa yang membentang dari Sumatra ke Papua, mencakup Semenanjung Malaya dan Maluku. Tradisi lokal di berbagai daerah di Nusantara masih mencatat kisah legenda mengenai kekuasaan Majapahit.
Administrasi pemerintahan langsung oleh kerajaan Majapahit hanya mencakup wilayah Jawa Timur dan Bali, di luar daerah itu hanya semacam pemerintahan otonomi luas, pembayaran upeti berkala, dan pengakuan kedaulatan Majapahit atas mereka. Akan tetapi segala pemberontakan atau tantangan itu bagi ketuanan Majapahit atas daerah itu bisa mengundang reaksi keras.
Pada tahun 1377, beberapa tahun setelah wafatnya patih Gajah Mada, Majapahit melancarkan serangan laut untuk menumpas pemberontakan di Palembang. Walaupun pemimpin Majapahit telah memperluas kekuasaannya berbagai pulau dan kadang-kadang juga menyerang kerajaan tetangga, perhatian utama Majapahit tampaknya ialah untuk mendapatkan porsi terbesar dan mengendalikan perdagangan di kepulauan Nusantara.
Surutnya Majapahit
Setelah mencapai puncaknya kejayaan pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur surut. Sesudah wafatnya Hayam Wuruk pada tahun 1389, Majapahit telah memasuki masa kemunduran atau kesurutan akibat konflik perebutan takhta.
Pewaris Hayam Wuruk ialah putri mahkota Kusumawardhani, yang menikahi sepupunya sendiri, pangeran Wikramawardhana. Hayam Wuruk juga mempunyai seorang putra dari selirnya Wirabhumi yang juga menuntut haknya atas takhta.
Perang saudara tidak terhindarkan yang disebut Perang Paregreg diperkirakan terjadi pada tahun 1405-1406, antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Perang itu akhirnya dimenangi Wikramawardhana, semetara Wirabhumi ditangkap dan kemudian dipancung. Tampaknya perang saudara ini melemahkan kendali Majapahit atas daerah-daerah taklukannya di seberang.
Pada waktu pemerintahan Wikramawardhana, serangkaian ekspedisi laut Dinasti Ming yang dipimpin oleh laksamana Cheng Ho, seorang jenderal muslim China, tiba di Jawa beberapa kali antara kurun waktu 1405 sampai 1433. Sejak tahun 1430 ekspedisi Cheng Ho ini telah menimbulkan komunitas muslim China dan Arab di beberapa kota pelabuhan pantai utara Jawa, seperti di Semarang, Demak, Tuban, dan Ampel; maka Islam pun mulai mempunyai pijakan di pantai utara Jawa.
Wikramawardhana memimpin pemerintahan sampai tahun 1426, dan diteruskan oleh putrinya, Ratu Suhita, yang memerintah pada tahun 1426 sampai 1447. Dia adalah putri kedua Wikramawardhana dari seorang selir yang juga putri kedua Wirabhumi.
Pada 1447, Suhita wafat dan pemerintahan dilanjutkan oleh Kertawijaya, adik laki-lakinya. Dia memerintah sampai tahun 1451. Setelah Kertawijaya wafat, Bhre Pamotan menjadi raja dengan gelar Rajasawardhana dan memerintah di Kahuripan.
Dia wafat pada tahun 1453 AD. Telah terjadi jeda waktu tiga tahun tanpa raja akibat krisis pewarisan takhta. Girisawardhana, putra Kertawijaya, naik takhta pada 1456. Dia kemudian wafat pada 1466 dan digantikan oleh Singhawikramawardhana. Pada 1468 pangeran Kertabhumi memberontak terhadap Singhawikramawardhana dan mengangkat dirinya sebagai raja Majapahit.
Pada waktu Majapahit didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama sudah mulai banyak yang memasuki Nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh Nusantara mulai surut. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan Islam, yaitu Kesultanan Malaka, mulai muncul di bagian barat Nusantara.
Di bagian barat kemaharajaan telah mulai runtuh ini, Majapahit tidak mampu lagi membendung kebangkitan Kesultanan Malaka yang pada pertengahan abad ke-15 mulai menguasai Selat Malaka dan melebarkan kekuasaannya ke Sumatra. Sementara itu beberapa jajahan dan daerah taklukan Majapahit di daerah lainnya di Nusantara, satu per satu mulai melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit menjadi milik Kesultanan Malaka.
Sebuah tampilan model kapal Majapahit di Museum Negara Malaysia, Kuala Lumpur, Malaysia. Kapal yang ditampilkan ini berjenis kapal Borobudur.
Setelah mengalami kekalahan dalam perebutan kekuasaan dengan Bhre Kertabumi, Singhawikramawardhana akhirnya mengasingkan diri ke pedalaman di Daha (bekas ibu kota Kerajaan Kediri) dan terus melanjutkan pemerintahannya di sana sampai digantikan oleh putranya Ranawijaya pada tahun 1474.
Pada 1478 Ranawijaya mengalahkan Kertabhumi dengan memanfaatkan ketidakpuasan umat Hindu dan Budha atas kebijakan Bhre Kertabumi serta mempersatukan kembali Majapahit menjadi satu kerajaan.
Ranawijaya memimpin pemerintahan pada kurun waktu 1474 sampai 1498 dengan gelar Girindrawardhana sampai dia ditaklukkan oleh Patih Udara. Akibat konflik dinasti ini, Majapahit menjadi semakin lemah dan mulai bangkitnya kekuatan kerajaan Demak yang didirikan oleh keturunan Bhre Wirabumi di pantai utara Jawa.
Waktu berakhirnya Kemaharajaan Majapahit berkisar pada kurun waktu tahun 1478 (tahun 1400 saka, berakhirnya abad dianggap sebagai waktu lazim pergantian dinasti dan berakhirnya suatu pemerintahan sampai tahun 1518.
Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi sirna ilang kretaning bumi. Sengkala ini konon ialah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini ialah “sirna hilanglah kemakmuran bumi”.
Tetapi yang sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala itu adalah gugurnya Bhre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana. Raden Patah yang saat itu ialah adipati Demak sebetulnya berupaya membantu ayahnya dengan mengirim bala bantuan yang dipimpin oleh Sunan Ngudung, tetapi mengalami kekalahan bahkan Sunan Ngudung wafat di tangan Raden Kusen adik Raden Patah yang memihak Ranawijaya sampai para dewan wali menyarankan Raden Fatah untuk meneruskan pembangunan masjid Demak.
Hal itu telah diperkuat oleh prasasti Jiyu dan Petak, Ranawijaya mengaku bahwa dia telah mengalahkan Kertabhumi dan memindahkan ibu kota ke Daha (Kediri). Kejadian itu kahirnya memicu perang antara Ranawijaya dengan Kesultanan Demak, karena penguasa Demak adalah keturunan Kertabhumi.
Sebenarnya perang itu sudah mulai surut ketika Patih Udara melaksanakan kudeta ke Girindrawardhana dan mengakui kekuasan Demak bahkan memperistri anak termuda Raden Patah, tetapi peperangan terjadi kembali ketika Prabu Udara meminta bantuan Portugis.
Sehingga pada tahun 1518, Demak melaksanakan serangan ke Daha yang mengakhiri sejarah Majapahit dan ke Malaka. Sejumlah besar abdi istana, seniman, pendeta, dan anggota keluarga kerajaan mengungsi ke pulau Bali. Pengungsian ini kemungkinan besar untuk menghindari pembalasan dan hukuman dari Demak akibat selama ini mereka mendukung Ranawijaya melawan Kertabhumi.
Dengan jatuhnya Daha yang dihancurkan oleh Demak pada tahun 1518, kekuatan kerajaan Islam pada awal abad ke-16 akhirnya mengalahkan sisa kerajaan Majapahit. Demak di bawah pemerintahan Raden (kemudian menjadi Sultan) Patah (Fatah), telah diakui sebagai penerus kerajaan Majapahit. Menurut Babad Tanah Jawi dan tradisi Demak, legitimasi Raden Patah karena dia adalah putra raja Majapahit Brawijaya V dengan seorang putri China.
Catatan sejarah dari Tiongkok, Portugis (Tome Pires), dan Italia (Pigafetta) mengindikasikan bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus, penguasa dari Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M.
Demak telah memastikan posisinya sebagai kekuatan regional dan membuat kerajaan Islam pertama yang berdiri di tanah Jawa. Saat itu setelah runtuhan Majapahit, sisa kerajaan Hindu yang masih bertahan di Jawa hanya tinggal kerajaan Blambangan di ujung timur, serta Kerajaan Sunda yang beribu kota di Pajajaran di bagian barat.
Perlahan-lahan Islam mulai menyebar seiring mundurnya masyarakat Hindu ke pegunungan dan ke Bali. Beberapa kantung masyarakat Hindu Tengger sampai sekarang masih bertahan di pegunungan Tengger, kawasan Bromo dan Semeru.
Baca juga selanjutnya di bawah ini :
Post a Comment for "Kerajaan Majapahit di Jawa Terbesar Dalam Sejarah Indonesia"