Peninggalan Kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatra
Peninggalan Kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatra
Sriwijaya ialah salah satu kemaharajaan bahari yang juga pernah berdiri di pulau Sumatra dan juga banyak menimbulkan pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan berdasarkan peta yang membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatra, Jawa Barat dan kemungkinan juga Jawa Tengah.
Di dalam bahasa Sanskerta, sri berarti "bercahaya" atau "gemilang", dan wijaya berarti "kemenangan" atau "kejayaan", maka dari itu nama Sriwijaya bermakna "kemenangan yang gilang-gemilang".
Bukti awal mula mengenai keberadaan kerajaan itu berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok dari Dinasti Tang, I Tsing, yang menulis bahwa dia mendatangi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan. Selanjutnya prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, ialah prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682.
Belum banyak bukti fisik mengenai Kerajaan Sriwijaya yang bisa ditemukan. Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; pada masa lalunya yang telah terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika itu sarjana Prancis George Coedes telah mempublikasikan penemuannya dalam surat kabar yang berbahasa Belanda dan Indonesia.
Coedes telah menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap "San-fo-ts'i", sebelumnya telah dibaca "Sribhoja", dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno telah merujuk pada kekaisaran yang sama.
Kerajaan Sriwijaya
Historiografi Sriwijaya didapat dan disusun dari dua macam sumber utama; catatan sejarah Tiongkok dan sejumlah prasasti batu Asia Tenggara yang telah ditemukan dan diterjemahkan. Catatan perjalanan bhiksu peziarah I Ching sangatlah penting, terutama dalam menjelaskan kondisi Sriwijaya ketika dia mengunjungi kerajaan itu selama 6 bulan pada tahun 671.
Sekelompok prasasti siddhayatra abad ke-7 yang telah ditemukan di Palembang dan Pulau Bangka juga merupakan sumber sejarah primer yang sangat penting. Di samping itu, kabar-kabar regional yang mungkin mendekati kisah legenda, seperti Kisah mengenai Maharaja Javaka dan Raja Khmer juga mampu memberikan sekilas keterangan. Selain itu juga, beberapa catatan musafir India dan Arab juga telah menjelaskan secara samar-samar mengenai kekayaan raja Zabag yang menakjubkan itu.
Selain berita-berita diatas itu, telah ditemukan oleh Balai Arkeologi Palembang sebuah perahu kuno yang diperkirakan ada sejak masa Kerajaan Sriwijaya di Desa Sungai Pasir, Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan. Sayang, kepala perahu kuno trsebut sudah tidak ada dan sebagian papan perahu itu digunakan justru buat jembatan.
Tercatat ada 17 keping perahu yang terdiri dari bagian lunas, 14 papan perahu yang terdiri dari bagian badan dan bagian buritan untuk menempatkan kemudi. Perahu itu telah dibuat dengan teknik pasak kayu dan papan ikat yang menggunakan tali ijuk. Cara ini sendiri dikenal dengan sebutan teknik tradisi Asia Tenggara. Selain bangkai perahu itu, juga ditemukan sejumlah artefak-artefak lain yang berhubungan dengan temuan perahu, seperti tembikar, keramik, dan alat kayu.
Sriwijaya juga menjadi simbol kebesaran Sumatra awal, dan kerajaan terbesar Nusantara. Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut telah menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwa Indonesia juga merupakan satu kesatuan negara sebelum kolonialisme Belanda.
Sriwijaya juga disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts'i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sanskerta dan bahasa Pali, kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabaj dan Khmer menyebutnya Malayu.
Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit untuk ditemukan. Sementara dari peta Ptolemaeus telah ditemukan keterangan tentang adanya 3 pulau Sabadeibei yang kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya.
Pusat Kerajaan Sriwijaya
Menurut Prasasti Kedukan Bukit, yang bertarikh 605 Saka (683 M), Kadatuan Sriwijaya pertama kali didirikan sekitar di Palembang, di tepian Sungai Musi. Prasasti itu telah menyebutkan bahwa Dapunta Hyang berasal dari Minanga Tamwan.
Lokasi yang tepat dari Minanga Tamwan masih diperdebatkan. Teori Palembang sebagai tempat di mana Sriwijaya pertama kali bermula diajukan oleh Coedes dan didukung oleh Pierre-Yves Manguin. Selain Palembang, tempat lain seperti Muaro Jambi (Sungai Batanghari, Jambi) dan Muara Takus (pertemuan Sungai Kampar Kanan dan Kiri, Riau) juga diduga sebagai ibu kota Sriwijaya.
Berdasarkan observasi sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin telah menyimpulkan bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatra Selatan sekarang), tepatnya di sekitar situs Karanganyar yang kini dijadikan Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya.
Pendapat ini telah didasari dari foto udara tahun 1984 yang menunjukkan bahwa situs Karanganyar telah menampilkan bentuk bangunan air, yaitu jaringan kanal, parit, kolam serta pulau buatan yang disusun rapi yang dipastikan situs ini ialah buatan manusia.
Bangunan air itu terdiri atas kolam dan dua pulau yang berbentuk bujur sangkar dan empat persegi panjang, serta jaringan kanal dengan luas areal meliputi 20 hektare. Di kawasan itu telah ditemukan banyak peninggalan purbakala yang menunjukkan bahwa kawasan itu juga pernah menjadi pusat permukiman dan pusat aktivitas manusia.
Namun sebelumnya Soekmono telah berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak pada kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi (di provinsi Jambi sekarang), dengan catatan Malayu tidak boleh berada di kawasan tersebut.
Kalau Malayu berada pada kawasan tersebut, dia akan cendrung kepada pendapat Moens, yang sebelumnya juga berpendapat bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada kawasan Candi Muara Takus (provinsi Riau sekarang), dengan asumsi petunjuk arah perjalanan dalam catatan I Tsing, serta hal itu bisa juga dikaitkan dengan berita tentang pembangunan candi yang telah dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada kaisar Tiongkok yang dinamakan cheng tien wan shou (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus).
Poerbatjaraka telah mendukung pendapat Moens. Dia berpendapat bahwa Minanga Tamwan disamakan dengan daerah pertemuan Sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri, Riau, tempat di mana Candi Muara Takus kini berdiri.
Menurutnya, kata tamwan berasal dari kata "temu", lalu ditafsirkannya "daerah tempat sungai bertemu". Tetapi yang pasti pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I, berdasarkan prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribu kota di Kadaram (Kedah sekarang).
Pada tahun 2013, penelitian arkeologi yang digelar oleh Universitas Indonesia telah mendapatkan beberapa situs keagamaan dan tempat tinggal di Muaro Jambi. Hal itu telah menunjukkan bahwa pusat awal Sriwijaya mungkin terletak di Kabupaten Muaro Jambi, Jambi pada tepian sungai Batang Hari, dan bukanlah di Sungai Musi seperti anggapan sebelumnya.
Situs arkeologi yang mencakup delapan candi yang sudah digali, di kawasan seluas sekitar 12 kilometer persegi, membentang 7,5 kilometer di sepanjang Sungai Batang Hari, serta 80 menapo atau gundukan reruntuhan candi yang belum dipugar.
Situs Muaro Jambi bercorak Buddha Mahayana-Wajrayana. Hal itu telah mengarahkan bahwa situs tersebut ialah pusat pembelajaran Buddhis, yang telah disangkutpautkan dengan tokoh cendekiawan Buddhis terkenal Suvarṇadvipi Dharmakirti dari abad ke-10. Catatan sejarah dari Tiongkok juga menyebutkan bahwa Sriwijaya menampung ribuan biksu.
Teori lain yang mengajukan pendapat bahwa Dapunta Hyang berasal dari pantai timur Semenanjung Malaya, bahwa Chaiya di Surat Thani, Thailand Selatan ialah pusat kerajaan Sriwijaya. Ada juga yang pendapatnya menyatakan bahwa nama kota Chaiya berasal dari kata "Cahaya" dalam bahasa Melayu.
Ada juga yang percaya bahwa nama Chaiya berasal dari Sri Wijaya, dan kota ini ialah pusat Sriwijaya. Teori ini kebanyakan didukung oleh sejarahwan Thailand, walaupun secara umum teori ini telah dianggap kurang kuat.
Baca juga selanjutnya di bawah ini :
Post a Comment for "Peninggalan Kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatra"