Perjuangan Berdirinya Kerajaan Sunda di Tanah Jawa
Perjuangan Berdirinya Kerajaan Sunda di Tanah Jawa - Kerajaan Sunda atau Kerajaan Pasundan ialah kerajaan yang sudah pernah ada antara tahun 932 dan 1579 Masehi di bagian Barat pulau Jawa (Provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan sebagian Jawa Tengah sekarang). Kerajaan itu bahkan juga pernah menjadi penguasa di wilayah bagian selatan Pulau Sumatra.
Kerajaan ini yang bercorak Hindu dan Buddha, kemudian sekitar abad ke-14 telah diketahui kerajaan ini telah beribu kota di Pakuan Pajajaran serta mempunyai dua kawasan pelabuhan utama di Kalapa dan Banten.
Kerajaan Sunda mengalami runtuh setelah ibu kota kerajaan dikalahkan oleh Maulana Yusuf pada tahun 1579. Sementara sebelumnya kedua pelabuhan utama Kerajaan Sunda itu juga telah dikuasai oleh Kerajaan Demak pada tahun 1527, Kalapa ditaklukan oleh Fatahillah dan Banten ditaklukan oleh Maulana Hasanuddin.
Kerajaan Sunda Galuh
Berdirinya kerajaan Sunda
Berdasarkan Prasasti Kebonkopi II, yang berbahasa Melayu Kuno dengan tarikh 932, menyebutkan seorang "Raja Sunda berhasil menduduki kembali tahtanya". Hal ini bisa ditafsirkan bahwa Raja Sunda telah ada sebelumnya. Sementara itu dari sumber Tiongkok pada buku Zhufan Zhi yang telah ditulis pada tahun 1178 oleh Zhao Rugua menyebutkan terdapat satu kawasan dari San-fo-ts'i yang bernama Sin-to lalu kemudian dirujuk kepada Sunda.
Menurut naskah Wangsakerta, naskah itu sebagian orang meragukan keasliannya serta diragukan sebagai sumber sejarah karena sangat sistematis, telah menyebutkan Sunda merupakan kerajaan yang berdiri untuk menggantikan kerajaan Tarumanagara.
Kerajaan Sunda telah didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 669 (591 Saka). Kerajaan itu merupakan salah satu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan bagian barat provinsi Jawa Tengah.
Sebelum berdiri sebagai kerajaan ini yang mandiri, Sunda merupakan wilayah bawahan Kerajaan Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun, 666-669 M), yang menikah dengan Dewi Ganggasari dari Indraprahasta.
Dari Ganggasari, ia memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Dewi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapunta Hyang Sri Jayanasa, pada akhirnya mampu mendirikan Kerajaan Sriwijaya.
Setelah Linggawarman wafat, kekuasaan Kerajaan Tarumanagara diturun kepada menantunya, Tarusbawa. Pada akhirnya semua ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702) telah memberontak, melepaskan diri dari kekuasaan Tarumanagara, serta mendirikan Kerajaan Galuh yang mandiri.
Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara, dan selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda, di hulu sungai Cipakancilan dimana di daerah tersebut sungai Ciliwung dan sungai Cisadane berdekatan dan berjajar, dekat Bogor saat ini.
Sedangkan Tarumanagara diubah menjadi bawahannya. Tarusbawa dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18 Mei 669 M). Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaannya yaitu sungai Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).
Wilayah kekuasaan
Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceritakan perjalanan Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang telah mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang pada saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah timur ialah Ci Pamali ("Sungai Pamali", sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah.
Kerajaan Sunda yang beribukota di Pajajaran itu juga mencakup wilayah bagian selatan pulau Sumatra. Setelah Kerajaan Sunda dikalahkan oleh Kesultanan Banten maka kekuasaan atas wilayah selatan Sumatra dilanjutkan oleh Kesultanan Banten.
Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda telah mencakup juga daerah yang saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan Sunda dan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.
Peta Wilayah Kekuasaan Kerajaan Sunda
Persekutuan antara Sunda dan Galuh
Putera Tarusbawa yang terbesar, Rarkyan Sundasambawa, meninggal ketika saat masih muda, meninggalkan seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa ini lalu dinikahi oleh Rahyang Sanjaya dari Galuh, sampai memiliki seorang putera, Rahyang Tamperan.
Ibu dari Sanjaya ialah Sanaha, cucu Ratu Shima dari Kalingga di Jepara. Ayah dari Sanjaya ialah Bratasenawa atau Sena atau Sanna, Raja Galuh ketiga sekaligus teman dekat Tarusbawa. Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Sena pada tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh oleh Purbasora. Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tetapi beda ayah.
Sena dan keluarganya telah menyelamatkan diri ke Pakuan Pajajaran, pusat Kerajaan Sunda, dan meminta pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali memang, Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya telah menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara. Lalu dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerbu Galuh dengan bantuan Tarusbawa. Penyerbuan ini bertujuan untuk menundukkan Purbasora.
Saat Tarusbawa wafat (tahun 723), kekuasaan Sunda dan Galuh berada di tangan Sanjaya. Di tangan Sanjaya, Sunda dan Galuh akhirnya bisa bersatu kembali. Tahun 732, Sanjaya menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh kepada puteranya Rarkyan Panaraban (Tamperan).
Di Kerajaan Kalingga Sanjaya telah memegang kekuasaan selama 22 tahun (732-754), yang lalu kemudian diganti oleh puteranya dari Dewi Sudiwara, yaitu Rakai Panangkaran. Rarkyan Panaraban berkuasa di Sunda-Galuh selama tujuh tahun (732-739), lalu membagi kekuasaan pada dua puteranya; Sang Manarah (dalam carita rakyat disebut Ciung Wanara) di Galuh, serta Sang Banga (Hariang Banga) di Sunda.
Sang Banga (Prabhu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya) telah menjadi raja selama 27 tahun (739-766), tetapi hanya menguasai wilayah Sunda dari tahun 759. Dari Dewi Kancanasari, keturunan Demunawan dari Saunggalah, Sang Banga memiliki putera bernama Rarkyan Medang, yang kemudian meneruskan kekuasaanya di Sunda selama 17 tahun (766-783) dengan gelar Prabhu Hulukujang.
Karena anaknya perempuan, Rakryan Medang mewariskan kekuasaanya kepada menantunya, Rakryan Hujungkulon atau Prabhu Gilingwesi dari Galuh, yang telah menguasai Sunda selama 12 tahun (783-795).
Karena Rakryan Hujungkulon inipun hanya memiliki anak perempuan, maka kekuasaan Sunda lantas jatuh ke tangan menantunya, Rakryan Diwus (dengan gelar Prabu Pucukbhumi Dharmeswara) yang berkuasa selama 24 tahun (795-819). Dari Rakryan Diwus, kekuasaan Sunda jatuh ke tangan puteranya, Rakryan Wuwus, yang menikah dengan putera dari Sang Welengan (raja Galuh, 806-813).
Kekuasaan Galuh ini juga jatuh kepadanya saat saudara iparnya, Sang Prabhu Linggabhumi (813-842), meninggal dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh Rakryan Wuwus (dengan gelar Prabhu Gajahkulon) sampai dia meninggal dunia tahun 891.
Sepeninggal Rakryan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke tangan adik iparnya dari Galuh, Arya Kadatwan. Hanya saja, karena tidak disukai oleh para pembesar dari Sunda, dia akhirnya dibunuh tahun 895, sedangkan kekuasaannya diturunkan ke tangan putranya, Rakryan Windusakti.
Kekuasaan ini lantas diturunkan pada putera sulungnya, Rakryan Kamuninggading (913). Rakryan Kamuninggading telah menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun, kemudian direbut oleh adiknya, Rakryan Jayagiri (916).
Rakryan Jayagiri berhasil berkuasa selama 28 tahun, lalu kemudian diwariskan kepada menantunya, Rakryan Watuagung, tahun 942. Melanjutkan dendam orangtuanya, Rakryan Watuagung direbut kekuasaannya oleh keponakannya (putera Kamuninggading), Sang Limburkancana (954-964).
Dari Limburkancana, kekuasaan Sunda-Galuh telah diwariskan kepada putera sulungnya, Rakryan Sundasambawa (964-973). Karena tidak memiliki putera dari Sundasambawa, kekuasaan itu jatuh ke adik iparnya, Rakryan Jayagiri (973-989).
Rakryan Jayagiri mewariskan kekuasaannya kepada puteranya, Rakryan Gendang (989-1012), dilanjutkan oleh cucunya, Prabhu Dewasanghyang (1012-1019). Dari Dewasanghyang, kekuasaan diwariskan kepada puteranya, lalu ke cucunya yang membuat prasasti Cibadak, Sri Jayabhupati (1030-1042). Sri Jayabhupati ialah menantu dari Dharmawangsa Teguh dari Jawa Timur, mertua Raja Airlangga (1019-1042).
Dari Sri Jayabhupati, kekuasaan diwariskan kepada putranya, Dharmaraja (1042-1064), lalu ke cucu menantunya, Prabhu Langlangbhumi (1064-1154). Prabu Langlangbhumi telah dilanjutkan oleh putranya, Rakryan Jayagiri (1154-1156), lalu oleh cucunya, Prabhu Dharmakusuma (1156-1175).
Dari Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan kepada putranya, Prabhu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122 tahun (1175-1297). Prabu Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah selama 12 tahun, kemudian memindahkan pusat pemerintahan kepada Pakuan Pajajaran, kembali lagi ke tempat awal moyangnya (Tarusbawa) yang memimpin kerajaan Sunda.
Sepeninggal Dharmasiksa, kekuasaan Sunda-Galuh diturun ke putranya yang terbesar, Rakryan Saunggalah (Prabhu Ragasuci), yang berkuasa selama 6 tahun (1297-1303). Prabhu Ragasuci kemudian telah diganti oleh putranya, Prabhu Citraganda, yang berkuasa selama 8 tahun (1303-1311), lalu kemudian oleh keturunannya lagi, Prabu Linggadewata (1311-1333).
Karena hanya memiliki anak perempuan, Linggadewata menurunkan kekuasaannya ke menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340), lalu kemudian ke Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Dari Prabu Ragamulya, kekuasaan telah diwariskan ke putranya, Prabu Maharaja Linggabuanawisesa (1350-1357), yang di ujung kekuasaannya meninggalan saat Perang Bubat.
Karena saat kejadian di Bubat, putranya-Niskalawastukancana-masih kecil, kekuasaan Sunda sementara dipegang oleh Patih Mangkubumi Sang Prabu Bunisora (1357-1371).
Sapeninggal Prabu Bunisora, kekuasaan kembali lagi ke putra Linggabuana, Niskala Wastu Kancana, yang kemudian memimpin selama 104 tahun (1371-1475). Dari isteri pertama, Nay Ratna Sarkati, dia memiliki putera Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal), yang telah diberi kekuasaan bawahan di daerah sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda).
Prabu Susuktunggal yang berkuasa dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat pemerintahan ini dengan mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Pemerintahannya terbilang lama (1382-1482), sebab sudah dimulai sejak ayahnya masih berkuasa di daerah timur. Dari Nay Ratna Mayangsari, istrinya yang kedua, dia memiliki putera Ningratkancana (Prabu Dewaniskala), yang telah meneruskan kekuasaan ayahnya di daerah Galuh (1475-1482).
Susuktunggal dan Ningratkancana menyatukan ahli warisnya dengan menikahkan Jayadewata (putra Ningratkancana) dengan Ambetkasih (putra Susuktunggal). Tahun 1482, kekuasaan Sunda dan Galuh telah dipersatukan lagi oleh Jayadewata, yang bergelar Sri Baduga Maharaja.
Raja-raja Kerajaan Sunda-Galuh
Menurut sejarah Prasasti Sanghyang Tapak yang berangka tahun 1030 (952 Saka), telah diketahui bahwa kerajaan Sunda dipimpin oleh Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwana Mandala Swaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa.
Prasasti itu terdiri dari 40 baris yang ditulis dalam Aksara Kawi pada 4 buah batu, yang ditemukan di tepi sungai Cicatih di Cibadak, Sukabumi. Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nesional dengan nomor kode D 73 (dari Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi ketiga batu pertama berisi tulisan sebagai berikut :
"Selamat. Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, Ahad, Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa, membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak. Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah sini sungai dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak sebelah hulu. Di sebelah hilir dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak pada dua batang pohon besar. Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan Sumpah."
Prasasti lain yang menyebut raja Sunda ialah Prasasti Batutulis yang telah ditemukan di Bogor. Berdasarkan Prasasti Batutulis berangka tahun 1533 (1455 Saka), disebutkan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, sebagai raja yang bertahta di Pakuan Pajajaran.
Prasasti ini terletak di Jalan Batutulis, Kelurahan Batutulis, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Prasasti Batutulis telah dianggap terletak di situs ibu kota Pajajaran. Prasasti ini yang dikaitkan dengan Kerajaan Sunda. Pada batu ini berukir kalimat-kalimat dalam bahasa dan aksara Sunda Kuno. Prasati ini yang dibuat oleh Prabu Sanghiang Surawisesa (yang melakukan perjanjian dengan Portugis) dan menceritakan kemashuran ayahandanya tercinta (Sri Baduga Maharaja) sebagai berikut:
"Semoga selamat, ini tanda peringatan Prabu Ratu almarhum. Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana, dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) Pakuan.
Dia putera Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan ke Nusa Larang. Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, membuat undakan untuk hutan Samida, membuat Sahiyang Telaga Rena Mahawijaya (dibuat) dalam (tahun) Saka "Panca Pandawa Mengemban Bumi".
Sayang sekali tidak atau belum ditemukan prasasti-prasasti lainnya yang menyebutkan nama-nama raja Sunda setelah masa raja terakhir Tarumanagara sampai masa Sri Jayabupati dan antara masa Sri Jayabupati dan Rahiyang Niskala Watu Kancana. Tetapi nama-nama raja Sunda lainnya hanya ditemukan pada naskah-naskah kuno.
Naskah kuno Fragmen Carita Parahyangan (koleksi Perpustakaan Nasional Kropak 406) menyebutkan silsilah raja-raja Sunda mulai dari Tarusbawa, penerus raja terakhir Tarumanagara, dengan penerusnya mulai dari Maharaja Harisdarma, Rahyang Tamperan, Rahyang Banga, Rahyangta Wuwus, Prabu Sanghyang, Sang Lumahing Rana, Sang Lumahing Tasik Panjang, Sang Winduraja, sampai akhirnya kepada Rakean Darmasiksa.
Naskah kuno Carita Parahyangan (koleksi Perpustakaan Nasional) menyebutkan silsilah raja setelah masa Tarumanagara. Yang pertama disebutkan ialah Tohaan di Sunda (Tarusbawa). Berikutnya disebutkan nama-nama raja penerusnya seperti Sanjaya, Prabu Maharaja Lingga Buana, raja Sunda yang meninggal dikhianati di Bubat (Jawa Timur) yang merupakan ayahnya Rahiyang Niskala Wastu Kancana, sampai Surawisesa.
Sedangkan nama-nama raja penerus Surawisesa yang berperang dengan Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon bisa ditemukan dalam sejarah Banten.
Tahun-tahun masa pemerintaha para raja Sunda secara terperinci bisa ditemukan pada naskah Pangeran Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Masehi) :
- Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669 - 723)
- Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 - 732)
- Tamperan Barmawijaya (732 - 739)
- Rakeyan Banga (739 - 766)
- Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 - 783)
- Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 - 795)
- Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 - 819)
- Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 - 891)
- Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 - 895)
- Windusakti Prabu DĂ©wageng (895 - 913)
- Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 - 916)
- Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 - 942)
- Atmayadarma Hariwangsa (942 - 954)
- Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 - 964)
- Munding Ganawirya (964 - 973)
- Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989)
- Brajawisesa (989 - 1012)
- Dewa Sanghyang (1012 - 1019)
- Sanghyang Ageng (1019 - 1030)
- Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 - 1042)
- Darmaraja (Sang Mokteng Winduraja, 1042 - 1065)
- Langlangbumi (Sang Mokteng Kerta, 1065 - 1155)
- Rakeyan Jayagiri Prabu Menakluhur (1155 - 1157)
- Darmakusuma (Sang Mokteng Winduraja, 1157 - 1175)
- Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 - 1297)
- Ragasuci (Sang Mokteng Taman, 1297 - 1303)
- Citraganda (Sang Mokteng Tanjung, 1303 - 1311)
- Prabu Linggadewata (1311-1333)
- Prabu Ajiguna Linggawisesa (1333-1340)
- Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
- Prabu Maharaja Linggabuanawisesa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357)
- Prabu Bunisora, Adik Linggabuanawisesa (1357-1371)
- Prabu Niskala Wastu Kancana putra Linggabuanawisesa (1371-1475)
- Prabu Susuktunggal (1475-1482) sebagai Raja Sunda saja, karena sepeninggal Prabu Niskala Wastu Kancana kerajaan dipecah dua di antara Prabu Susuktunggal dan Prabu Dewa Niskala dalam kedudukan sederajat.
- Jayadewata Sri Baduga Maharaja putra Dewa Niskala, 1482-1521)
- Prabu Surawisesa (1521-1535)
- Prabu Dewatabuanawisesa (1535-1543)
- Prabu Sakti (1543-1551)
- Prabu Nilakendra (1551-1567)
- Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)
Temuan arkeologi
Di wilayah Jawa Barat telah ditemukan beberapa candi, antara lain Percandian Batujaya di Karawang (abad ke-2 sampai ke-12) yang bercorak Buddha, serta percandian Hindu yaitu Candi Bojongmenje di Kabupaten Bandung yang berasal dari abad ke-7 (sezaman dengan percandian Dieng), dan Candi Cangkuang di Leles, Garut yang bercorak Hindu Siwa dan diduga berasal dari abad ke-8 Masehi.
Siapa yang telah membangun candi-candi itu masih merupakan misteri, tetapi pada umumnya telah disepakati bahwa candi-candi ini dikaitkan dengan kerajaan Hindu yang pernah berdiri di Jawa Barat, yaitu Tarumanagara, Sunda dan Galuh.
Di Museum Nasional Indonesia di Jakarta terdapat sejumlah arca yang juga disebut "arca Caringin" karena pernah menjadi hiasan kebun asisten-residen Belanda di tempat tersebut. Arca tersebut telah dilaporkan ditemukan di Cipanas, dekat kawah Gunung Pulosari, dan terdiri dari satu dasar patung dan 5 arca berupa Shiwa Mahadewa, Durga, Batara Guru, Ganesha dan Brahma. Coraknya mirip dengan corak patung Jawa Tengah dari awal abad ke-10.
Candi Cangkuang di Leles
Di situslah purbakala Banten Girang, yang terletak kira-kira 10 km di sebelah selatan pelabuhan Banten sekarang, terdapat reruntuhan dari satu istana yang telah diperkirakan dibuat pada abad ke-10. Banyak unsur yang telah ditemukan dalam reruntuhan itu yang menunjukkan pengaruh Jawa Tengah.
Situs-situs arkeologi lain yang berkaitan dengan keberadaan Kerajaan Sunda, masih bisa ditelusuri terutama pada kawasan muara Sungai Ciliwung termasuk situs Sangiang di daerah Pulo Gadung (sekarang Pulo Gadung, Jakarta Timur). Hal ini mengingat jalur sungai merupakan salah satu alat transportasi utama pada masa dulu.
Baca juga selanjutnya di bawah ini :
Post a Comment for "Perjuangan Berdirinya Kerajaan Sunda di Tanah Jawa"