Raja Kedua Kerajaan Medang Rakai Panangkaran
Raja Kedua Kerajaan Medang Rakai Panangkaran - Sri Maharaja Rakai Panangkaran Dyaḥ Pancapana ialah raja kedua (2) Sejarah Kerajaan Medang masa periode Jawa Tengah atau lazim disebut juga Kerajaan Mataram Kuno. Sri Maharaja Rakai Panangkaran Dyaḥ Pancapana telah memerintah sekitar tahun 770-an. Masa kepemimpinannya menandai dimulainya kegairahan membangun berbagai candi beraliran Buddha Mahayana di Dataran Prambanan; yaitu Tarabhavanam, Abhayagirivihara, dan Manjusrigrha.
Minimnya data-data sejarah Mataram Kuno yang menyebabkan terjadinya beberapa penafsiran di antara para sejarawan untuk mengetahui asal usul Rakai Panangkaran. Ada yang berpendapat dia berasal dari Wangsa Sanjaya, ada pula yang berpendapat dia berasal dari Wangsa Sailendra.
Hubungan dengan Sanjaya dan Dharanindra
Sanjaya merupakan salah satu raja pertama Kerajaan Medang. Tetapi menurut prasasti Canggal (732), dia telah menganut agama Hindu aliran Siwa. Oleh karena itu Rakai Panangkaran ialah raja kedua Kerajaan Medang. Menurut prasasti Kalasan (778), dia membangun sebuah candi Buddha aliran Mahayana. Sehubungan dengan berita itu, telah timbul beberapa teori seputar hubungan di antara kedua raja itu.
Teori yang pertama telah dipelopori oleh Van Naerssen menyebutkan bahwa, Rakai Panangkaran ialah putra Sanjaya. Wangsa Sanjaya lalu kemudian dikalahkan oleh Wangsa Sailendra yang menganut agama Buddha. Pembangunan Candi Kalasan tidak lain merupakan perintah dari raja Sailendra terhadap Rakai Panangkaran yang telah tunduk sebagai bawahan.
Candi Kalasan
Tetapi raja Sailendra itu telah diperkirakan sama dengan Dharanindra yang telah ditemukan dalam prasasti Kelurak (782). Teori itu banyak dikembangkan oleh para sejarawan Barat, antara lain George Cœdes, ataupun Dr. F.D.K. Bosch.
Teori yang kedua telah dikemukakan oleh Prof. Poerbatjaraka yang menyebutkan bahwa, Rakai Panangkaran ialah putra Sanjaya tetapi keduanya sama-sama berasal dari Wangsa Sailendra, bukan Wangsa Sanjaya. Dalam hal ini Poerbatjaraka tidak mengakui keberadaan Wangsa Sanjaya.
Tetapi menurut pendapatnya yang juga telah didukung oleh sejarawan Marwati Pusponegoro dan Nugroho Notosutanto, sebelum wafat, Sanjaya sempat berwasiat agar Rakai Panangkaran berpindah ke agama Buddha. Teori itu berdasarkan kisah dalam Carita Parahyangan tentang tokoh Rahyang Panaraban putra Sanjaya yang telah dikisahkan pindah agama. Rahyang Panaraban itu menurut Poerbatjaraka identik dengan Rakai Panangkaran. Jadi, yang dimaksud dengan "para guru raja Sailendra" tidak lain ialah guru Rakai Panangkaran itu sendiri.
Teori yang ketiga telah dikemukakan oleh Slamet Muljana bahwa, Rakai Panangkaran bukan putra Sanjaya. Dalam daftar para raja versi prasasti Mantyasih tertulis nama Sanjaya yang bergelar Sang Ratu, sedangkan Rakai Panangkaran bergelar Sri Maharaja. Perubahan gelar itu telah membuktikan terjadinya pergantian dinasti yang telah berkuasa di Kerajaan Medang.
Jadi, Rakai Panangkaran ialah raja dari Wangsa Sailendra yang telah mampu berhasil merebut takhta Medang serta mengalahkan Wangsa Sanjaya. Menurut Slamet Muljana, Rakai Panangkaran tidak mungkin berstatus sebagai bawahan Wangsa Sailendra karena dalam prasasti Kalasan dia telah dipuji sebagai Sailendrawangsatilaka (permata Wangsa Sailendra).
Dalam hal itu, Slamet Muljana telah menolak teori bahwa Rakai Panangkaran ialah bawahan Dharanindra. Tetapi menurutnya, Rakai Panangkaran dan Dharanindra sama-sama berasal dari Wangsa Sailendra. Walaupun demikian, dia tidak menganggap keduanya sebagai tokoh yang sama.
Menurutnya, Dharanindra tidak sama dengan Rakai Panangkaran yang mempunyai nama asli Dyah Pancapana (sesuai pemberitaan prasasti Kalasan). Muljana berpendapat, Dharanindra ialah nama asli dari Rakai Panunggalan, yaitu raja ketiga Kerajaan Medang yang namanya disebut sesudah Rakai Panangkaran dalam prasasti Mantyasih.
Sang Pembangun Candi
Maharaja Rakai Panangkaran yang menempati urutan kedua dalam daftar raja-raja Kerajaan Medang versi prasasti Mantyasih. Namanya telah ditulis setelah Sanjaya, yang telah diyakini sebagai pendiri kerajaan tersebut. Prasasti itu dikeluarkan oleh Maharaja Dyah Balitung pada tahun 907, atau ratusan tahun sejak masa kehidupan Rakai Panangkaran.
Oleh karena itu, prasasti yang berasal dari zaman Rakai Panangkaran ialah prasasti Kalasan tahun 778. Prasasti itu merupakan piagam peresmian pembangunan sebuah candi Buddha yang bernama Tarabhavanam (Buana Tara) untuk memuja Dewi Tara.
Pembangunan itu atas permohonan para guru raja Sailendra. Dalam prasasti itu Rakai Panangkaran telah dipuji sebagai Sailendrawangsatilaka atau “permata Wangsa Sailendra”. Candi yang telah didirikan oleh Rakai Panangkaran tersebut sekarang juga dikenal dengan sebutan Candi Kalasan.
Periode pemerintahannya ditandai dengan giatnya pembangunan candi-candi beraliran Buddha Mahayana di kawasan Dataran Prambanan. Selain candi Kalasan, berapa candi yang telah diperkirakan dibangun atas prakarsa Rakai Panangkaran antara lain Candi Sari yang dikaitkan sebagai wihara pendamping Candi Kalasan, Candi Lumbung, Prasada Vajrasana Manjusrigrha (Candi Sewu), dan Abhayagiri Vihara (kompleks Ratu Boko).
Prasasti Abhayagiri Wihara yang berangka tahun 792 M telah menyebutkan tokoh bernama Tejahpurnapane Panamkarana (Rakai Panangkaran) yang mengundurkan diri sebagai Raja karena menginginkan ketenangan rohani dan memusatkan pikiran pada masalah keagamaan dengan mendirikan wihara yang bernama Abhayagiri Wihara, yang dikaitkan dengan kompleks Ratu Boko. Diperkirakan Raja Panangkaran telah meninggal sebelum Candi Sewu dan Abhayagirivihara rampung, sehingga dia tidak sempat menyaksikan beberapa karyanya (Candi Sewu).
Peta Candi Kalasan versi SS
Jika kurang jelas lagi teman-teman bisa langsung kita lihat di Peta Versi Google Map
Post a Comment for "Raja Kedua Kerajaan Medang Rakai Panangkaran "