Seni Sastra dan Filsafat Masa Dinasti Song
Seni Sastra dan Filsafat Masa Dinasti Song - Seni visual pada Zaman Dinasti Song telah mengalami kemajuan dengan adanya suatu perkembangan baru dalam lukisan lanskap dan potret. Seni seperti melukis, berpuisi, dan menulis kaligrafi merupakan waktu luang bagi golongan shenshi.
Penyair dan negarawan Su Shi dan rekannya Mi Fu (1051–1107) suka mengoleksi barang antik, dan juga seringkali meminjam atau membeli seni untuk dipelajari dan disalin. Sastra dan persajakan mengalami kemajuan karena kepopulerannya yang terus meningkat dan dikembangkannya gaya puisi.
Volume-volume ensiklopedia dirancang, seperti historiografi dan risalah teknik. Contohnya ialah teks sejarah universal Zizhi Tongjian yang dirancang menjadi 1.000 volume yang mengandung 9,4 juta aksara Mandarin. Aliran sastra perjalanan juga menjadi populer berkat tulisan Fan Chengda (1126–1193) dan Su Shi.
Su Shi sendiri unik karena telah menulis perjalanan harian dengan gaya penulisan persuasif untuk mendukung suatu argumen filosofis. Walaupun gaya direktori geografis lokal sudah ada di Tiongkok semenjak abad ke-1, pada zaman Dinasti Song gaya baru yang telah matang juga disebut "risalah perihal suatu tempat" atau fangzhi menggantikan gaya lama "panduan peta" atau tujing.
Buddha Mahayana Dinasti Song
Istana kaisar telah dipenuhi dengan pelukis, penulis kaligrafi, penyair, dan pencerita. Kaisar Huizong juga merupakan seniman dan pelindung seni yang terkenal. Contohnya pelukis istana yang sangat terhormat adalah Zhang Zeduan (1085–1145), yang melukis lukisan panorama Qingming Shanghe Tu (Di Sepanjang Sungai Selama Festival Qingming).
Kaisar Gaozong telah melancarkan proyek seni besar-besaran yang dikenal dengan nama Hujia Shiba Pai (Delapan Belas Lagu Suling Pengembara) yang didasarkan dari kisah kehidupan Cai Wenji (lahir 177). Proyek seni ini merupakan langkah diplomatik untuk Dinasti Jin agar ibunda Kaisar dibebaskan.
Di dalam dunia filsafat, pengaruh Buddhisme Tiongkok telah memudar, tetapi pengaruhnya dalam dunia seni dan amal biara masih terasa melekat. Buddhisme sangat memengaruhi pergerakan Neo-Konfusianisme yang dipimpin oleh Cheng Yi (1033–1107) dan Zhu Xi (1130–1200).
Konsep universalisme etika dalam Buddha Mahayana memengaruhi Fan Zhongyan dan Wang Anshi, sementara metafisika Buddha sangat berdampak bagi doktrin pra-Neo-Konfusianisme Cheng Yi. Karya filosofis Cheng Yi sendiri pada gilirannya memengaruhi Zhu Xi.
Walaupun penulisannya tidak bisa diterima oleh rekan kontemporernya, penjelasan dan penekanan Zhu terhadap Empat Kitab dan Lima Klasik sebagai pengenalan Konfusianisme menjadi dasar doktrin Neo-Konfusianisme. Pada tahun 1241, dengan sokongan dari Kaisar Lizong, Empat Kitab dan Lima Klasik serta penjelasan Zhu Xi menjadi persyaratan standar bagi orang yang ingin lulus ujian pegawai negeri.
Negara-negara Asia Timur seperti Jepang dan Korea telah menerapkan ajaran Zhu Xi, yang juga dikenal dengan nama Shushigaku (朱子学, Mazhab Zhu Xi) di Jepang dan Jujahak (주자학) di Korea. Sementara itu, pengaruh Buddhisme tampak dalam berbagai lukisan seperti Pencucian Luohan karya Lin Tinggui.
Tetapi, Buddhisme juga menuai kritikan dan bahkan cibiran. Negarawan dan sejarawan Ouyang Xiu (1007–1072) menyebut agama tersebut sebagai "kutukan" yang hanya bisa disembuhkan dengan menghapuskannya dari budaya Tiongkok dan menggantikannya dengan Konfusianisme.
Buddhisme tidak akan mengalami kebangkitan lagi yang sesungguhnya dalam masyarakat Tiongkok sampai Dinasti Yuan Mongol berkuasa, saat Kublai Khan mendukung Buddhisme Tibet dan Drogon Chogyal Phagpa sebagai lama. Tidak hanya itu, sekte Nestorianisme dalam Kekristenan, yang telah memasuki Tiongkok pada masa Dinasti Tang, juga akan mengalami kebangkitan pada masa Dinasti Yuan.
Post a Comment for "Seni Sastra dan Filsafat Masa Dinasti Song"