Munculnya Gerakan G 30 S/PKI 1965
Munculnya Gerakan G 30 S/PKI 1965
Peristiwa inilah yang sampai sekarang masih menyimpan misteri kontroversi. Utamanya ialah yang berhubungan dengan pertanyaan ''Siapa dalang Gerakan 30 September 1965 sebenarnya ?'' Setidaknya terdapat tujuh teori mengenai peristiwa ini kudeta G30S tahun 1965 ini :
1. Gerakan 30 September merupakan Persoalan Internal Angkatan Darat (AD).
Telah dikemukakan antara lain oleh Ben Anderson, W.F. Wertheim, dan Coen Hotsapel, teori ini menyatakan bahwa G30S hanyalah peristiwa yang telah muncul akibat adanya persoalan di kalangan Angkatan Darat sendiri. Hal ini misalnya didasarkan pada pernyataan pemimpin Gerakan, yaitu Letnan Kolonel Untung yang menyatakan bahwa para pemimpin Angkatan Darat hidup bermewah-mewahan dan memperkaya diri sehingga mencemarkan nama baik Angkatan Darat. Pendapat seperti ini sebenarnya berlawanan dengan kenyataan yang ada. Jenderal Nasution misalnya, Panglima Angkatan Bersenjata ini justru hidupnya sederhana.
2. Dalang Gerakan 30 September ialah Dinas Intelejen Amerika Serikat (CIA).
Teori ini berasal antara lain dari tulisan Peter Dale Scott atau Geoffrey Robinson. Menurut teori ini Amerika Serikat sangat khawatir Indonesia jatuh ke tangan komunis. PKI pada masa itu memang telah kuat-kuatnya menanamkan pengaruh di Indonesia. Karena itu CIA kemudian bekerjasama dengan suatu kelompok dalam tubuh Angkatan Darat untuk memprovokasi PKI agar melaksanakan gerakan kudeta. Setelah itu, ganti PKI yang dihancurkan. Tujuan akhir skenario CIA ini adalah menjatuhkan kekuasaan Soekarno.
3. Gerakan 30 September merupakan Pertemuan antara Kepentingan Inggris - AS.
Menurut teori ini G30S adalah titik temu antara keinginanInggris yang ingin sikap konfrontatif Soekarno terhadap Malaysia bisa diakhiri melalui penggulingan kekuasaan Soekarno, dengan keinginan Amerika Serikat agar Indonesia terbebas dari komunisme. Dimasa itu, Soekarno memang tengah gencar melancarkan provokasi menyerang Malaysia yang dikatakannya sebagai negara boneka Inggris. Teori dikemukakan antara lain oleh Greg Poulgrain.
4. Soekarno ialah Dalang Gerakan 30 September.
Teori yang dikemukakan antara lain oleh Anthony Dake dan John Hughes ini beranjak dari asumsi bahwa Soekarno berkeinginan melenyapkan kekuatan oposisi terhadap dirinya, yang berasal dari sebagian perwira tinggi Angkatan Darat. Karena PKI dekat dengan Soekarno, partai inipun terseret. Dasar teori ini antara lain berasal dari kesaksian Shri Biju Patnaik, seorang pilot asal India yang mejadi sahabat banyak pejabat Indonesia sejak masa revolusi. Ia mengatakan bahwa pada 30 September 1965 tengah malam Soekarno memintanya untuk meningalkan Jakarta sebelum subuh. Menurut Patnaik, Soekarno berkata ''sesudah itu saya akan menutup lapangan terbang''. Disini Soekarno seakan tahu bahwa akan ada ''peristiwa besar'' esok harinya.
5. Tidak ada pemeran tunggal dan skenario besar dalam peristiwa Gerakan 30 September (Teori Chaos).
Dikemukakan antara lain oleh John D.Legge, teori ini menyatakan bahwa tidak ada dalang tunggal dan tidak ada skenario besar dalam G30S. Kejadian ini hanya merupakan hasil dari perpaduan antara, seperti yang disebut Soekarno ; ''unsur-unsur Nekolim (negara Barat), pimpinan PKI yang keblinger serta oknum-oknum ABRI yang tidak benar''. Semuanya pecah dalam improvasi di lapangan.
6. Soeharto sebagai dalang Gerakan 30 September.
Pendapat yang menyatakan bahwa Soeharto adalah dalang Gerakan 30 September antara lain dikemukakan oleh Brian May dalam bukunya, ''Indonesia Tragedi''. Menurut sebagai pemimpin Gerakan 30 September 1965 dengan Mayjen. Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Panglima Kostrad.
7. Dalang Gerakan 30 September adalah PKI.
Menurut teori ini tokoh-tokoh PKI adalah penanggungjawab peristiwa kudeta, dengan cara memperalat unsur-unsur tentara. Dasarnya adalah serangkaian kejadian dan aksi yang telah dilancarkan PKI antara tahun 1959 - 1965. Dasar lainnya adalah bahwa setelah G30S, beberapa perlawanan bersenjata yang dilakukan oleh kelompok yang menanamkan diri CC PKI sempat terjadi di Blitar Selatan, Grobokan, dan Klaten.
Teori yang dikemukakan antara lain oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh ini merupakan teori yang paling umum didengar mengenai kudeta tanggal 30 September 1965. Namun terlepas dari teori mana yang benar mengenai peristiwa G30S yang pasti sejak Demokrasi Terpimpin secara resmi dimulai pada tahun 1959, Indonesia memang diwarnai dengan figur Soekarno yang menampilkan dirinya sebagai penguasa tunggal di Indonesia. Ia juga menjadi kekuatanpenengah diantara dua kelompok politik besar yang saling bersaing dan berkurung dalam pertentangan yang tidak terdamaikan saat itu; Angkatan Darat dengan PKI.
Gambar Gerakan G 30 S/PKI 1965
Juli 1960 misalnya, PKI melancarkan kecaman-kecaman terhadap kabinet dan tentara. Ketika tentara bereaksi, Soekarno segera turun tangan sehingga persoalan ini sementara selesai. Hal ini kemudian malah membuat hunungan Soekarno dengan PKI kian dekat (Crouch, 1999 dan Ricklefs, 2010.
Bulan Agustus 1960 Masyumi dan Partai Sosial Indonesia (PSI) yang merupakan partai pesaing PKI, dibubarkan pemerintah. PKI pun semakin giat melaksanakan mobilisasi massa untuk meningkatkan pengaruh dan memperbanyak anggota. Partai-partai lain seperti NU dan PNI sehingga saat itu praktis telah dilumpuhkan.
Ditingkat pusat PKI mulai berusaha dengan sungguh-sungguh untuk duduk dalam kabinet. Mungkin PKI merasa kedudukannya sudah cukup kuat. Pada tahun-tahun sebelumnya partai ini umumnya hanya melancarkan kritik terhadap pemerintah khususnya para menteri yang memiliki pandangan politik berbeda dengan mereka.
Di bidang kebudayaan, saat sekelompok cendekiawan anti-PKI memproklamasikan Manifesto Kebudayaan (Manikebu) yang tidak ingin kebudayaan nasional didominasi oleh suatu idiologi politik tertentu (misalnya komunis), Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang pro PKI segera mengecam keras. Soekarno ternyata menyepakati kecaman tersebut. Tidak sampai satu tahun usianya, Manikebu dilarang pemerintah.
Sedangkandi daerah, persoalan-persoalan yang muncul tampaknya malah lebih pelik lagi karena bersinggungan dengan konflik yang lebih radikal. Hal ini sebagian merupakan akibat dari masalah-masalah yang ditimbulkan oleh program di bidang agraria (landreform/UU Pokok Agraria 1960), dimana PKI segera melancarkan apa yang disebut sebagai kampanye aksi sepihak.
Aksi ini merupakan upaya mengambil alih tanah milik pihak-pihak mapan di desa dengan paksa dan menolak janji-janji bagi hasil yang lama. ''Tujuh Setan Desa'' karenanya dirumuskan oleh PKI, yang terdiri dari tuan tanah jahat, lintah darat, tukang ijon, tengkulak jahat, kapitalis birokrat desa, pejabat desa jahat dan bandit desa. ''Setan Desa'' menurut versi PKI ini, menurut Tornquist, ujung-ujungnya merujuk pada para pemilik tanah.
Adegan-adegan protes pun berlangsung bahkan radikalisme dipraktikkan hingga upaya menurunkan lurah serta aksi protes terhadap para sesepuh desa. Dalam aksi pengambilalihan tanah terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur, juga Bali, Jawa Barat dan Sumatera Utara masa PKI-pun terlibat dalam pertentangan yang sengit dengan, tentu saja, para tuan tanah, juga kaum birokrat dan para pengelola yang berasal dari kalangan tentara.
Para tuan tanah kebetulan pula kebanyakan berasal dari kalangan muslim yang taat dan pendukung PNI. Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan PKI, khususnya di Jawa Timur, segera saja berhadapan muka dengan para santri NU.
Di kota-kota tindakan liar juga bukan tidak terjadi. Inilah misalnya tergambar dalam cerita mengenai istri seorang dokter terkenal di Solo, yang akan pergi ke suatu resepsi. Ia, yang mengenakan kebaya lengkap dengan sanggul besar dan sepatu hak tinggi, digiring oleh ratusan tukang becak di tengah terik matahari ke kantor polisi untuk menyelesaikan pertikaian harga becak.
Adegan serupa pernah juga terjadi diberbagai kota. Ada pula para kepala desa yang sudah tua disidangkan di depan pengadilan rakyat (ong Hok Ham, 1999). Selama tahun 1964, perlawanan terhadap aksi sepihak semakin lama semakin kuat. Kekerasan semakin kerap terjadi. Di Jawa Timur tidak balsan anti PKI dipelopori oleh kelompok pemuda NU, yaitu Ansor.
Hubungan Angkatan Darat dengan PKI sendiri pada masa itu juga kian memanans, Sindiran dan kritik kerap dilontarkan para petinggi PKI terhadap Angkatan Darat. Pada bulan-bulan awal tahun 1965 PKI menyerang para pejabat anti PKI dengan menuduhnya sebagai kapitalis birokrat yang korup.
Demonstrasi-demonstrasi juga dilakukan untuk menuntut pembubaran Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Maka hingga pertengahan tahun 1965 atau sebelum pecah kudeta di awal Oktober, kekuatan politik di ibukota tampaknya sudah semakin bergeser ke kiri. PKI kian berasa di atas angin dengan perjuangan partai yang semakin intensif.
Usul pembentukan angkatan ke-5 selain AD-AU-AL-AK yang dikemukakan oleh PKI pada Januari 1965, diakui memang semakin memperkeruh suasana terutama dalam hubungan antara PKI dan TNI AD. Tentara telah membanyangkan bagaimana 21 juta petani dan buruh bersenjata, bebas dari pengawasan mereka.
Bagi para petinggi militer gagasan ini bisa berarti pengukuhan aksi politik yang matang, bermuara pada dominasi PKI yang hendak mendirikan pemerintahan komunis yang pro-RRC (Republik Rakyat Cina yang komunis) di Indonesia (Southwood dan Flanagan, 2013). Usulan ini akhirnya memang gagal direalisasikan.
PKI lalu meniupkan isu tentang adanya Jenderal Dewan di tubuh AD yang tengah mempersiapan suatu kudeta. Di sini PKI menyodorkan ''Dokumen Gilchrist'' yang ditandatangani Duta Besar Inggris di Indonesia. Isi dokumen ditafsirkan sebagai isyarat adanya operasi dari pihak Inggris-AS dengan melibatkan our local army friend (kawan-kawan kita dari tentara setempat) untuk melakukan kudeta.
Meski kebenaran isi dokumen ini diragukan dan Jenderal Ahmad Yani kemudian menyanggah keberadaan Dewan Jenderal ini saat Presiden Soekarno bertanya kepadanya, namun pertentangan PKI dengan Angkatan Darat kini tampaknya telah mencapai level yang akut.
Pada bulan Mei 1965, Pelda. Sujono yang berusaha menghentikan penyerobotan tanah perkebunan tewas dibunuh sekelompok orang dari BTI dalam peristiwa Bandar Betsy di Sumatera Utara. Jenderal Yani segera menuntut agar mereka yang terlibat dalam peristiwa Bandar Betsy diadili. Sikap tegasnya didukung penuh oleh organisasi-organisasi Islam, Protestan, dan Katolik.
Sementara itu di Mantingan, PKI berusaha mengambil paksa tanah wakaf Pondok Modern Gontor seluas 160 hektar (Ambarwulan dan Kasdi dalam Taufik Abdullah, ed., 2012:139). Sebuah tindakan yang tentu saja semakin membuat marah kalangan Islam. Apalagi empat bulan sebelumnya telah terjadi peristiwa Kanigoro Kediri, dimana BTI telah membuat kacau peserta mental Training Pelajar Islam Indonesia dan memasuki tempat ibadah saat subuh tanpa melepas alas kaki yang penuh lumpur lalu melecehkan Al-Qur'an.
Suasana pertentangan antara PKI dengan AD dan golongan lain non PKI pun telah sedemikian panasnya menjelang tanggal 30 September 1965. Apalagi pada bulan Juli sebelumnya Soekarno tiba-tiba jatuh sakit. Tim dokter Cina yang didatangkan DN Aidit untuk memeriksa Soekarno menyimpulkan bahwa presiden RI tersebut kemungkinan akan meninggal atau lumpuh. Maka dalam rapat Politbiro PKI tanggal 28 September 1965, pimpinan PKI pun memutuskan untuk bergerak.
Dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung, perwira yang dekat dengan PKI, pasukan pemberontak melaksanakan ''Gerakan 30 September'' dengan menculik dan membunuh para jenderal dan perwira di pagi buta tanggal 1 Oktober 1965. Jenazah para korban lalu dimasukkan ke dalam sumur tua di daerah Lubang Buaya Jakarta. Mereka adalah : Letnan Jenderal Ahmad Yani (Menteri atau Panglima AD), Mayor Jenderal S. Parman, Mayor Jenderal Soeprapto, Mayor Jenderal MT. Haryono, Brigadir Jenderal DI Panjaitan, Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo, dan Letnan Satu Pierre Andreas Tendean.
Sedangkan Jenderal Abdul Haris Nasution berhasil lolos dari upaya penculikan, namun putrinya Ade Irma Suryani menjadi korban. Di Yogyakarta Gerakan 30 September juga melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap perwira AD yang anti PKI, yaitu :Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugiono.
Pada berita RRI pagi harinya, Letkol. Untung lalu menyatakan pembentukan ''Dewan Revolusi'' sebuah pengumuman yang membingungkan masyarakat. Dalam situasi tak menentu itulah Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Mayor Jenderal Soeharto segera berkeputusan mengambil alih pimpinan Angkatan Darat. karena Jenderal Ahmad Yani selaku Men/Pangad saat itu belum diketahui ada dimana.
Setelah berhasil menghimpun pasukan yang masih setia kepada Pancasila, operasi penumpasan Gerakan 30 September pun segera dilakukan. Bukan saja di Jakarta, melainkan hingga basis mereka di daerah-daerah lainnya.
Dalam perkembangan berikutnya, ketika diketahui bahwa Gerakan September ini berhubungan dengan PKI juga terjadi. Bukan saja oleh pasukan yang setia pada Pancasila tetapi juga dibantu oleh masyarakat yang tidak senang dengan sepak terjang PKI. G30S/PKI pun berhasil ditumpas, menandai pula berakhirnya gerakan dari Partai Komunis Indonesia.
Usul pembentukan angkatan ke-5 selain AD-AU-AL-AK yang dikemukakan oleh PKI pada Januari 1965, diakui memang semakin memperkeruh suasana terutama dalam hubungan antara PKI dan TNI AD. Tentara telah membanyangkan bagaimana 21 juta petani dan buruh bersenjata, bebas dari pengawasan mereka.
Bagi para petinggi militer gagasan ini bisa berarti pengukuhan aksi politik yang matang, bermuara pada dominasi PKI yang hendak mendirikan pemerintahan komunis yang pro-RRC (Republik Rakyat Cina yang komunis) di Indonesia (Southwood dan Flanagan, 2013). Usulan ini akhirnya memang gagal direalisasikan.
PKI lalu meniupkan isu tentang adanya Jenderal Dewan di tubuh AD yang tengah mempersiapan suatu kudeta. Di sini PKI menyodorkan ''Dokumen Gilchrist'' yang ditandatangani Duta Besar Inggris di Indonesia. Isi dokumen ditafsirkan sebagai isyarat adanya operasi dari pihak Inggris-AS dengan melibatkan our local army friend (kawan-kawan kita dari tentara setempat) untuk melakukan kudeta.
Meski kebenaran isi dokumen ini diragukan dan Jenderal Ahmad Yani kemudian menyanggah keberadaan Dewan Jenderal ini saat Presiden Soekarno bertanya kepadanya, namun pertentangan PKI dengan Angkatan Darat kini tampaknya telah mencapai level yang akut.
Pada bulan Mei 1965, Pelda. Sujono yang berusaha menghentikan penyerobotan tanah perkebunan tewas dibunuh sekelompok orang dari BTI dalam peristiwa Bandar Betsy di Sumatera Utara. Jenderal Yani segera menuntut agar mereka yang terlibat dalam peristiwa Bandar Betsy diadili. Sikap tegasnya didukung penuh oleh organisasi-organisasi Islam, Protestan, dan Katolik.
Sementara itu di Mantingan, PKI berusaha mengambil paksa tanah wakaf Pondok Modern Gontor seluas 160 hektar (Ambarwulan dan Kasdi dalam Taufik Abdullah, ed., 2012:139). Sebuah tindakan yang tentu saja semakin membuat marah kalangan Islam. Apalagi empat bulan sebelumnya telah terjadi peristiwa Kanigoro Kediri, dimana BTI telah membuat kacau peserta mental Training Pelajar Islam Indonesia dan memasuki tempat ibadah saat subuh tanpa melepas alas kaki yang penuh lumpur lalu melecehkan Al-Qur'an.
Suasana pertentangan antara PKI dengan AD dan golongan lain non PKI pun telah sedemikian panasnya menjelang tanggal 30 September 1965. Apalagi pada bulan Juli sebelumnya Soekarno tiba-tiba jatuh sakit. Tim dokter Cina yang didatangkan DN Aidit untuk memeriksa Soekarno menyimpulkan bahwa presiden RI tersebut kemungkinan akan meninggal atau lumpuh. Maka dalam rapat Politbiro PKI tanggal 28 September 1965, pimpinan PKI pun memutuskan untuk bergerak.
Dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung, perwira yang dekat dengan PKI, pasukan pemberontak melaksanakan ''Gerakan 30 September'' dengan menculik dan membunuh para jenderal dan perwira di pagi buta tanggal 1 Oktober 1965. Jenazah para korban lalu dimasukkan ke dalam sumur tua di daerah Lubang Buaya Jakarta. Mereka adalah : Letnan Jenderal Ahmad Yani (Menteri atau Panglima AD), Mayor Jenderal S. Parman, Mayor Jenderal Soeprapto, Mayor Jenderal MT. Haryono, Brigadir Jenderal DI Panjaitan, Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo, dan Letnan Satu Pierre Andreas Tendean.
Sedangkan Jenderal Abdul Haris Nasution berhasil lolos dari upaya penculikan, namun putrinya Ade Irma Suryani menjadi korban. Di Yogyakarta Gerakan 30 September juga melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap perwira AD yang anti PKI, yaitu :Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugiono.
Pada berita RRI pagi harinya, Letkol. Untung lalu menyatakan pembentukan ''Dewan Revolusi'' sebuah pengumuman yang membingungkan masyarakat. Dalam situasi tak menentu itulah Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Mayor Jenderal Soeharto segera berkeputusan mengambil alih pimpinan Angkatan Darat. karena Jenderal Ahmad Yani selaku Men/Pangad saat itu belum diketahui ada dimana.
Setelah berhasil menghimpun pasukan yang masih setia kepada Pancasila, operasi penumpasan Gerakan 30 September pun segera dilakukan. Bukan saja di Jakarta, melainkan hingga basis mereka di daerah-daerah lainnya.
Dalam perkembangan berikutnya, ketika diketahui bahwa Gerakan September ini berhubungan dengan PKI juga terjadi. Bukan saja oleh pasukan yang setia pada Pancasila tetapi juga dibantu oleh masyarakat yang tidak senang dengan sepak terjang PKI. G30S/PKI pun berhasil ditumpas, menandai pula berakhirnya gerakan dari Partai Komunis Indonesia.
Baca juga selanjutnya di bawah ini :
Post a Comment for "Munculnya Gerakan G 30 S/PKI 1965"