Perlawanan Kapitan Patimura Terhadap VOC dan Juga Perang Padri
1. Perlawanan Pattimura
Perjuangan melawan pemerintah kolonial Belanda juga terjadi di Maluku. Perjuangan rakyat Maluku dalam melawan pemerintah kolonial Belanda di bawah pimpinan Pattimura. Adapun latar belakang perlawanan rakyat Maluku tersebut antara lain sebagai berikut ini :
- Pemerintah kolonial memberlakukan kembali penyerahan wajib dan kerja wajib.
- Pemerintah kolonial menurunkan tarif hasil bumi yang wajib diserahkan. sedangkan pembayarannya tersendat-sendat.
- Pemerintah kolonial memberlakukan uang kertas sedangkan rakyat Maluku telah terbiasa dengan uang logam.
- Pemerintah kolonial menggerakkan pemuda Maluku untuk menjadi prajurit Belanda.
Perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda diawali dengan tindakan Kapitan Pattimura yang mengajukan daftar keluhan kepada Residen Van den Bergh. Dalam daftar keluhan tersebut berisi tindakan semena-semena pemerintah kolonial Belanda yang menyengsarakan rakyat.
Keluhan tersebut tidak ditanggapi Belanda sehingga rakyat Maluku di bawah pimpinan Kapitan Pattimura menyerbu dan merebut benteng Duurstede di Saparua. Dalam pertempuran tersebut, Residen Van den Bergh terbunuh.
Perlawanan kemudian meluas ke Ambon, Seram, dan tempat lainnya. Akibatnya kedudukan Belanda semakin terdesak. Untuk mengatasi keadaan tersebut kemudian Belanda mengerahkan segenap kekuatannya untuk melawan rakyat Maluku.
Akhirnya pada awal Agustus 1817, benteng Duurstede dapat direbut kembali oleh Belanda. Namun perlawanan rakyat Maluku tetap berlanjut dengan cara bergerilya. Perlawanan rakyat Maluku berakhir dengan menyerahnya Kapitan Pattimura dengan teman-temannya kepada Residen Liman Pietersen.
Setelah Kapitan Pattimura dan teman-temannya diadili di Ambon, pada tanggal 16 Desember 1817 dihukum mati di depan benteng Nieuw Victoria. Mereka gugur sebagai pahlawan dalam membela rakyat yang tertindas.
2. Perang Padri
Perang Padri telah terjadi pada tahun 1821-1837 di Minangkabau, Sumatra Barat. Sebenarnya Perang Padri merupakan perlawanan kaum padri terhadap dominasi pemerintahan Belanda di Sumatra Barat. Terjadinya perang bermula dari adanya pertentangan antara kaum padri dan kaum adat dalam masalah praktik keagamaan.
Pertentangan tersebut dimanfaatkan sebagai pintu masuk bagi Belanda untuk campur tangan dalam urusan Minangkabau. Dalam melaksanakan pemurnian praktik ajaran Islam, kaum padri menentang praktik berbagai adat dan kebiasaan kaum adat yang dilarang dalam ajaran Islam. Kaum adat yang mendapat dukungan dari beberapa pejabat kerajaan menolak gerakan kaum padri.
Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1821 mengangkat James Du Puy sebagai residen di Minangkabau. Kemudian pada tanggal 10 Februari1821, James Du Puy mengadakan perjanjian persahabatan dengan tokoh adat (Tuanku Suruaso) dan 14 penghulu Minangkabau.
Berdasarkan perjanjian tersebut, ada beberapa daerah kemudian diduduki oleh Belanda. Selanjutnya pada tanggal 18 Februari 1821 Belanda yang telah diberi kemudahan oleh kaum padri, sehingga meletuskan Perang Padri pada tahun 1821.
Tiga fase Perang Padri :
1. Fase Pertama (1821-1825)
Pada fase ini kaum padri menyerang pos-pos dan pencegatan terhadap patroli-patroli Belanda. Serangan kaum padri meluas di seluruh tanah Minangkabau. Pada tahun 1823 pasukan padri berhasil mengalahkan tentara Belanda di Kapau. Kesatuan kaum padri yang terkenal berpusat di Bonjol dengan pemimpinnya Peto Syarif (Tuanku Imam Bonjol).
Tuanku Imam Bonjol sangat gigih melawan kekejaman dan keserakahan Belanda di Minangkabau. Belanda merasa kewalahan dan mengadakan perundingan damai pada tanggal 26 Januari 1824 antara Belanda dan kaum padri di wilayah Alahan Panjang. Perundingan tersebut dikenal dengan Perjanjian Masang. Tuanku Imam Bonjol tidak keberatan dengan perjanjian tersebut, tetapi Belanda justru memanfaatkan dengan menduduki daerah-daerah lain.
Tindakan Belanda tersebut menimbulkan amarah kaum padri Alahan Panjang dan menyatakan pembatalan kesepakatan dalam Perjanjian Masang. Tuanku Imam Bonjol menggelorakan kembali semangat untuk melawan Belanda.
2. Fase Kedua (1825-1830)
Pada fase ini ditandatangani Perjanjian Padang pada tanggal 15 November 1825. Berikut ini isi perjanjiannya :
- Belanda mengakui kekuasaan pemimpin padri di Batusangkar, Suruaso, Padang Guguk Sigandang, Agama, Bukittinggi dan menjamin pelaksanaan sistem agama di daerahnya.
- Kedua belah pihak tidak akan saling menyerang.
- Kedua belah pihak akan melindungi para pedagang dan orang-orang yang sedang melakukan perjalanan.
- Secara bertahap Belanda akan melarang praktik adu ayam.
3. Fase Ketiga (1830-1837/1838)
Pada fase ini sebagai upaya gencatan senjata pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Plakat Panjang. Plakat Panjang ialah pernyataan atau janji yang isinya tidak akan ada lagi peperangan antara Belanda dan kaum Padri.
Setelah pengumuman Plakat Panjang, Belanda mulai menawarkan perdamaian kepada para pemimpin padri. Ada beberapa tokoh yang memenuhi ajakan Belanda untuk berdamai. Ada juga para pejuang yang terus melanjutkan perlawanan.
Pada tahun 1834 Belanda memusatkan kekuatannya untuk menyerang pasukan Imam Bonjol. Belanda mencoba mendekati Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai. Tuanku Imam Bonjol bersedia berdamai, tetapi dengan persyaratan antara lain jika tercapai perdamaian, Imam Bonjol minta agar rakyat Bonjol dibebaskan dari bentuk kerja paksa dan tidak diduduki Belanda.
Belanda tidak memberi jawaban justru semakin ketat mengepung pertahanan di Bonjol. Sampai tahun 1836 benteng Bonjol dapat dipertahankan pasukan padri. Pada tanggal 16 Agustus 1837 benteng Bonjol berhasil dikepung dan dilumpuhkan, tetapi Tuanku Imam Bonjol bisa meloloskan diri.
Residen Francis menyerukan Imam Bonjol untuk berunding. Pada tanggal 28 Oktober 1837 Tuanku Imam Bonjol menerima tawaran damai, tetapi ternyata ajakan berunding tersebut hanya tipu muslihat, Tuanku Iamam Bonjol ditangkap dan dibawa ke Batavia.
Baca juga selanjutnya di bawah ini :
Post a Comment for "Perlawanan Kapitan Patimura Terhadap VOC dan Juga Perang Padri"