Perkembangan Politik Masa Demokrasi Terpimpin Menjadikan Indonesia Keluar dari PBB
Perkembangan Politik Masa Demokrasi Terpimpin Menjadikan Indonesia Keluar dari PBB - Masa Demokrasi Terpimpin dimulai dengan berlakunya Dekret Presiden 5 Juli 1959 sampai berakhirnya kekuasaan Presiden Soekarno pada tahun 1966. Disebut demokrasi terpimpin karena Indonesia pada saat itu mengandalkan pada kepemimpinan Presiden Soekarno. Demokrasi terpimpin merupakan reaksi terhadap demokrasi liberal atau parlementer karena pada masa Demokrasi Parlementer kekuasaan presiden hanya terbatas sebagai kepala negara, sedangkan kekuasaan pemerintah dilaksanakan oleh partai.
1. Dekret Presiden 5 Juli 1959
Pada pemilu tanggal 15 Desember 1955 berhasil memilih anggota DPR dan konstituante (dewan penyusun UUD). Pada tanggal 10 November 1956, konstituante ditarik dengan tugas utama merumuskan UUD yang baru sebagai pengganti UUDS 1950, kemudian konstituante mulai bersidang dengan pidato pembukaan dari presiden untuk menyusun dan menetapkan UUD RI tanpa ada pembatasan waktu.
Namun, ketika itu situasi dalam negeri terjadi pergolakan di daerah-daerah yang memuncak menjadi pemberontakan PRRI/Permesta. Berkaitan dengan keadaan tersebut sampai dengan awal tahun 1957 konstituante belum juga berhasil menyelesaikan tugasnya untuk merumuskan UUD yang baru.
Pada tanggal 3 Juni 1959, konstituante mengadakan reses (masa istirahat) yang ternyata untuk selama-lamanya. Untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Letnan Jenderal A.H. Nasution, atas nama Pemerintah atau Penguasa Perang Pusat (Peperpu) mengeluarkan peraturan Nomor Prt/Peperpu/040/1959, yang isinya larangan melakukan kegiatan-kegiatan politik.
Pada tanggal 16 Juni 1959, Ketua Umum PNI, Suwiryo, mengirimkan surat kepada Presiden Soekarno agar mendekretkan berlakunya kembali UUD 1945 dan membubarkan konstituante. Gagalnya konstituante dalam melaksanakan tugasnya serta rentetan peristiwa politik keamanan yang mengguncangkan persatuan dan kesatuan bangsa mencapai puncaknya pada bulan Juni 1959.
Untuk keselamatan negara berdasarkan snoodrecht (hukum keadaan bahaya bagi negara) pada hari Minggu tanggal 5 Juli 1959 pada pukul 17.00 dalam suatu upacara resmi di istana Merdeka, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekret Presiden yang berisi sebagai berikut ini :
- Pembubaran konstituante.
- Tidak berlakunya UUDS 1950 dan berlakunya kembali UUD 1945.
- Pembentukan MPRS dan DPAS.
2. Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin
Masa Demokrasi Terpimpin dimulai dengan berlakunya Dekret Presiden 5 Juli 1959 sampai berakhirnya kekuasaan Presiden Soekarno tahun 1966. Presiden Soekarno mengeluarkan dekret presiden ini sebagai upaya untuk menyelesaikan masalah negara yang semakin mengkhawatirkan. Berlakunya dekret presiden ini memiliki sisi positif dan sisi negatif.
Berikut sisi positif berlakunya Dekret Presiden 5 Juli 1959 :
- Menyelamatkan negara dari perpecahan dan krisis politik yang berkepentingan.
- Memberikan pedoman yang jelas, yaitu UUD 1945 dari kelangsungan hidup bangsa.
- Merintis pembentukan lembaga tertinggi negara, yaitu MPRS dan lembaga tinggi negara berupa DPAS yang selama masa Demokrasi Liberal tertunda pembentukannya.
Adapun sisi negatif berlakunya Dekret Presiden 5 Juli 1959 ialah sebagai berikut ini :
- Memberi kekuasaan besar kepada presiden, MPR, dan lembaga tinggi negara.
- Memberi peluang bagi militer untuk terjun dalam bidang politik.
Disebut demokrasi terpimpin karena demokrasi di Indonesia pada saat itu mengandalkan pada kepemimpinan Presiden Soekarno. Demokrasi terpimpin merupakan reaksi terhadap demokrasi liberal/parlementer karena pada masa Demokrasi Parlementer kekuasaan presiden hanya terbatas sebagai kepala negara, sedangkan kekuasaan pemerintah dilaksanakan oleh partai.
Pada masa Demokrasi Terpimpin kekuasaan presiden sangat besar dan mutlak sedangkan aktivitas partai dibatasi. Oleh karena kekuasaan presiden yang mutlak tersebut, mengakibatkan penataan kehidupan politik menyimpang dari tujuan awal, yaitu demokratisasi (menciptakan stabilitas politik yang demokratis) menjadi sentralisasi (pemusatan kekuasaan di tangan presiden).
a. Pembentukan MPRS
Berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 presiden membentuk MPRS. Tindakan tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Berdasarkan UUD 1945 pengangkatan anggota MPRS sebagai lembaga tertinggi negara harus melalui pemilihan umum sehingga partai-partai yang terpilih oleh rakyat memiliki anggota-anggota yang duduk di MPR. Ketua MPRS adalah Chairul Saleh, dengan tugas MPRS hanya terbatas pada menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Pada tanggal 10 November - 7 Desember 1960 MPRS mengadakan sidang umum pertama di Bandung. Sidang umum MPRS tersebut menghasilkan dua ketetapan sebagai berikut ini :
- Ketetapan MPRS Nomor I/MPRS/1960 yang menetapkan Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai GBHN.
- Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahap Pertama (1961-1969).
Berdasarkan UUD 1945, kedudukan presiden berada di bawah MPR, tetapi pada kenyataannya MPRS tunduk kepada presiden yang terlihat dari tindakan presiden dalam pengangkatan ketua MPRS yang dirangkap oleh wakil perdana menteri III dan pengangkatan wakil ketua MPRS yang dipilih dari pimpinan partai besar (PNI), NU, dan PKI) serta wakil ABRI yang masing-masing diberi kedudukan sebagai menteri yang tidak memimpin departemen.
b. Pembubaran DPR dan Pembentukan DPR GR
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilu tahun 1955 dibubarkan pada tanggal 5 Maret 1960 karena DPR menolak RAPBN tahun 1960 yang diajukan pemerintah. Presiden kemudian mengeluarkan penetapan presiden yang menyatakan bahwa DPR dibubarkan dan sebagai gantinya presiden membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR).
Oleh karena bukan hasil pemilihan umum, semua anggota DPR GR ditunjuk oleh presiden. Peraturan maupun tata tertib DPR GR ditentukan oleh presiden, akibatnya DPR GR mengikuti kehendak serta kebijakan pemerintah. Tindakan presiden tersebut bertentangan dengan UUD 1945, sebab berdasarkan UUD 1945 presiden tidak bisa membubarkan DPR.
c. Pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara.
Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 3 Tahun 1959. Lembaga tinggi negara ini diketuai oleh presiden sendiri. Keanggotaan DPAS terdiri dari satu orang wakil ketua (Ruslan Abdulgani), 12 orang wakil partai politik, 8 orang utusan daerah, dan 24 orang wakil golongan. Tugas DPAS ialah memberi jawaban atas pertanyaan presiden dan mengajukan usul kepada pemerintah. Pelantikan DPAS dilakukan di Istana Negara pada tanggal 15 Agustus 1959.
Seperti MPRS dan DPR GR, DPAS menempatkan diri di bawah pemerintah. Alasannya adalah DPAS yang mengusulkan agar pidato presiden pada hari Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 yang berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita yang dikenal dengan manifesto politik (manipol) Republik Indonesia ditetapkan sebagai GBHN berdasarkan Penpres Nomor 1 Tahun 1960 dan Ketetapan MPRS Nomor 1/MPRS/1960. Inti manipol ialah USDEK (Undang-Undang Dasar 1945, sosialisme Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin, dan kepribadian Indonesia) sehingga lebih dikenal dengan manipol USDEK.
d. Pembentukan Front Nasional
Pront Nasional dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 13 Tahun 1959. Front Nasional merupakan sebuah organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita proklamasi dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945.
Tujuan pembentukan Front Nasional adalah menyatukan seluruh potensi nasional agar menjadi kekuatan untuk menyukseskan pembangunan, Front Nasional dipimpin oleh Presiden Soekarno. Tugas Front Nasional ialah menyelesaikan revolusi nasional melaksanakan pembangunan, dan mengembalikan Irian Barat.
e. Pembentukan Kabinet Kerja
Pada tanggal 9 Juli 1959 presiden membentuk Kabinet Kerja. Dalam kabinet ini Presiden Soekarno bertindak sebagai perdana menteri sedangkan Ir. Juanda menjadi menteri pertama. Kabinet ini dilantik pada tanggal 10 Juli 1959 dengan programnya yang disebut triprogram Kabinet Kerja.
Isi triprogram Kabinet Kerja sebagai berikut ini :
- Mencukupi kebutuhan sandang pangan.
- Menyelenggarakan keamanan rakyat dan negara.
- Melanjutkan perjuangan menentang imperialisme ekonomi dan imperialisme politik (Irian Barat).
3. Arah Politik Luar Negeri Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin
a. Peran Aktif Indonesia pada awal Masa Demokrasi Terpimpin
Peran aktif Indonesia pada awal masa Demokrasi Terpimpin dapat dilihat dari hal-hal berikut ini :
- Pengiriman Pasukan Garuda II ke Kongo untuk bergabung dengan pasukan perdamaian PBB, UNOC (United Nations Operation for Kongo).
- Presiden Soekarno berpidato pada sidang umum PBB pada tanggal 30 September 1960. Judul pidato tersebut To Built the World a New yang menguraikan tentang Pancasila, masalah Irian Barat, kolonialisme, peredaan Perang Dingin, dan perbaikan organisasi PBB.
- Ikut memprakarsai berdirinya GNB.
- Pada tanggal 24 Agustus - 4 September 1962, Indonesia berhasil menyelenggarakan Asian Games IV di Jakarta.
Arah politik luar negeri Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin terjadi penyimpangan. Penyimpangan tersebut dari politik luar negeri bebas aktif menjadi condong pada salah satu poros. Pada waktu itu diberlakukan politik konfrontasi yang diarahkan pada negara-negara kapitalis.
Tindakan pemerintah yang mengarah ke politik mercucuar (mengejar kemegahan di tengah-tengah pergaulan antarbangsa) adalah membagi kekuatan politik dunia menjadi dua, yaitu sebagai berikut ini :
- Old Established Force (Oldefo) adalah kubu bangsa-bangsa tertindas yang progresif revolusioner menentang imperialisme dan neokolonialisme.
- New Emerging Force (Nefo) ialah kelompok negara-negara berkembang yang anti-imperialisme atau kolonialis dan sosialis serta komunis. Indonesia termasuk dalam kelompok Nefo.
Pada masa Demokrasi Terpimpin dijalankan politik mercusuar. Presiden Soekarno berpendapat bahwa Indonesia merupakan mercusuar yang bisa menerangi jalan bagi Nefo. Untuk hal tersebut, kemudian dilaksanakan proyek-proyek besar dan spektakuler yang diharapkan bisa menempatkan Indonesia pada kedudukan terkemuka di kalangan Nefo.
Proyek tersebut seperti penyelenggaraan Ganefo (Games of the New Emerging Forces) yang menelan biaya miliaran rupiah. Untuk penyelenggaraan Ganefo dibangun kompleks olahraga Senayan. Pesta olahraga ini diikuti oleh 48 kontingen. Memasuki tahun 1965, Indonesia membentuk poros Jakarta-Peking dan poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Peking-Pyongyang. Dengan terbentuknya poros semacam ini membuat Indonesia semakin mendekatkan diri pada negara-negara komunis.
b. Konfrontasi dengan Malaysia
Sikap Indonesia yang konfrontatif terhadap negara-negara Barat antara lain ditunjukkan dengan konfrontasi terhadap Malaysia. Hal tersebut karena pemerintah tidak setuju dengan pembentukan negara Federasi Malaysia yang dianggap proyek neokolonialisme Inggris yang membahayakan Indonesia dan negara-negara blok Nefo.
Pembentukan Federasi Malaysia pertama kali dilontarkan oleh Perdana Menteri Malaysia, Tengku Abdul Rachman, pada tanggal 27 Mei 1961. Menurut Tengku Abdul Rachman federasi yang akan dibentuk terdiri dari Malaysia, Singapura, dan Sabah.
Dalam rangka konfrontasi tersebut Presiden Soekarno mengumumkan dwikomando rakyat (Dwikora) pada tanggal 3 Mei 1964 di Jakarta. Isi Dwikora yaitu perhebat ketahanan revolusi Indonesia dan bantu perjuangan rakyat Malaysia untuk membebaskan diri dari nekolim Inggris.
Dalam melaksanakan konfrontasi dengan Malaysia ini dibentuk Komando Mandala Siaga (Kolaga) yang dipimpin oleh Marsekal Madya Omar Dani (Menteri Panglima Angkatan Udara). Komando ini kemudian mengirimkan pasukan sukarelawan untuk memasuki daerah Malaysia baik Malaysia Barat maupun Malaysia Timur.
c. Indonesia Keluar dari Keanggotaan PBB
Pada tanggal 7 Januari 1965 dalam sebuah rapat umum antipangkalan militer asing, Presiden Soekarno menyatakan bahwa Indonesia keluar dari PBB. Penyebab keluarnya Indonesia dari PBB adalah karena tidak menyetujui Malaysia menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
Baca juga selanjutnya di bawah ini :
Post a Comment for "Perkembangan Politik Masa Demokrasi Terpimpin Menjadikan Indonesia Keluar dari PBB"