Perkembangan Politik pada Waktu Sistem Demokrasi Liberal
Perkembangan Politik pada Waktu Sistem Demokrasi Liberal - Sejak tanggal 17 Agustus 1950 Republik Indonesia Serikat (RIS) secara resmi dibubarkan dan Indonesia kembali menjadi negara kesatuan yang berbentuk republik. Negara Kesatuan Republik Indonesia pada saat itu menggunakan UUDS 1950 sampai terbentukanya konstitusi yang tetap.
Dalam UUDS 1950 ditetapkan bahwa sistem demokrasi yang digunakan adalah demokrasi liberal, sedangkan sistem pemerintahannya adalah kabinet parlementer. Dalam kabinet parlementer, kekuasaan pemerintahan tertinggi dipegang oleh perdana menteri, presiden hanya berkedudukan sebagai kepala negara. Adapun perdana menteri bersama dengan para menteri (kabinet) bertanggung jawab kepada parlemen (DPR).
Sejak pengakuan kedaulatan (terutama sejak bubarnya RIS), berkembang sistem multipartai. Dalam kabinet parlementer, partai politik memerintah melalui perimbangan kekuasaan dalam parlemen. Berikut sisi positif dan negatif dari sistem multipartai :
1. Sisi positif dari sistem multipartai adalah sebagai berikut ini :
- Menempatkan kalangan sipil sebagai pelaksana kedaulatan rakyat dan pemerintahan.
- Mencegah kekuasaan presiden yang terlalu besar karena wewenang pemerintah dipegang oleh partai yang berkuasa.
- Menghidupkan suasana demokrasi di Indonesia karena setiap warga berhak berpartisipasi dalam politik, antara lain mengkritik pemerintah, menyampaikan pendapat, dan mendirikan partai politik.
2. Sisi negatif dari sistem multipartai adalah berikut :
- Ada kecenderungan terjadi persaingan yang tidak sehat di parlemen maupun kabinet.
- Sejumlah partai cenderung menyuarakan kepentingan kelompoknya sendiri, bukan kepentingan rakyat banyak.
Selama berlakunya UUDS 1950 pemerintah Republik Indonesia diwarnai dengan pergantian tujuh kabinet secara berturut-turut, yaitu sebagai berikut ini :
1. Kabinet Natsir (6 September 1950-21 Maret 1951)
Kabinet pertama pada masa Demokrasi Liberal adalah Kabinet Natsir. Kabinet Natsir merupakan kabinet koalisi yang dipimpin oleh Masyumi. Perdana menteri kabinet ini ialah Moh. Natsir. Kabinet Natsir mendapat dukungan dari tokoh-tokoh terkenal yang memiliki keahlian dan reputasi tinggi, seperti Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Mr. Asaat, Mr. Moh. Roem, Ir. Juanda dan Dr. Sumitro Joyohadikusumo.
Program kerja dari Kabinet Natsir antara lain sebagai berikut :
- Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman.
- Konsolidasi dan menyempurnakan pemerintahan.
- Menyempurnakan organisasi angkatan perang.
- Mengembangkan dan memperkuat ekonomi kerakyatan.
- Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.
Pada masa Kabinet Natsir ini, untuk pertama kalinya dilangsungkan perundingan antara Indonesia dan Belanda menyangkut masalah Irian Barat pada tanggal 4 Desember 1950. Namun, perundingan ini menemui jalan buntu. Masalah inilah yang menyebabkan munculnya mosi tidak percaya dari parlemen terhadap Kabinet Natsir.
Tekanan semakin besar ketika Hadikusumo (PNI) menyatakan mosi tidak percaya sekitar pencabutan PP Nomor 39 Tahun 1950 tentang DPRS dan DPRDS yang diterima oleh parlemen sehingga Kabinet Natsir jatuh pada tanggal 21 Maret 1951, kemudian Natsir mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno.
2. Kabinet Sukiman (27 April 1951 - 3 April 1952)
Presiden Soekarno menunjuk dua orang formatur baru, yaitu Sidik Joyosukarto (PNI) dan Dr. Sukiman (Masyumi) untuk membentuk kabinet baru. Setelah melalui proses perundingan, maka pada tanggal 26 April 1951 diumumkan susunan kabinet baru di bawah pimpinan Sukiman Wiryosanjoyo (Masyumi) dan Suwiryo (PNI).
Program kerja Kabinet Sukiman antara lain sebagai berikut :
- Menjalankan berbagai tindakan tegas sebagai negara hukum untuk menjamin keamanan dan ketentraman serta menyempurnakan organisasi alat-alat kekuasaan negara.
- Membuat dan melaksanakan rencana kemakmuran nasional dalam jangka pendek untuk mempertinggi kehidupan sosial ekonomi rakyat dan mempercepat usaha penempatan bekas pejuang dalam pembangunan.
- Menyelesaikan persiapan pemilu untuk membentuk Dewan Konstituante dan menyelenggarakan pemilu dalam waktu singkat serta mempercepat terlaksananya otonomi daerah.
- Menyiapkan undang-undang pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja sama, penetapan upah minimum, dan penyelesaian pertikaian buruh.
- Menjalankan politik luar negeri bebas aktif.
- Memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah Republik Indonesia secepatnya.
Kesulitan yang dihadapi Kebinet Wilopo adalah adanya gerakan separatisme di sejumlah daerah, adanya peristiwa 17 Oktober 1952 mengenai gerakan sejumlah perwira Angkatan Darat yang menekan Presiden Soekarno agar membubarkan parlemen, dan peristiwa Tanjung Morawa di Sumatera Utara.
Peristiwa Tanjung Morawa terjadi karena pemerintah sesuai dengan persetujuan KMB mengizinkan pengusaha asing untuk kembali mengusahakan tanah-tanah perkebunan. Pada masa Kabinet Sukiman, Mr. Iskaq Cokroadisuryo (Menteri Dalam Negeri) menyetujui dikembalikan tanah Deli Planters Vereeniging (DPV) yang sudah bertahun-tahun ditinggalkan pemiliknya. Namun, selama ditinggalkan oleh pemiliknya tanah tersebut digarap oleh para petani.
Penyerahan kembali tanah tersebut dilaksanakan pada masa Kabinet Wilopo. Polisi pada tanggal 16 Maret 1953 mengusir para penggarap tanah yang tidak memiliki izin. Akibatnya terjadilah bentrokan senjata dan lima orang petani terbunuh. Peristiwa-peristiwa tersebut mendapatkan sorotan yang tajam dari pers maupun parlemen. Sidik Kertapati dari Serkat Tani Indonesia (Sakti) mengajukan mosi tidak percaya terhadap Kabinet Wilopo. Akhirnya pada tanggal 2 Juni 1953 Wilopo mengembalikan mandatnya kepada presiden.
4. Kabinet Ali Sastroamijoyo I (31 Juli 1953-12 Agustus 1955)
Kabinet Ali Sastroamijoyo I dibentuk pada tanggal 31 Juli 1953, dengan Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo dari PNI dan wakilnya Wongsonegoro dari PIR (Partai Indonesia Raya). Kabinet Ali mempunyai program empat pasal sebagai berikut ini :
- Program dalam negeri, antara lain meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta segera diselenggarakan pemilihan umum.
- Pembebasan Irian Barat secepatnya.
- Program luar negeri, antara lain pelaksanaan politik bebas aktif dan peninjauan kembali persetujuan KMB.
- Penyelesaian pertikaian politik.
Prestasi yang paling menonjol pada kabinet ini adalah berhasil diselenggarakan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tanggal 18-24 April 1955. Pada tanggal 24 Juli 1955 Ali Sastroamijoyo menyerahkan mandatnya kepada presiden. Penyebab utamanya adalah masalah TNI-AD sebagai kelanjutan dari peristiwa 17 Oktober 1952.
Kepala Staf Angkatan Darat Mayor Jenderal Bambang Sugeng mengajukan permohonan berhenti dan disetujui oleh kabinet. Sebagai penggantinya Menteri Pertahanan menunjuk Kolonel Bambang Utoyo. Panglima Tentara dan Teritorium II/Sriwijaya. Pengangkatan pimpinan baru tersebut ditolak para panglima Angkatan Darat karena proses pengangkatannya dianggap tidak menghiraukan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan TNI-AD.
Selain masalah TNI-AD tersebut juga didukung dengan keadaan ekonomi yang semakin memburuk, adanya korupsi, dan inflasi mengakibatkan kepercayaan rakyat semakin merosot. Masalah lain yang menyebabkan keretakan dalam Kabinet Ali I adalah NU memutuskan untuk menarik kembali menteri-menterinya yang kemudian diikuti oleh partai-partai lainnya.
5. Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955-3 Maret 1956)
Pada waktu Kabinet Ali I mau menyerahkan mandatnya kepada presiden, Presiden Soekarno sedang menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Oleh karena itu pada tanggal 29 Juli 1955 Wakil Presiden Moh. Hatta mengumumkan tiga nama formatur yang bertugas membentuk kabinet baru.
Tiga nama formatur tersebut adalah Sukiman (Masyumi), Wilopo (PNI), dan Asaat (nonpartai). Ketiga tokoh tersebut sepakat menunjuk Moh. Hatta sebagai perdana menteri sekaligus Menteri Pertahanan. Namun, muncul ksulitan karena Moh. Hatta duduk sebagai wakil presiden.
Akhirnya tiga formatur tersebut gagal membentuk susunan kabinet baru, kemudian Moh. Hatta menunjuk Mr. Burhanuddin Harahap (Masyumi) untuk membentuk kabinet. Pada tanggal 12 Agustus 1955 terbentuk Kabinet Burhanuddin Harahap, dengan perdana menterinya Burhanuddin Harahap dari Masyumi.
Berikut program kerja Kabinet Burhanuddin Harahap :
- Mengembalikan kewibawaan moral pemerintah, dalam hal ini kepercayaan Angkatan Darat dan Masyumi.
- Akan dilaksanakan pemilihan umum, desentralisasi, memecahkan masalah inflasi, dan memberantas korupsi.
- Perjuangan mengembalikan Irian Barat ke Republik Indonesia.
Hasil yang menonjol dari kabinet ini ialah penyelenggaraan pemilu untuk yang pertama di Indonesia, yang berlangsung pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR dan pada tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota konstituante. Prestasi lainnya yaitu pembubaran Uni Indonesia-Belanda.
Dengan berakhirnya pemilihan umum, maka tugas Kabinet Burhanuddin dianggap telah selesai sehingga perlu dibentuk kabinet baru yang bertanggung jawab terhadap parlemen yang baru. Pada tanggal 3 Maret 1956 Kabinet Burhanuddi Harahap mengembalikan mandatnya kepada presiden. Kabinet ini merupakan kabinet peralihan dari DPR Sementara ke DPR hasil pemilihan umum.
6. Kabinet Ali Sastroamijoyo II (20 Maret 1956 - 14 Maret 1957)
Kabinet ini dipimpin oleh Ali Sastroamijoyo sebagai perdana menteri. Kabinet ini merupakan koalisi dari PNI, Masyumi, dan NU. Kabinet ini merupakan kabinet pertama setelah pemilihan umum tahun 1955. Program pokok Kabinet Ali Sastroamijoyo II antara lain sebagai berikut :
- Pembatalan KMB.
- Perjuangan mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia.
- Pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan ekonomi, keuangan, industri, perhubungan, pendidikan, serta pertanian.
- Melaksanakan keputusan Konferensi Asia Afrika.
Pada tanggal 14 Maret 1957 Ali Sastroamijoyo II menyerahkan mandatnya kepada presiden karena dalam tubuh kabinet terjadi perpecahan antara PNI dan Masyumi. Masyumi menghendaki agar Ali Sastroamijoyo II menyerahkan mandatnya kepada presiden sesuai dengan tuntutan daerah, sedangkan Ali Sastroamijoyo berpendapat bahwa kabinet tidak wajib mengembalikan mandatnya hanya karena tuntutan daerah. Pada bulan Januari 1957, Masyumi menarik semua menterinya dari kabinet dan hal tersebut menjadikan kedudukan Kabinet Ali Sastroamijoyo II sangat lemah.
7. Kabinet Juanda 99 April 1957 - 5 Juli 1959)
Perdana menteri kabinet ini adalah Ir. Juanda dengan tiga orang wakil, yaitu Mr. Hardi, Idham Chalid, dan dr. Leimena. Kabinet Juanda menyusun program yang terdiri dari lima pasal yang disebut Pancakarya. Oleh karena itu, Kabinet Juanda disebut juga sebagai Kabinet Karya.
Program-program Kabinet Karya yaitu sebagai berikut :
- Membentuk Dewan Nasional.
- Normalisasi keadaan Republik Indonesia.
- Melanjutkan pembatalan KMB.
- Memperjuangkan Irian Barat kembali ke Republik Indonesia.
- Mempercepat pembangunan.
Dewan Nasional ialah badan baru untuk menampung dan menyalurkan kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat. Dewan Nasional ini pernah diusulkan oleh Presiden Soekarno ketika mengutarakan konsepsi presiden sebagai langkah awal dari terbentuknya demokrasi terpimpin.
Pada masa Kabinet Juanda ini muncul pergolakan-pergolakan di daerah-daerah yang menghambat hubungan antara pusat dan daerah. Untuk meredakan pergolakan-pergolakan tersebut, diselenggarakan musyawarah nasional (munas) pada tanggal 14 September 1957 di Gedung Proklamasi Jalan Pegangsaan Timur No. 56.
Dalam munas tersebut dibahas masalah pembangunan nasional dan daerah, pembangunan angkatan perang, serta pembagian wilayah Republik Indonesia. Munas kemudian dilanjutkan dengan musyawarah nasional pembangunan (munap) pada bulan November 1957. Musyawarah tersebut bertujuan khusus yaitu membahas dan merumuskan usaha-usaha pembangunan sesuai dengan keinginan daerah.
Perlu diketahui bahwa pada masa Demokrasi Liberal luas wilayah Indonesia tidak seluas wilayah Indonesia saat ini. Hal tersebut karena Indonesia masih menggunakan peraturan kolonial terkait dengan batas wilayah, Zeenen Mariteme Kringen Ordonantie, 1939 yang dalam pasal 1 menyatakan bahwa laut teritorial Indonesia itu lebarnya 3 mil diukur dari garis air rendah (laagwaterijn) dari pulau-pulau dan bagian pulau yang merupakan bagian dari wilayah daratan (grondgebeid) dari Indonesia.
Indonesia jelas dirugikan berdasarkan pasal tersebut. Lebar laut 3 mil dirasakan tidak menjamin dengan sebaik-baiknya kepentingan rakyat dan negara. Batas 3 mil dari daratan menyebabkan adanya laut-laut bebas yang memisahkan pulau-pulau di Indonesia. Hal tersebut menyebabkan kapal-kapal asing bebas mengarungi lautan tanpa hambatan. Kondisi tersebut akan menyulitkan Indonesia dalam melakukan pengawasan wilayah Indonesia.
Sebagai suatu negara yang berdaulat, Indonesia berhak dan berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu untuk melindungi keutuhan dan keselamatan Republik Indonesia. Dengan kondisi itulah kemudian pemerintah Kabinet Juanda mendeklarasikan hukum teritorial kelautan Nusantara.
Dari deklarasi tersebut dapat dilihat bahwa faktor keamanan dan pertahanan merupakan aspek penting, bahkan dapat dikatakan merupakan salah satu sendi pokok kebijaksanaan pemerintah mengenai perairan Indonesia. Deklarasi tersebut kemudian dikenal sebagai Deklarasi Juanda.
Deklarasi Juanda mengandung konsep bahwa tanah air yang tidak lagi memandang laut sebagai alat pemisah dan pemecah bangsa, seperti pada masa kolonial, tetapi harus dipergunakan sebagai alat pemersatu bangsa dan wahana pembangunan nasional.
Adanya Deklarasi Juanda membuat batas kontinen laut diubah dari 3 mil batas air terendah menjadi 12 mil dari batas pulau terluar. Kondisi tersebut membuat wilayah Indonesia menjadi semakin luas dari hanya 2.027.087 km2 menjadi 5.193.250 km2 tanpa memasukkan wilayah Papua, karena wilayah tersebut belum diakui secara internasional.
Hal tersebut juga berdampak pula terhadap titik-titik pulau terluar yang menjadi garis batas yang mengelilingi RI menjadi sepanjang 8.069,8 mil laut. Walaupun Deklarasi Juanda belum memperoleh pengakuan internasional pemerintah RI kemudian menetapkan Deklarasi Juanda menjadi UU No. 4/PRP/1060 tentang Perairan.
Dengan dikeluarkannya Deklarasi Juanda tersebut membuat banyak negara keberatan terhadap konsepsi landasan hukum laut Indonesia yang baru. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, pemerintah Indonesia melakukan harmonisasi hubungan diplomatik dengan negara-negara tetangga. Pemerintah Indonesia juga melalui Konferensi Jeneva pada tahun 1958 berusaha mempertahankan konsepsinya yang tertuang dalam Deklarasi Juanda dan memantapkan Indonesia sebagai Archipelagic State Principle atau kepulauan.
Deklarasi Jaunda tersebut baru bisa diterima di dunia internasional setelah ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB yang ke-3 di Montego Bay (Jamaika) pada tahun 1982. Selanjutnya pemerintahan Indonesia meratifikasinya dalam UU No.17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.
Setelah diperjuangkan selama lebih dari dua puluh lima tahun, akhirnya pada tanggal 16 November 1994, setelah diratifikasi oleh 60 negara, hukum laut Indonesia diakui oleh dunia internasional. Upaya tersebut tidak lepas dari perjuangan pahlawan diplomasi yaitu Prof. Dr. Mochtar Kusuma Atmaja dan Prof. Dr. Hasjim Djalal yang setia mengikuti berbagai konferensi tentang hukum laut yang dilaksanakan PBB dari tahun 1970-an hingga tahun 1990-an.
Keadaan politik Indonesia selama pelaksanaan demokrasi liberal sejak tanggal 17 Agustus 1950 sampai dengan 5 Juli 1959 penuh dengan pertentangan antarpartai sehingga menimbulkan kekacauan di berbagai sektor kehidupan masyarakat Indonesia.
Usia kabinet yang hanya sesaat tidak mungkin melaksanakan program kerjanya secara tuntas. Pembangunan masyarakat bangsa, dan negara tidak dapat terlaksana karena para pemimpin partai yang menjadi menteri hanya memikirkan kepentingan partainya. Hal ini menunjukkan bahwa sistem demokrasi liberal tidak cocok bagi bagnsa Indonesia sebab tidak sesuai dengan cita-cita proklamasi, jiwa Pancasila, dan UUD 1945.
Baca juga selanjutnya di bawah ini :
Post a Comment for "Perkembangan Politik pada Waktu Sistem Demokrasi Liberal"