Usaha untuk Perkembangan Ekonomi pada Masa Demokrasi Liberal
1. Kondisi Ekonomi Indonesia pada Masa Liberal
Pada masa Demokrasi Liberal, kondisi ekonomi Indonesia masih sangat buruk. Buruknya kondisi ekonomi tersebut disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut ini :
- Setelah pengakuan kedaulatan dari Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, bangsa Indonesia menanggung beban ekonomi dan keuangan seperti yang telah ditetapkan dalam hasil-hasil KMB. Beban tersebut berupa utang luar negeri sebesar 1,5 triliun rupiah dan utang dalam negeri sejumlah 2,8 triliun rupiah.
- Politik keuangan pemerintah Indonesia tidak dibuat di Indonesia, tetapi dirancang di Belanda.
- Pemerintah Belanda tidak mewarisi ahli-ahli yang cukup untuk mengubah sistem ekonomi kolonial menjadi sistem ekonomi nasional.
- Tidak stabilnya situasi politik dalam negeri mengakibatkan pengeluaran pemerintah untuk operasi-operasi keamanan semakin meningkat.
- Defisit yang harus ditanggung oleh pemerintah Republik Indonesia pada waktu itu sebesar 5,1 miliar rupiah.
- Ekspor Indonesia hanya bergantung pada hasil perkebunan.
- Angka pertumbuhan jumlah penduduk yang besar.
Defisit tersebut berhasil ditanggulangi oleh pemerintah dengan pinjaman luar negeri sebesar Rp 1,6 miliar. Melalui sidang Uni Indonesia-Belanda disepakati kredit sebesar Rp 200 juta dari Belanda. Adapun masalah jangka pendek yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah adalah dengan mengurangi jumlah uang yang beredar dan dengan mengatasi kenaikan biaya hidup. Untuk masalah jangka panjang adalah masalah pertambahan penduduk dan tingkat kesejahteraan penduduk yang rendah.
2. Usaha untuk Memperbaiki Perekonomian
a. Gunting Syafruddin
Untuk menanggulangi defisit anggaran sebesar Rp 5,1 miliar, Menteri Keuangan, Syafruddin Prawiranegara, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan RIS Nomor PU I Tanggal 19 Maret 1950 melakukan tindakan pemotongan uang. Tindakan Syafruddin ini dilaksanakan dengan cara mengubah uang yang nilainya Rp 2,50 ke atas menjadi separuhnya.
Dengan kebijakan tersebut, rakyat kecil tidak di rugikan karena yang memiliki uang Rp 2,50 ke atas hanya orang kelas menengah dan kelas atas. Tindakan pemerintah ini dikenal dengan Gunting Syafruddin. Dasar kebijakan ini adalah untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar nilainya seimbang dengan jumlah barang yang tersedia.
b. Sistem Ekonomi Gerakan Benteng
Menteri Perdagangan Dr. Sumitro Joyohadikusumo berpendapat bahwa di kalangan bangsa Indonesia harus segera ditumbuhkan kelas pengusaha. Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu diberi kesempatan untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional.
Para pengusaha tersebut harus dibimbing dan diberikan bantuan kredit karena pemerintah menyadari mereka tidak memiliki modal yang cukup. Dengan usaha yang dilakukan secara bertahap, pengusaha pribumi akan berkembang dan maju. Tujuannya adalah mengubah struktur ekonomi kolonial ke struktur ekonomi nasional.
Program Sumitro Joyokusumo ini dikenal dengan nama Gerakan Benteng. Dalam perkembangannya program Gerakan Benteng ini tidak berhasil mencapai tujuan karena para pengusaha pribumi sangat bergantung kepada pemerintah. Mereka kurang mandiri untuk mengembangkan usahanya.
c. Nasional De Javasche Bank
Pada akhir tahun 1951 seiring dengan meningkatnya rasa nasionalisme, pemerintah Republik Indonesia melakukan nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Adapun tujuan nasionalisasi ini adalah menaikkan pendapatan dan menurunkan biaya ekspor serta melakukan penghematan secara drastis.
d. Sistem Ekonomi Ali-Baba
Menteri Perekonomian Mr. Iskaq Cokrohadisuryo (pada masa pemerintahan Kabinet Ali Sastroamijoyo I) memprakarsai sistem ekonomi baru yang dikenal dengan sistem ekonomi Ali-Baba. Sistem ekonomi baru ini ditujukan untuk memajukan pengusaha pribumi. Ali menggambarkan pengusaha pribumi, sedangkan Baba menggambarkan pengusaha nonpribumi (khususnya Cina).
Maksud adanya sistem ini adalah agar pengusaha pribumi dan nonpribumi bekerja sama untuk memajukan ekonomi Indonesia. Dalam perkembangannya sistem ini mengalami kegagalan karena pengusaha nonpribumi lebih berpengalaman daripada pengusaha pribumi untuk memperoleh bantuan kredit.
e. Persetujuan Finansial Ekonomi (Finaek)
Pada masa pemerintahan Kabinet Burhanuddin Harahap dikirimkan suatu delegasi ke Jenewa yang dipimpin oleh Anak Agung Gede Agung. Misi tersebut untuk merundingkan masalah finansial ekonomi antara pihak Indonesia dan Belanda. Akhirnya pada tanggal 7 Januari 1956 dicapai kesepakatan rencana persetujuan Finek, antara lain sebagai berikut ini :
- Persetujuan finek hasil KMB dibubarkan.
- Hubungan finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral.
- Hubungan finek didasarkan pada Undang-Undang Nasional, tidak boleh diikat oleh perjanjian lain antara kedua belah pihak.
Pemerintah Belanda tidak mau menandatangani rencana persetujuan tersebut. Hal itu membuat pemerintah Republik Indonesia mengambil langkah sepihak. Kabinet Burhanuddin Harahap pada tanggal 13 Februari 1956 melakukan pembubaran Uni Indonesia-Belanda secara sepihak.
Hal tersebut dimaksudkan untuk melepaskan diri dari keterikatan ekonomi dengan Belanda. Tidak lanjut dari pembubaran uni tersebut adalah pada tanggal 3 Mei 1956 Presiden Soekarno menandatangani undang-undang pembatalan KMB. Akibat hal tersebut banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahannya, sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum mampu mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda tersebut.
f. Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)
Dengan masa kerja kabinet yang relatif singkat dan program kerja yang berganti-ganti pada masa Demokrasi Liberal menimbulkan ketidakstabilan politik dan ekonomi. Ketidakstabilan politik dan ekonomi tersebut menjadi penyebab terjadinya kemerosotan ekonomi, inflasi, dan lambatnya pelaksanaan pembangunan.
Pada masa pemerintahan Kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintah membentuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut dengan Biro Perancang Negara. Berbeda dengan kabinet sebelumnya, biro tersebut bertugas merancang pembangunan jangka panjang. Tokoh yang diangkat sebagai Menteri Perancang Nasional adalah Ir. Juanda.
Biro tersebut pada bulan Mei 1956 berhasil menyusun rencana pembangunan lima tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961. Rencana undang-undang tentang rencana pembangunan tersebut disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 11 November 1958. Namun akibat perubahan situasi politik dan ekonomi, pada tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui musyawarah nasional pembangunan (munap).
RPLT tidak dapat berjalan dengan baik karena hal-hal berikut ini :
- Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan kebijakan ekonominya sendiri-sendiri.
- Perjuangan membebaskan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi.
- Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957 sehingga pada awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot.
g. Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap)
Adanya ketegangan antara pusat dan daerah pada masa Kabinet Juanda untuk sementara dapat diredakan dengan adanya musyawarah nasional pembangunan (munap). Sebagai perdana menteri, Ir. Juanda memberikan kesempatan kepada munap untuk mengubah rencana pembangunan tersebut agar bisa dihasilkan rencana pembangunan tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan baik karena kesulitan dalam menentukan prioritas.
Selain itu, ketegangan politik juga tidak bisa diredakan sehingga mengakibatkan pecahnya pemberontakan PRRI/Permesta. Untuk menumpas pemberontakan PRRI/Permesta tersebut diperlukan biaya yang sangat besar sehingga meningkatkan defisit keuangan negara. Sementara itu, ketegangan politik antara Indonesia dan Belanda menyangkut Irian Barat juga memuncak yang memicu terjadinya konfrontasi bersenjata.
Baca juga selanjutnya di bawah ini :
Post a Comment for "Usaha untuk Perkembangan Ekonomi pada Masa Demokrasi Liberal"