Tuntutan dan Agenda Reformasi Masa Orde Baru 1998
Tuntutan dan Agenda Reformasi Masa Orde Baru 1998 - Gerakan reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 adalah suatu gerakan untuk mengadakan pembaruan dan perubahan terutama dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan hukum menuju perbaikan secara hukum.
a. Munculnya Gerakan Reformasi
Reformasi adalah susunan tatanan peri kehidupan lama diganti dengan tatanan peri kehidupan baru secara hukum menuju perbaikan. Reformasi merupakan formulasi menuju Indonesia baru dengan tatanan baru. Hasil dari perjuangan reformasi tidak dapat dipetik dalam waktu yang singkat, tetapi membutuhkan proses dan waktu.
Hasil dari reformasi tersebut baru dapat dinikmati oleh masyarakat Indonesia secara bertahap sehingga perlu adanya agenda reformasi untuk memprioritaskan mana yang harus lebih dahulu dilaksanakan. Kontrol terhadap reformasi perlu dilakukan agar pelaksanaan reformasi tepat pada tujuan dan sasarannya karena reformasi yang tidak terkendali akan kehilangan arah dan bahkan cenderung melanggar norma-norma hukum sehingga tidak membawa perbaikan dalam kehidupan masa depan masyarakat Indonesia.
Menurunnya pamor pemerintahan Orde Baru telah dimulai sejak adanya perjanjian pemberian dana bantuan IMF pada tahun 1997, perjanjian pertama setelah terjadinya krisis moneter Asia bulan Oktober 1997. Pemberian dana bantuan ini sebenarnya mengandung dua kelemahan bagi Indonesia.
Kelemahan pertama terletak pada posisi dana bantuan. Pemberian dana bantuan yang diturunkan IMF di sini adalah utang luar negeri yang harus dibayarkan kembali oleh Indonesia beserta dengan bunganya, meskipun dengan persentase yang rendah.
Kelemahan kedua adalah adanya penerapan Structural Adjustment Program (Program Penyesuaian Struktural) dari IMF yang menyertai penurunan dana bantuan tersebut. Structural Adjustment Program adalah persyaratan IMF bagi Indonesia dalam empat bidang utama (pengetatan kebijakan fiskal, penghapusan subsidi, menutupan enam belas bank di Indonesia, dan memerintahkan bank sentral untuk menaikkan tingkat suku bunga). Perjanjian kedua dengan IMF ditandatangani pada tanggal 15 Januari 1998.
Syarat yang ditekankan IMF bagi Indonesia adalah pemotongan seluruh subsidi rakyat dan menghapus praktik monopoli. IMF juga mensyaratkan penghapusan segala bentuk subsidi usaha nasional yang diberikan oleh pemerintah. Persyaratan IMF ini membawa Indonesia pada keterpurukan ekonomi yang lebih dalam.
Dengan situasi politik dan kondisi ekonomi Indonesia yang semakin tidak terkendali, rakyat Indonesia menjadi semakin kritis dan menyatakan bahwa pemerintahan Orde Baru tidak berhasil menciptakan kehidupan masyarakat yang makmur, adil, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu kemudian muncul gerakan reformasi yang bertujuan memperbaharui tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang dipelopori oleh para mahasiswa.
Faktor pendorong terjadinya gerakan reformasi sebagai berikut ini :
1. Faktor politik, meliputi :
- Adanya KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) dalam kehidupan pemerintahan,
- adanya rasa tidak percaya kepada pemerintah Orde Baru yang penuh dengan nepotisme dan merajalelanya korupsi,
- kekuasaan Orde Baru di bawah Soeharto otoriter tertutup,
- adanya keinginan demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan
- mahasiswa menginginkan perubahan.
2. Faktor ekonomi, meliputi :
- adanya krisis mata uang rupiah,
- naiknya harga barang-barang kebutuhan masyarakat dan
- sulitnya mendapatkan barang-barang kebutuhan pokok,
3. Faktor sosial masyarakat seperti adanya kerusuhan pada tanggal 13 dan 14 Mei 1998 yang melumpuhkan perekonomian rakyat.
4. Faktor hukum, belum adanya keadilan dalam perlakuan hukum yang sama di antaranya warga negara.
Mahasiswa merupakan salah satu kelompok sosial masyarakat yang paling vokal dalam menyuarakan perbaikan struktur pemerintahan pada saat itu. Mahasiswa kemudian menyusun strategi untuk memberikan feedback terhadap kelemahan sistem pemerintahan dengan menggelar berbagai aksi demonstrasi. Mahasiswa kemudian menyusun agenda reformasi yang ditujukan kepada pemerintahan Orde Baru.
Beberapa agenda reformasi yang disuarakan mahasiswa adalah sebagai berikut :
- Suksesi kepemimpinan nasional.
- Melakukan amandemen terhadap UUD 1945.
- Menghapus dwifungsi ABRI dalam struktur pemerintahan.
- Penegakan supremasi hukum di Indonesia.
- Menegakkan pemerintahan yang bersih dari unsur-unsur KKN.
- Otonomi daerah yang seluas-luasnya.
Adapun agenda utama gerakan reformasi adalah turunkan Soeharto dari jabatan presiden. Tujuan reformasi adalah terciptanya kehidpuan dalam bidang politik, ekonomi, hukum, dan sosial yang lebih baik dari masa sebelumnya.
Inti reformasi politik adalah demokratisasi, mengembalikan dan melaksanakan kedaulatan rakyat. Reformasi ekonomi meliputi penurunan harga, stabilitas rupiah, restrukturisasi perbankan, penghapusan monopoli dan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Reformasi dalam bidang hukum, supremasi hukum harus ditegakkan, karena semua warga negara berhak berkedudukan sama di dalam hukum dan pemerintahan.
b. Kronologi Pengunduran Diri Soeharto dari Kursi Kepresidenan
Menjelang sidang umum MPR bulan Maret 1998 banyak tuntutan dari rakyat dan mahasiswa yang menginginkan agar Presiden Soeharto tidak lagi dicalonkan dan mencalonkan diri sebagai presiden. Namun, ternyata suara-suara kritis yang menuntut perubahan tersebut tidak mendapat jawaban seperti yang diharapkan.
Pada pemilu tahun 1997 kembali dimenangkan Golkar dan mencalonkan kembali Soeharto sebagai presiden melalui sidang umum MPR (tanggal 1-11 Maret 1998). Dengan terpilihnya kembali Soeharto sebagai presiden ternyata tidak menimbulkan dampak yang positif untuk pemulihan kondisi ekonomi Indonesia, bahkan memperparah gejolak krisis dan muncul silih berganti aksi mahasiswa yang menyuarakan tuntutan gerakan reformasi.
Pada bulan Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai daerah mulai bergerak menggelar demonstrasi dan aksi keprihatinan yang menuntut turunnya harga sembako, penghapusan KKN, dan Soeharto turun dari kursi presiden.
Aksi mahasiswa tersebut semakin bertambah banyak dan menyebabkan para aparat keamanan tampak kewalahan dan akhirnya mereka harus bertindak tegas. Hal tersebut menyebabkan bentrokan antara mahasiswa yang menuntut reformasi dan aparat keamanan tidak dapat dihindarkan.
Puncaknya pada tanggal 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti dalam aksi unjuk rasa mahasiswa, terjadi bentrokan dengan aparat keamanan yang menyebabkan tertembaknya empat mahasiswa hingga meninggal, serta puluhan mahasiswa lainnya mengalami luka-luka.
Keempat mahasiswa yang meninggal tersebut kemudian diberi gelar sebagai Pahlawan Reformasi. Sebelum kejadian Trisakti tersebut, pada tanggal 8 Mei 1998 seorang mahasiswa dari Yogyakarta yang bernama Moses Gatotkaca juga meninggal dalam sebuah bentrokan dengan aparat keamanan pada waktu melakukan aksi menuntut mundurnya Presiden Soeharto.
Sebagai dampak dari peristiwa Tragedi Trisakti pada tanggal 13-14 Mei 1998 di Jakarta dan sekitarnya terjadi kerusukan massal dan penjarahan yang mengakibatkan lumpuhnya kegiatan masyarakat. Dalam kerusuhan tersebut sejumlah pertokoan menjadi sasaran amuk massa bahkan sampai pada tingkat pembakaran toko-toko yang menelan korban jiwa. Dalam aksi masa tersebut, warga keturunan Tionghoa tidak luput dari amukan masa. Sebagai reaksi atas ketidakamanan hak mereka hidup di Indonesia banyak warga keturunan Tionghoa eksodus atau meninggalkan Indonesia.
Setelah peristiwa Trisakti dan kerusuhan massa tersebut, muncul gerakan mahasiswa yang berpusat di Jakarta mulai melakukan aksi yang lebih besar. Para mahasiswa mengarahkan perhatian utama kepada wakil-wakil rakyat di DPR/MPR Republik Indonesia. Mahasiswa berdatangan ke gedung DPR/MPR Republik Indonesia dan menuntut agar segera dilakukan Sidang Istimewa MPR dan pencabutan mandat MPR kepada Presiden Soeharto.
Kelompok-kelompok mahasiswa pun sejak tanggal 18 Mei dari berbagai universitas berdatangan untuk menduduki gedung DPR/MPR Republik Indonesia. Keputusan untuk menggelar Sidang Istimewa MPR ini merupakan puncak aspirasi mahasiswa yang juga mewakili rakyat Indonesia untuk menurunkan Soeharto dan kursi kepresidenan yang telah dijabatnya selama 32 tahun.
Di hari yang sama di Yogyakarta juga terjadi peristiwa bersejarah. Kurang lebih sejuta umat manusia berkumpul di alun-alun utara keraton Yogyakarta menghadiri pisowanan ageng untuk mendengarkan maklumat dari Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paku Alam VII.
Adapun inti dari maklumat itu adalah mengajukan kepada seluruh masyarakat untuk menggalang persatuan dan kesatuan bangsa. Pada tanggal 19 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundang sembilan tokoh masyarakat ke Istana Negara. Agendanya adalah membahas segala kemungkinan penanganan krisis negara. Sembilan tokoh tersebut adalah Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, Emha Ainun Nadjib, Ali Yafie, Malik Fajar, Cholil Baidiowi, Sutrisno Muhdam, Ma'aruf Amin, dan Ahmad Bagdja.
Selain sembilan tokoh tersebut, hadir pula Yusril Ihza Mahendra, Sekretaris Militer Presiden Myjen Jasril Jakub, dan ajudan presiden. Dalam pertemuan tersebut dicapai kesepakatan untuk membentuk suatu badan yang dinamakan Komite Reformasi. Adapun tugas dari Komite Reformasi adalah untuk menyelesaikan Undang-Undang Kepartaian, Undang-Undang Pemilu, Undang-Undang Susunan dan Kedudukan MPR/DPR serta DPRD.
Undang-Undang Antimonopoli, Undang-Undang Antikorupsi dan lain-lain. Dalam pertemuan tersebut juga disepakati bahwa Presiden Soeharto akan melakukan reshuffle Kabinet Pembangunan VII dan mengubah nama susunan kabinet menjadi Kabinet Reformasi.
Pada tanggal 20 Mei 1998, di gedung MPR/DPR telah penuh oleh mahasiswa dari berbagai elemen. Tokoh masyarakat, seperti Amien Rais dan Emil Salim menyatakan kekecewaan dengan keputusan Presiden Soeharto tersebut. Penyebabnya adalah Presiden Soeharto meminta pemberian waktu enam bulan untuk menggelar pemilihan umum secara konstitusional.
Emil Salim melalui Gema Madani menyerukan agar Presiden Soeharto melaksanakan niatnya untuk lengser keprabon (turun dari tahta kekuasaan) pada saat itu juga tanggal 20 Mei 1998. Kekuatan mahasiswa semakin kuat dan solid di gedung MPR/DPR. Mereka memperingati hari Kebangkitan Nasional di halaman gedung MPR/DPR.
Pada aksi tanggal 20 Mei 1998 dihadiri tokoh masyarakat seperti Amien Rais, Deliar Noer, Emil Salim, Erna Witoelar, Albert Hasibuan, Saparinah Sadli, Nursyahbani Katjasungkana, A.M. Fatwa, Adnan Buyung Nasution, Permadi, Matori Abdul Djalil, dan Wimar Witoelar.
Disamping tokoh-tokoh masyarakat tersebut juga hadir tokoh seni Indonesia, seperti Dono Warkop, Garin Nugraha, dan Neno Warisman. Aksi tersebut secara sporadis memunculkan dukungan moral dari seluruh elemen bangsa.
Pada tanggal 20 Mei 1998 juga, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Madeleine Albright secara nyata memberikan pernyataannya meminta Presiden Soeharto untuk segera mundur. Ia menyatakan bahwa pengunduran diri Presiden Soeharto sudah seharusnya dilakukan untuk memberi jalan bagi transisi demokrasi di Indonesia dan menegaskan bahwa kesempatan ini merupakan momentum bagi Presiden Soeharto untuk menorehkan langkah negarawan.
Empat belas menteri yang berada di bawah koordinasi Menko Ekuin Ginanjar Kartasasmita, pada tanggal 20 Mei 1998 pukul 14.30 WIB menyatakan penolakannya untuk dicalonkan kembali di dalam Kabinet Reformasi. Penolakan tersebut berakibat pembentukan Kabinet Reformasi mengalami kegagalan.
Pada pukul 16.45 WIB berlangsung pertemuan antara perwakilan mahasiswa dan pimpinan MPR/DPR di lantai tiga gedung MPR/DPR. Dalam pertemuan tersebut, mahasiswa memberikan batas waktu pengunduran diri Soeharto hingga hari Jumat 22 Mei 1998. Apabila tidak ada kepastian lebih lanjut pada Senin tanggal 25 Mei 1998 pimpinan DPR akan mempersiapkan Sidang Istimewa MPR.
Puncak aksi di gedung MPR/DPR pada tanggal 21 Mei 1998. Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dari posisi presiden Republik Indonesia. Dengan disaksikan oleh ketua dan anggota Mahkamah Agung, di Credential Room Istana Negara Jakarta, Soeharto mengakhiri jabatannya sebagai presiden yang telah diemban selama 32 tahun.
Naskah pengunduran diri Soeharto ditulis oleh Yusril Ihzan Mahendra yang berjudul Pernyataan Berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia. Sesuai dengan pasal 8 UUD 1945 yang berbunyi ''Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh wakil presiden sampai habis masa jabatannya''.
Dengan berpedoman pada pasal 8 UUD 1945 tersebut, setelah pengunduran diri Soeharto, Mahkamah Agung langsung melantik Wakil presiden Bacharuddin Jusuf Habibie sebagai presiden Republik Indonesia yang baru. Sejak saat itu, presiden Repbulik Indonesia yang ke-3 dijabat oleh B.J. Habibie. Momentum turunnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 tersebut mengakhiri pemerintahan Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun.
Baca juga selanjutnya di bawah ini :
Post a Comment for "Tuntutan dan Agenda Reformasi Masa Orde Baru 1998"